Perempuan Asing

Perempuan Asing

Perempuan Asing

Oleh: Nishfi Yanuar

            Namanya Lastri. Perempuan asing yang tiba-tiba hadir di tengah-tengah keluargaku. Dibawa oleh Ayah dari kampung tanpa kompromi dan bicara dulu denganku sebelumnya. Penampilannya tertutup. Sehelai kain menutupi kepalanya. Bajunya panjang menutupi kaki. Persis saat Ibu hendak pergi ke pengajian.

Ayah bilang, mulai sekarang perempuan itu akan merawat Ibu yang sudah hampir tiga tahun terakhir ini mengalami stroke. Menyiapkan segala keperluannya, menemaninya bercerita dan jalan-jalan di atas kursi roda. Intinya, menggantikan semua yang biasanya dikerjakan Ayah untuk Ibu. Karena selama satu bulan ke depan, Ayah ada keperluan kantor di luar kota. Proyek cukup besar katanya. Hanya bisa menyempatkan pulang seminggu sekali. Meskipun ada pembantu di rumah, tapi Ayah hanya menggajinya untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah. Bukan merawat dan memenuhi keperluan Ibu.

Aku hanya mengangguk, karena aku juga tak mungkin melakukan semua itu sendirian. Padatnya jam kuliah dan aktivitas berbagai organisasi yang kujalani sudah sangat menyita waktu. Kadang membuatku seharian di luar rumah. Pulang saat meja makan siap dengan makan malam atau bahkan menjelang larut.

Ayah pun menegaskan, perempuan itu bukanlah pembantu seperti Mbok Yem. Aku harus menghormatinya sebagaimana aku menghormati Ibu. Terdengar janggal memang, apalagi aku harus memanggilnya “Bu Lastri”. Padahal ia sama sekali belum terlihat layaknya ibu-ibu. Parahnya, Ayah menyuruhnya memanggilku cukup dengan namaku saja, “Ito”. Tanpa embel-embel sapaan di depannya seperti Mbok Yem yang selalu menempatkan “Aden” di depan namaku. Whateverlah!

Ya, namanya Lastri. Usianya mungkin sekitar lima atau enam tahun di atasku. Masih terlihat muda dan cantik. Memancar dari air mukanya yang bersih.

@@@

Aku menyibak tirai jendela kamar. Sisa-sisa embun pagi masih menempel di kaca. Tak sengaja, aku menemukan satu pemandangan baru. Di halaman bawah sana kulihat perempuan asing itu dengan telaten menyuapi Ibu. Aku tersenyum menatap mereka.

Kutinggalkan pemandangan itu lantas segera meraih handuk dan menuju kamar mandi. Ada kuliah pagi yang tak bisa kulewatkan.

“Sarapan dulu, makanan sudah siap,” suara Lastri menyambutku di meja makan. Tangannya sigap mengambil piring dan mengisinya penuh dengan nasi goreng. Lalu meletakkannya pas di depan dudukku.

Kami hanya berdua. Ayah sudah berangkat tadi malam. Ah! Aku jadi mengenang sesuatu. Kenapa sikapnya jadi mirip seorang Ibu? Ibuku di masa aku kecil mungkin. Karena setelah dewasa, jangankan mengambilkan makanan, ikut duduk sarapan pagi saja seolah sangat jarang. Ibu terlampau sibuk. Sedang sekarang ia terkulai lemah di atas kursi roda.

Kupindahkan satu suapan ke mulut. Rasanya sedikit berbeda dari yang biasa aku makan. Lebih gurih, enak. Kuamati, warnanya pun terlihat tak terlalu pekat. Tidak seperti nasi goreng buatan Mbok Yem biasanya.

“Kamu nggak makan sekalian?” ujarku menyapa.

“Nanti saja, barusan saya meninggalkan cucian di belakang.” Dia siap berlalu.

“Ngapain kamu nyuci? Itu kan tugas Mbok Yem?” tukasku memastikan.

“Mbok Yem hari ini nggak bisa ke sini. Katanya, anaknya sakit. Sudah, saya permisi ya.” Perempuan itu menuju belakang. Aku tak membantah. Meneruskan melahap nasi goreng tanpa sisa.

Satu pikiran terlintas. Jadi, ini buatan dia, dong!

@@@

Sudah tiga hari ini Mbok Yem tidak datang ke rumah. Dia memang tidak tinggal di sini karena rumahnya tak terlalu jauh. Hanya datang di pagi hari setelah subuh, lalu pulang selepas magrib.

Maka, persis tiga hari ini aku menikmati makanan yang dimasak oleh Lastri. Jujur, aku lebih menyukainya ketimbang olahan tangan Mbok Yem. Malam itu, kusampaikan satu pujian untuknya.

“Ah, sama saja kok. Ndak usah berlebihan begitu.” Dia tampak tersipu.

“Beneran, lho. Kalau begini setiap hari, aku pasti bakal cepet pulang buat makan di rumah,” ujarku sambil terkekeh.

Lastri tersenyum. Tak sengaja pandangan kami beradu. Matanya seolah bercahaya. Dan senyumnya, duh menciptakan lesung kecil yang manis. Belum puas memandang, dia sudah memalingkan muka. Kemudian melangkah menuju dapur. Aih, apa sih yang kulakukan? Aku mengumpat diri sendiri.

Pintu depan terdengar diketuk. Mengejutkanku yang sedikit melamun. Ah, itu pasti Pras, teman kuliahku. Tadi aku memang memintanya menjemput. Motor gedeku masuk bengkel kemarin sore.

Aku bergegas keluar. Memastikan. Dan benar saja, mahasiswa berjaket kulit itu berdiri di depan pintu.

“Udah siap, Bro?” sapanya lebih dulu.

“Iya, bentar ya, gue pamit nyokap dulu.”

Aku kembali masuk ke dalam. Menuju kamar Ibu. Di dalam sana, ternyata ada Lastri dengan setumpuk pakaian yang hendak dimasukkan lemari.

“Bu, aku berangkat dulu ya. Jangan malas makan nanti,” ujarku pelan sembari mengecup keningnya. Perempuan kuyu itu memaksakan senyum. Mengangguk dengan kedua bola matanya.

“Oh ya, tolong jaga Ibu ya. Jangan lupa obatnya.” Aku tertahan menyapa namanya, sedikit bingung. Saran Ayah waktu itu seperti sulit kulakukan.

Dia hanya mengangguk. Tanpa suara. Aku pun segera beranjak keluar.

“Maaf, sebentar …,” Lastri mencekat langkahku. Aku menoleh ke belakang. Dia berjalan menghampiriku.

“Jangan pulang terlalu malam, ya. Biar bisa makan malam dengan Ibu.”

Ucapannya membuat keningku berkerut. Siapa dia berani-beraninya memerintahku? Mbok Yem yang puluhan tahun bekerja di sini saja tak pernah selancang itu mengaturku.

Aku melengos. Tak menjawabnya. Lantas ngeloyor meninggalkannya.

@@@

Malam itu, aku melihat Lastri di teras belakang. Ia sedang menjawab telepon. Entah bicara dengan siapa, tapi ia terdengar tertawa renyah. Mataku mengekorinya, menatap punggungnya dari arah dapur. Tidak tahu, kenapa kakiku tak mau beranjak memperhatikannya.

Hampir satu bulan dia di sini, aku sudah terbiasa dengannya. Bahkan tak jarang, aku memintanya terang-terangan untuk memasak makanan untukku. Kami jadi semakin akrab. Sikapnya yang dewasa, seolah menjadi sosok kakak buatku. Sesekali dia menasihati agar aku lebih perhatian pada Ibu.

“Yang dibutuhkan Ibu itu hanya teman. Teman mengobrol dan bercerita. Ya, meskipun tak bisa kembali merespons, tapi dia akan terlihat semringah jika ada yang mengajaknya bicara,” ujar Lastri beberapa waktu lalu.

“Iya, tapi aku kan sibuk,” sanggahku tak mau disalahkan.

“Apa kesibukan lebih penting dari ibumu? Bahkan dalam keadaannya sekarang?” perempuan di depanku itu bicara menohok. Tepat mengenai dadaku. Selama ini aku tak pernah memikirkan itu.

“Eh, kamu tahu apa sih? Berani banget bicara begitu,” aku sedikit emosi.

“Maaf, aku hanya mengingatkan. Kamu tidak tahu, setelah kamu berangkat kuliah, lalu Ayahmu pergi ke kantor, ibumu itu seringkali menangis. Meskipun dia tidak bicara, tapi aku bisa mengerti dia sedih melepas kalian.”

“Apa kamu tahu gimana ibuku sebelum sakit?”

“Tahu,” jawab Lastri cepat.

“Hah?!” Aku tercenung.

“Mungkin dulu dia memang terlampau sibuk, sehingga tak begitu memperhatikanmu. Lantas apa sekarang kamu ingin bersikap sama padanya?”

Dahiku semakin rapat. Bagaimana bisa perempuan asing itu tahu?

“Tolong, kurangilah sedikit aktivitasmu. Luangkanlah sebentar waktumu untuk sekadar menyuapinya, atau mengajaknya keliling halaman di pagi hari. Aku yakin, ibumu akan bahagia, dan hatimu akan semakin menyayanginya.”

Bukan sekali dua kali dia mengobrolkan hal ini. Namun, selalu disampaikan dengan tutur kata yang lembut dan bicaranya selalu santun. Dan yang membuatku salut, dia terlihat tulus dan sabar merawat ibuku.

Sejak saat itu, aku mulai simpati padanya. Diam-diam memperhatikan, memikirkan, dan tak segan bicara banyak dengannya. Dan entah mengapa, berlanjut menjadi sebuah kekaguman, lalu sekarang … alamak, apa ini yang belakangan menderu di hati?

Aku masih mematung menatapnya. Ah, sial! Dia menoleh. Dan aku kalah cepat menghindar. Tertangkap basah! Ya, aku tertangkap basah mencuri-curi pandang padanya.

“Ada apa?” tanyanya sedikit kaget. Matanya mendelik, seperti ketakutan.

“Mencari kamu,” jawabku sepontan. Ah, kepalang basah! Nyebur saja sekalian.

“Iya, kenapa? Mau dibikinin kopi?” dia sedikit gugup. Manis sekali.

“Enggak, pingin ngobrol aja. Kayak tadi kamu ngobrol di telepon. Sepertinya seru sekali …,” aku mulai menggoda. Menyunggingkan senyum merekah.

“Apa?! Kamu tadi menguping?” Lastri terlihat langsung syok. Pandangannya gusar. Aku menahan tawa.

“Iya, aku dengar semuanya. Telepon dari siapa, hayo?” Melihatnya gugup aku justru semakin semangat mencandainya. Tak kuat menahan, meledak juga tawaku terpingkal-pingkal.

Lastri kesal. Mukanya masam, memerah, lalu berlalu meninggalkanku.

@@@

Pagi masih pekat, subuh belum menyapa. Aku baru pulang ke rumah. Tadi malam ada acara di kampus. Malam inagurasi dari peserta ospek. Aku sebagai salah satu panitia inti, sibuk ikut menuntaskan acara. Untung selalu kubawa kunci cadangan, jadi bisa membuka pintu sewaktu-waktu.

Sampai di bibir tangga menuju kamar atas, kakiku mendadak kaku. Tas ransel yang kujinjing berisi penuh buku-buku seketika jatuh. Menimbulkan bunyi cukup keras di lantai. Berhasil membuat seorang laki-laki, agak jauh di samping kiri tangga sana terkejut. Tak kalah terkejut denganku saat ini.

“Ayah sudah pulang?” tanyaku dengan mata memerah.

“Su—sudah, Ito. Ta—tadi malam.”

Sosok di depan sana, yang selalu kuhormati itu tergagap. Tangannya gemetar mengancingkan baju.

“Ngapain dari dalam? Apalagi pagi-pagi begini?”

Aku melangkah perlahan mendekatinya. Tangan mengepal menahan amarah. Dada bergemuruh sesak. Tak ada lagi pikiran jernih yang terlintas. Yang ada hanya hal kotor dan menjijikkan berseliweran di kepala.

“Ayah … Ayah tadi, eum … Ayah sedang ….”

“Ayah sedang apa?!” Aku berteriak. Kencang. Sangat kencang. Pagi yang masih buta membuat suaraku bergelegar. Beberapa menit kemudian pintu kamar tempat Ayah tadi keluar terbuka. Kepala berkerudung menyembul dari dalam, memandang risau.

“Hei, kamu! Lepas saja kerudungmu itu. Dan cepat pergi dari sini! Dasar …,” suaraku tercekat. Tak sanggup melanjutkan.

“Jaga ucapanmu, Ito!” Ayah membentak. Tak terbata lagi seperti sebelumnya, hanya demi membela perempuan asing itu.

“Sabar, Mas … sabar, kendalikan dirimu.” Lastri tanpa canggung memegang pundak Ayah. Aku bertambah syok. Bingung.

“Mas? Kau memanggil ayahku apa, hah?!”

Lastri seketika memegang mulutnya. Kepalanya menggeleng. Memandangku dan Ayah bergantian. Lalu tertunduk.

Ayah bicara panjang. Menjelaskan terbata soal perempuan yang sukarela merawat ibuku itu. Dia bilang, ini permintaan Ibu. Ini keinginan Ibu sewaktu dia masih bisa bicara. Tapi baru bisa dilakukan Ayah sebulan lalu. Persis saat kali pertama perempuan itu menginjakkan kaki di rumah ini.

Perempuan dari kampung, kerabat jauh dari Nenek, janda tanpa anak itu diminta langsung oleh Ibu menjadi madunya. Tanpa sepengetahuanku. Tanpa bicara apa pun denganku. Hingga akhirnya menikah, sama sekali tanpa izinku. Lalu, dianggap siapa aku di rumah ini?

“Maafkan kami, Nak … sebenarnya, Ayah ingin bicara denganmu. Tapi, masih menunggu waktu yang tepat. Belakangan ini Ayah sangat sibuk dan tidak ada di rumah. Kamu juga sibuk dengan kegiatanmu. Ayah tidak ingin mengacaukan konsentrasimu.”

Tubuhku seketika ambruk. Sendi-sendi melepuh. Kepalaku berat bukan kepalang.

Namanya Lastri. Perempuan asing yang telah mengacak-acak hatiku, dia … ibu tiriku.*

 Ngawi, 050218

Nishfi Yanuar, penyuka nasyid, pelangi, dan senja. Beberapa coretan cerpen, puisi, dan artikelnya tergabung dalam buku-buku antologi, majalah cetak, dan online. Bisa dihubungi di akun Facebook Nishfi Yanuar, atau IG @nishfiyanuar.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita