Perempuan Bergincu Merah

Perempuan Bergincu Merah

Perempuan Bergincu Merah.

Penulis : Lintang Ayu

 

Langkah Slamet tiba-tiba berhenti. Pandangan matanya tertuju ke gubuk dengan dinding papan berwarna putih yang mulai memudar. Sekilas, bangunan itu tampak kecokelatan dari kejauhan.

 

Untuk pertama kali dalam hidupnya, langkah Slamet tertahan. Kedua kakinya terasa sangat berat untuk melangkah. Sarung hijau kotak-kotak masih menggantung di leher. Warna yang telah pudar menunjukkan betapa setianya sarung tersebut memberikan kehangatan di tubuh Slamet saat sedang melaut.

 

Bukan karena takut gelombang tinggi yang akan dihadapi oleh tubuh kurusnya, tidak. Ia sama sekali tidak takut. Tetapi ia enggan meninggalkan satu-satunya perempuan di dalam hidupnya. Perempuan semampai berkulit cokelat dengan gincu merah memulas bibirnya, masih berdiri di depan pintu gubuk, melihat kepergian Slamet.

 

Senyum sang perempuan merekah, melepas kepergian Slamet, hingga kedua lesung di pipi terukir manis. Lalu perempuan itu, Sumarni, melambaikan tangan, membuat Slamet terus melangkahkan kaki menuju laut dengan terpaksa.

 

Slamet tidak mau, jika ia batal melaut justru akan membuat perempuan bergincu merah itu merengut. Apalagi mata bulat seperti bulan purnama itu terlihat mendung. Slamet tidak ingin membuat Sumarni kecewa. Ia lelaki bertanggung jawab yang akan membuat perempuan yang dicintainya bahagia.

 

Kalau bukan sedang musim cumi-cumi, Slamet mungkin akan memilih untuk kembali, dan menghabiskan malam bersama istrinya. Mendengar desah liar keluar dari bibir bergincu merah itu. Namun, lembar rupiah terlintas di benak Slamet. Lembaran kertas yang mampu membuat Sumarni berbinar.

 

Sebagai seorang nelayan di pesisir utara, menghabiskan malam bersama dengan istri adalah suatu kejadian langka. Ia harus melewatkan malam-malam dingin di tengah laut, menantang ombak serta angin kencang untuk mencari ikan demi beberapa lembar rupiah.

 

Hanya sekitar satu minggu dalam sebulan–saat pertengahan bulan di dalam kalender Jawa–ia bisa leluasa bercumbu dengan Sumarni. Biasanya, saat itu, ia dan para nelayan lain akan berhenti melaut. Karena saat bulan menampakkan diri dengan utuh, para ikan akan bersembunyi di dasar. Sedangkan peralatan berlayar mereka tidak mampu menjangkau ikan-ikan sampai ke dasar laut. Maka, waktu mereka gunakan untuk memperbaiki peralatan melautnya di siang hari. Lalu, saat semesta menggelap, Slamet akan menuntaskan hasrat bersama wanita pujaannya.

 

Slamet kembali berjalan menuju laut dengan malas. Melewati jalan sempit yang hanya bisa dilewati kendaraan roda dua. Lalu berbelok ke kiri, hingga kapal-kapal nelayan yang tengah terombang-ambing gelombang air laut terlihat oleh penglihatannya.

 

Mata bulat Sumarni berbinar melihat punggung suaminya, saat sosok Slamet menghilang di balik tikungan. Bergegas ia masuk ke gubuk yang sudah sepuluh tahun ia tinggali bersama suaminya dengan rona bahagia.

 

Kegelisahan Slamet terus mengikuti langkahnya. Semakin dekat dengan kapal yang akan membawanya ke samudera lepas, semakin kuat pula perasaannya untuk tetap tinggal di rumah.

 

Hidung pesek Slamet mencium aroma garam yang terbawa angin utara. Slamet menghentikan langkah tepat di ujung gang. Beberapa meter di depan, teman-teman sesama nelayan tengah mempersiapkan diri. Ada yang tengah sibuk menata jaring, ada pula yang tengah asyik bercerita tentang politik di negeri ini sembari menghisap tembakau.

 

“Kenapa berhenti di tengah jalan?” Sebuah pertanyaan membuyarkan lamunan Slamet. Ia menoleh. Senyuman Juragan Karsa yang pertama kali ia lihat. Slamet malu karena terpergok melamun di tengah jalan.

 

“Kenapa?” tanya laki-laki yang usianya lima tahun lebih muda dari Slamet.

 

“Entahlah, Juragan. Saya seperti enggan melaut hari ini. Seperti tengah merasakan firasat buruk.”

 

“Memangnya firasat apa? Cuaca hari ini sangat bersahabat. Tidak ada tanda-tanda ombak akan mengamuk hari ini.”

 

“Bukan itu.”

 

“Lalu?” Juragan Karsa semakin penasaran terhadap Slamet. Laki-laki yang biasanya tampak semangat melaut itu seakan gamang. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki empat puluh tahunan itu.

 

“Saya juga tidak tahu alasannya apa. Cuma saya seakan tidak ingin meninggalkan Sumarni.”

 

“Sudah. Melaut saja. Ingat, kita lagi berburu ikan cumi. Jadi gak usah mikir yang macam-macam.”

 

Juragan Karsa melangkah meninggalkan Slamet yang masih mematung. Tak berapa lama, ia mengikuti Juragan Karsa, lalu bergabung dengan teman-temannya.

 

Beberapa kapal sudah berangkat berlayar. Hanya menyisakan tiga kapal yang tidak ikut berlayar karena tengah dalam perbaikan. Sebelum kapal yang Slamet tumpangi berangkat, Juragan Karsa mewanti-wanti para nelayan untuk tetap menjaga keselamatan diri, lalu mendoakan kami, agar pulang dengan selamat serta membawa banyak hasil tangkapan.

 

Kapal yang didominasi warna biru putih bertuliskan ‘Doa Ibu’ itu mulai meninggalkan daratan. Semakin cepat kapal itu berjalan, semakin cepat pula detak jantung laki-laki yang tengah duduk menyendiri di ujung kapal. Slamet semakin gelisah saat sosok Juragan Karsa telah hilang dari pandangan.

 

Slamet memilih untuk bergabung dengan teman-temannya. Berharap itu mampu mengalihkan perasaan yang cukup mengganggu pikiran. Slamet dan kesembilan anak buah kapal lainnya duduk melingkar. Mereka tengah asyik membicarakan Sulastri, janda beranak tiga yang ditinggal mati suaminya saat melaut. Slamet hanya mendengarkan teman-teman yang selalu bersemangat saat membicarakan janda itu.

 

Matahari telah hilang. Kapal yang Slamet tumpangi juga sudah diberi penerangan lampu petromaks. Kapal-kapal yang lain sudah tidak terlihat lagi. Hanya cahaya petromaks yang berjalan mengiringi ke mana pun kapal itu berjalan. Indah. Seperti kunang-kunang yang menari-nari di gelapnya malam.

 

Mesin kapal dimatikan. Jangkar juga telah dilepaskan. Lampu sudah menyala, lalu diletakkan di sisi-sisi kapal, guna menarik cumi-cumi datang. Sembari menunggu cumi-cumi berkumpul dan dijaring, teman-teman berkumpul. Mereka asyik mengobrol tentang berbagai hal. Tentang hasil tangkapan yang kian hari kian menurun, tentang pejabat yang ketahuan sedang berada di kamar hotel bersama perempuan yang jauh lebih muda, dan tentang Sulastri, janda paruh baya yang selalu menjadi menu utama perbincangan mereka. 

 

Sulastri cantik dengan bibir penuh yang merekah. Namun bagi Slamet, Sumarnilah ratu di hatinya. Wanita yang belum juga memberikan seorang anak padanya itu telah membuat hidupnya lebih berwarna.

 

Mengingat Sumarni, membuat kegelisahan Slamet kembali mencuat. Ia mengaduk kopi dengan pandangan nanar. Degup jantungnya berdetak dengan cepat. Kalau bukan karena Karjo memanggilnya untuk segera mengantarkan kopi, Slamet mungkin masih tenggelam bersama pikiran-pikiran buruk yang ada di kepalanya.

 

Slamet menyerahkan nampan berisi kopi hitam dan rebusan singkong yang Juragan Karsa berikan tadi sebelum berangkat dengan tangan gemetar. Setelah menyerahkan nampan, Slamet melangkah ke sisi kapal. Ia bahkan mengabaikan panggilan Karjo untuk bergabung. Matanya menerawang. Hatinya gelisah. Ia melihat laut lepas, berharap bisa memberikan sedikit ketenangan.

 

Tanpa terasa lima jam telah berlalu, sudah saatnya untuk menyebar jaring, menangkap cumi-cumi yang sudah berkumpul di bawah cahaya lampu. Teman-temannya sudah mengambil jaring, Darmo menghidupkan mesin kapal, sedangkan Slamet mengangkat jangkar.

 

Jaring telah disebar, kapal mulai berjalan. Slamet terkesiap, posisinya masih sedikit menjorok ke laut saat menarik jangkar, kapal tiba-tiba berjalan. Slamet yang tidak bisa menjaga keseimbangan tubuh kurusnya, terjatuh bersama jangkar.

 

Melihat salah satu temannya tercebur, Darmo dan temannya langsung mencari keberadaan Slamet yang tak kunjung terlihat di permukaan. Darmo meloncat, mencoba mencari keberadaan Slamet. Namun, hingga stok oksigen Darmo hampir habis, ia tak juga menemukan sosok Slamet.

 

Darmo berenang kembali ke permukaan, lalu menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Ia menggeleng saat teman-temannya menanyakan keberadaan Slamet. Melihat Darmo tidak menemukan Slamet, Karjo pun melompat. Beberapa saat kemudian, Karjo menemukan keberadaan Slamet.  Karjo segera mendekati Slamet yang sudah tidak sadarkan diri dengan kaki tersangkut jaring. Karjo berusaha melepas ikatan yang melilit kaki Slamet.

 

Slamet masih tidak sadarkan diri. Sedangkan darah terus mengalir akibat luka di kakinya. Akhirnya, Darmo memilih untuk membawa kapal itu pulang, meski dengan hasil tangkapan seadanya. Keselamatan Slamet lebih penting.

 

Beberapa meter sebelum kapal menyentuh daratan Slamet membuka mata. Ia mulai sadarkan diri, dan merintih sakit saat merasakan nyeri di kakinya yang terluka. Teman-teman mengucap syukur bahwa Slamet selamat. Setelah kapal bersandar, Slamet segera di bawa ke puskesmas. Setelah diperiksa, dokter pun memperbolehkan Slamet pulang.

 

Saat Darmo ingin mengantar Slamet, laki-laki yang masih terlihat meringis kesakitan itu tidak mau. Ia ingin pulang sendiri, dan meminta Darmo untuk pulang ke rumahnya.

 

Slamet dan Darmo berpisah. Dengan langkah tertatih, akhirnya gubuk bercat putih itu terlihat. Degup jantung Slamet kembali bertalu. Slamet merasakan ada keganjilan yang melesak. Ia tidak tahu kenapa. Padahal ia telah selamat dari malaikat maut yang hampir saja merenggut nyawanya.

 

Slamet sampai di depan rumah. Namun, saat hendak mengetuk pintu, samar-samar terdengar desah napas liar. Laki-laki itu ingin memastikan bahwa pendengarannya salah. Ia bergerak ke samping, tepat di jendela kamar. Slamet mengintip dari celah jendela. Slamet terdiam. Ia mematung dan tegang, saat matanya menonton adegan yang seharusnya ialah tokohnya. Kini, digantikan oleh Juragan Karsa.

 

Yogyakarta, 29 Desember 2020

Lintang Ayu, pencinta fiksimini.

 

Editor: Erlyna

 

 

 

Leave a Reply