Perdebatan
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
“Orang-orang membicarakanmu.”
Perempuan dengan rambut cokelat bergelombang itu bertopang dagu, memandang deretan gedung pencakar langit dari lantai dua kafe tempat kami bertemu. Tidak berapa lama, mata obsidiannya turun—melihat orang-orang bertopeng yang berlalu lalang sepanjang trotoar—lantas ia tertawa sarkas. Entah menertawakan topeng menggelikan di wajah orang-orang atau menertawakan dirinya sendiri yang kerap dianggap di luar norma masyarakat.
Ia membalas abai, “Aku tahu.”
Aku menghela napas, mengingat dengung lebah yang selalu memenuhi telinga serta cicitan tikus yang kini merambah dunia maya. Perempuan itu barangkali adalah satu dari sekian insan yang memilih menuli dan menyibukkan diri dengan alat tulis serta kuasnya, tetapi aku memedulikan kebisingan tersebut: bagaimana publik mengkritik sikap arogan serta congkaknya; bagaimana ia kerap tertangkap basah memandang seorang senior dengan pandangan tidak bersahabat.
Perempuan itu memang punya ego tinggi, kuakui. Sejak memutuskan terjun ke dunia desain, ia telah menunjukkan obsesi besar akan kesempurnaan serta perhatian masyarakat. Ia selalu mencari referensi trend fashion terkini; mencoba berbagai hal baru; serta mendaftar siapa saja yang berpotensi menjadi pesaingnya. Perpaduan tersebut menjadikannya sebagai kesayangan dosen saat kuliah sekaligus seseorang yang ofensif pada orang lain yang juga dipandang seperti dirinya. Ia bukan seseorang bergolongan darah A atau berzodiak Leo, tetapi “Ambisi” sudah menjadi nama tengahnya.
Dan, itu bukan hal baik bagi masyarakat yang menjunjung filosofi padi.
“Beberapa media sudah memberitakan sikap sombongmu. Beberapa kali pula kau muncul di infotainment pagi. Kalau tidak segera berbenah, akan muncul hipotesis baru kalau kau seseorang bertelinga tebal yang terlalu sombong untuk mendengarkan kritik orang-orang.”
“Ucapanmu pedas juga.”
“Aku belajar darimu.”
Ia mengembuskan asap rokok ke langit-langit kafe—yang tentu saja membuatku memijit kening. Sudah kukatakan agar ia berhenti—atau, minimal, meminimalisir kebiasaan merokoknya—supaya tidak ada lagi kabar buruk beredar, tetapi ia menganggapnya angin lalu. Ini diriku, ini hidupku, dan tidak ada yang berhak mengomentarinya, sanggahnya berkali-kali.
Ia memang keras kepala. Benar-benar keras kepala.
“Aku tahu apa yang kaupikirkan,” sergahnya, “dan kupikir kau mengerti bahwa aku juga berusaha untuk berubah. Tidak cuma untuk rokok ini, tapi juga banyak hal.”
Aku terdiam. Mata elang setengah sayunya mengoyak sanubariku.
“Nyatanya, orang-orang lebih suka melihat hasil akhirnya.” Tangannya mengepal, nyaris menggebrak meja, tetapi ia lekas menariknya untuk merapikan poni panjang yang jatuh menutupi kelopak mata. “Mereka mungkin tidak tahu, seberapa keras—berapa kali—aku mencoba untuk berubah, menjadi sosok ideal yang mereka inginkan; mereka tidak akan percaya bila aku berulang kali membedah dada dan membersihkan hatiku. Itulah kenyataannya. Tapi, bukannya bebas, aku justru terkurung.”
Ia mengering ke arah pelanggan baru yang mengenakan topeng bahagia, bersama kekasihnya yang juga memakai topeng serupa. “Dunia kita penuh kepalsuan. Dunia kita penuh dengan citra. Kita diperbudak oleh sesuatu, oleh doktrin, oleh pandangan masyarakat, karena itu kita tidak bisa menjadi diri kita sendiri.” Seorang pelayan bertopeng ramah datang menyerahkan daftar menu. “Tapi, akan lebih baik bila publik tahu sifat asliku ketimbang sisi munafikku, ‘kan?”
“Mereka tidak memintamu berpura-pura. Mereka ingin kau … berubah.”
Perempuan yang mengenakan blazer hitam itu berdecak. “Ya, ya. Berubah … menjadi bukan dirimu sendiri. Itulah yang diinginkan masyarakat.” Ia menggeser gelas berisi perasan jeruk lemon favoritnya, kemudian menatapku tajam. “Tapi, bagaimana … bagaimana jika Tuhan memang menciptakan sebagian manusia sebagai pembawa gen jahat. Apakah masyarakat bisa menerima hal tersebut? Tidak, ‘kan?”
Aku hendak menyanggah pertanyaan retorisnya hingga ia mengibaskan tangan, “Aku tahu, aku tahu. Kau berpikir bahwa aku sedang berdalih, ‘kan? Bahwa aku sangat keras kepala bila membahas citra baik bagi masyarakat, iya, ‘kan?”
Itulah kenyataannya.
Bukan sekali-dua kali kami duduk sembari membicarakan permasalahan perangai buruknya dan buntutnya selalu sama. Ia mengerti tuntunan dunia untuk menjadi “orang baik”, sedangkan aku mengerti keengganannya menuruti hal tersebut. Awalnya, ia memilih bersikap pasif dan mendengarkan ocehanku. Akan tetapi, lama-lama, ia makin jengah dan akhirnya mengatakan semua argumentasiku sebelum aku sendiri mengucapkannya. Bentuk pertahanan dirinya, barangkali.
Aku pun sama jengahnya dengan perempuan bertubuh tinggi tersebut. Ada keinginan tersendiri untuk menjauh dan mendiamkan sikapnya, tetapi aku tidak bisa. Ini demi kebaikannya, kebaikanku, kebaikan kami … jadi aku harus menasihatinya berkali-kali.
Tapi, ia masih saja arogan. Menyebalkan.
Atau, aku yang tidak memahami sesuatu?
Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Kentara frustrasi.
“Bukan berarti aku tidak mencoba. Aku mencoba, mungkin, lebih keras dari yang lain. Tapi, manusia bahkan tidak bisa membuat kaktus bertahan di lingkungan lembap, ‘kan? Kita tidak bisa mengubah kebiasaan pohon jati menggugurkan daunnya saat musim kemarau, ‘kan?” Ia mengangkat wajah. “Semua butuh waktu. Lama. Amat lama. Orang-orang hanya perlu bersabar, mengerti bahwa revolusi jarang sekali terjadi.”
Mata obsidiannya kentara jernih hingga aku dapat melihat seorang perempuan yang mengatur napas tiap membaca prestasi salah satu desainer negeri kami; yang mengganti siaran televisi bila itu dapat mengacaukan emosinya; yang mengucapkan selamat amat kaku pada desainer asal negeri Jiran di salah satu penghargaan internasional—dan justru ditanggapi secara negatif di media sosial. Mengingat itu aku menghela napas, lantas memandangnya yang kini terlihat lebih menyedihkan.
“Aku telah menerima diriku yang arogan, jadi ada baiknya mereka juga memahami hal itu,” Ada jeda sejenak hingga mata obsidian kami kembali bertemu, “ada baiknya kau juga menerima sisi buruk kita.”
Hening.
Kami masih berpandangan. Di telingaku, gunjingan menyebalkan orang-orang masih bertalu.
Aku tersenyum sarkas.
Kata orang, diri manusia terbagi menjadi sisi baik dan buruk, sama seperti konsep hitam-putih di dunia ini. Sisi-baik ingin mengambil porsi sisi-buruk, sedangkan sisi-buruk tidak ingin tempatnya diambil. Jadilah, mereka terus berseteru, hingga muncul sebuah pemikiran bahwa mereka tidak akan bersatu—justru, perbedaan itu dibutuhkan untuk menciptakan keseimbangan dunia.
Kami—aku dan ia—mengetahuinya sejak mendiami raga yang sama, tetapi tidak ada satu pun dari kami yang bermaksud mengalah. Namun, setelah mendengar perkataannya, aku berpikir bahwa untuk berubah … barangkali hanya dibutuhkan penerimaan sederhana agar dua kubu itu dapat berjalan berdampingan.
Dan, mungkin, itulah cara terbaik untuk menjadi “kita” yang sebenarnya.
“Sejak kapan kau berubah jadi bijaksana?”
“Sejak kau menuntutku untuk berubah,” balasnya sambil memutar mata, “aku cuma mau kau berhenti menodongku dengan gunjingan yang selama ini kaudengar. Itu bukan berarti aku menyeberang ke pihakmu, bukan!”
Ia kembali menyangga dagu. “Kita tidak bisa jadi 100% orang baik, sesuai perspektif masyarakat, tetapi kita bisa memberikan yang terbaik … untuk diri kita sendiri. Iya, ‘kan?”
Di luar, orang-orang masih berlalu lalang dengan toa di mulut mereka; pasangan kekasih di lantai dua masih juga menulis aksara manis di muka masing-masing; sedangkan aku lekas meminum air perasan lemonku. “Ini menyebalkan, tapi aku setuju.” (*)
Devin Elysia Dhywinanda, adalah cewek AB hasil hibridisasi dunia Koriya dan Wibu yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata