Percakapan Terakhir

Percakapan Terakhir

Percakapan Terakhir
Oleh: Porteka

Barangkali kau tak akan paham perihal pesan terakhir dari seseorang yang beberapa detik lagi akan disebut mayat. Biasanya, di detik terakhir itu, kalimat orang yang akan mati mengandung beberapa cabang pengetahuan. Sering kali kusebut cabang pengetahuan itu langsung dari Tuhan. Tentu ada benarnya, bukan, kala Tuhan menyuruh manusia memperhatikan mereka yang telah mati lalu disuruh mengambil pelajaran dari kejadian itu? Lantas, semisal kutetapkan skripsi untuk kelulusan membahas pengetahuan tersembunyi dari orang yang akan mati, tak salah, bukan? Tinggal kuilmiah-ilmiahkan nanti. Sayangnya, kau tahu sendiri bahwa dosen terlalu kaku. Anak yang tingkat kedinginannya belum seberapa dilarang menulis penemuan. Andai diri ini cukup bandel, akan kudebat bahwa ilmu tersembunyi dari orang yang akan mati bukan suatu penemuan. Dan tentu kau akan jengkel kala melihat aku harus adu mulut dengan dosen, sedang kau sendiri setuju bahwa pengetahuan yang misterius ada pada kejadian misterius pula. Sekarang kau harus mengakui pernyataan tersebut sebagai kebenaran, walau seperti kalimatku sebelumnya, kau tak akan paham.

Kau tentu akan mendebatku bahwa orang secerdas dirimu pasti bisa paham. Sebelum kau jengkel, kupatahkan saja pengakuan cerdas itu dengan kalimat, “Hanya orang bodoh yang mengerti pesan terakhir dari orang yang beberapa detik disebut mayat.”

Kalimat itu pas sekali dengan diriku. Karena orang cerdas sepertimu menjadi korban dari ketidakpahaman terhadap pengetahuan itu, akan kujelaskan. Imbalannya, nanti tinggal kau ceritakan ulang pada orang lain secara gratis. Imbalan itu bisa untukmu, bisa pula untukku.

Jadi begini, lebih baik kusebut namamu saja, ya, Porteka? Ah, begini lebih pas. Lebih akrab. Dan kau tak usah menyela, cukup mengangguk saja kalau paham, kalau tidak paham, menggeleng. Untuk urusan menggeleng ini, jangan kau sertakan dengan senyum kecut apalagi dengan menampakkan muka garang. Karena yang kau anggap kecut dan garang itu terlihat sebaliknya. Siap menyimak? Ah, kau tak usah mengangguk hingga poni rambut itu berantakan.

Sekarang kau lihat wajahku. Tentu pot bunga dan teras serta bias cahaya dari tanaman halaman hanya diam dari tadi, bukan mereka yang bercerita, jadi jangan lihat mereka. Lihat mimik wajahku, biar saat kau ceritakan ke orang lain, kau bisa menirunya, dan pesan tersembunyi dari orang yang akan disebut mayat ini tak kehilangan nilai misteriusnya. Orang cerdas memang selalu semena-mana. Sama dengan orang yang sehari kemarin baru jadi mayat, orangnya cerdas, melebihimu malah, tetapi saat mati, aku harus tersenyum, bahwa dia meninggalkan pesan yang hanya bisa dimengerti orang bodoh. Ayahnya yang bergelar S-3, adiknya yang selalu ranking satu, tak paham pesan si yang akan jadi mayat tersebut. Hanya aku, ibunya, neneknya dan beberapa tetangga yang tahu. Beberapa tetangga yang tahu itu pun, jelas mereka bodoh semua. Bagaimana aku bisa tahu? Tentu kau sendiri yang mengatakan, orang bodoh atau pintar bisa dilihat dari raut mukanya. Jadi, saat sekarat ingin kaku, si yang akan jadi mayat tersebut berkedip-kedip pelan. Wajahnya terlihat lebih dingin dari hari lain saat aku menjenguknya. Bantal yang menjadi alas kepalanya dipegang-pegang, ibunya dan aku paham, bahwa dia memegang bantal berarti hendak membuang bantal tersebut, sedang ayahnya melarang. Lalu si yang akan jadi mayat itu memegang bajunya, seraya berdengkus seperti orang kehausan. Si ayah segera mengambil air dengan gelas, tetapi air dalam gelas tersebut dienyahkannya. Air tersebut tumpah mengenai pakaian si yang akan segera jadi mayat tersebut. Si ibunya segera membuka baju si yang akan jadi mayat. Kulihat, setelah kejadian itu, air muka si yang akan jadi mayat sedikit lebih tenang. Kutarik kesimpulan, dia mulai tak menyukai dunia.

Kau jangan tertawa begitu. Jelas aku kesulitan menceritakan dia tanpa menyebut namanya. Kau sendiri yang bilang, kalau nama orang yang sudah mati disebut-sebut, akan datang pada malam hari. Aku tak mau didatangi dia. Melihat badan kurus dan gigi lebihnya saat hidup saja sudah membuat merinding. Jangan tertawa, sungguh kau tak serius mendengar penjelasanku. Separah inikah orang cerdas menanggapi penjelasan orang bodoh? Iya, aku tahu, ini kurang pas disebut penjelasan, sebab tak ada kejelasannya dari tadi. Sekarang berhentilah tertawa. Aku sangat tersinggung ini.

Lalu, setelah si yang beberapa detik lagi itu menjadi mayat memutar-mutar bola matanya, si ayah segera menyuruh semua orang keluar, biar tak menciptakan euforia gelisah pada si yang akan jadi mayat. Tentu, karena orang cerdas tak paham betapa si yang akan jadi mayat tersebut sengsara melihat kematian yang datang dari segala penjuru tubuhnya. Si ibu dan orang bodoh lainnya tetap diam di tempat, melihat detik sebelum si yang akan jadi mayat tersebut berhenti memutar bola matanya. Barulah saat matanya berhenti memutar, beberapa orang berangsur ke luar. Aku memilih tinggal hingga beberapa menit untuk memahami beberapa hal yang terlewat sebelum dia jadi mayat.

Hei, kau tadi tak memperhatikan mimik wajahku saat mengatakan hendak memahami. Padahal itu mimik yang sengaja kuatur biar kau yakin. Ah, kau ini menjengkelkan sekali, Porteka.

Akan kuselesaikan dengan cepat biar kau tak penasaran. Menggeleng dia, kau sangka aku akan menganggapmu tak penasaran? Baiklah, akan kuakhiri sebelum menyampaikan beberapa kejanggalan yang padahal, itu adalah pesan misterius orang yang akan mati. Baiknya kau tak usah menemuiku kalau seperti ini, malah menurunkan niatku untuk menjadikannya sebagai skripsi. Aku marah. Sudah, kau tak usah mengangguk dengan senyuman mematikan seperti itu, aku terlanjur kecewa diabaikan. Porteka, Porteka, Porteka, uye! Sudah, kau tak usah tahu kelanjutannya.

Ayolah, jangan memohon seperti orang tak punya salah begitu. Gerimis mulai reda, baiknya aku pulang. Biar kau puas!

Memaksa dia. Baiklah. Pesan terakhir setelah meninjau dan seterusnya, menimbang dan seterusnya, menetapkan bahwa, yang akan menjadi mayat berpesan, “Teruslah hidup!” Apa artinya? Kau tak akan paham. Dari kesimpulan yang didapat, dia bilang, “Kau akan paham setelah akan menjadi mayat sepertiku ini.”

Aku paham. Tentu kau belum paham juga, bukan? Kau tak usah menunjukkan mimik kecut seperti itu. Kau cerdas, jadi bisa hidup lebih panjang. Aku bodoh, sebentar lagi juga akan menjadi mayat. Kelak, saat aku ada di posisi itu, kuharap kau menjadi orang bodoh, agar paham sesuatu yang kuinginkan di beberapa detik sebelum tubuh ini kaku. Jangan kau tanyakan apa keinginanku, jelas aku ingin mati dalam keadaan kita suami istri dan kau kecup bibirku.

Bagaimana? Pas ‘kan kalau dijadikan skripsi. Untuk data atau metodenya, bisa langsung mengambil di lapangan. Tentu, aku akan lebih sering melihat mayat dibanding dirimu. Kau jangan menggeleng begitu. Padahal aku hendak mengajakmu menikah dengan cara yang beda. Tetapi, ah. Apakah orang cerdas selalu tak peka seperti ini? []

 

Surabaya, 01 Mei 2019.

Porteka, gadis kecil serupa Lily yang hendak melihat dunia luar dengan cerita. Ingin belajar dan hendak menjadi pencerita.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata