Percakapan di Marmaray
Wajah gadis keturunan Turki-Indonesia itu terlihat gugup, keringat dingin jatuh dari pelipisnya. Ini pertama kalinya ia naik kereta api listrik di bawah laut Marmaray menuju Istanbul bagian Eropa. Kalau bukan karena ingin menikmati liburan di Istanbul dan melihat The Blue Mosque yang dibuat oleh Sultan Ahmed I, mana mau dia melawan rasa cemasnya dengan melintasi Selat Bosporus dari bawah laut. Ia tahu kereta ini sangat kuat, tapi pikirannya tetap saja membayangkan hal-hal buruk.
Buyukanne, neneknya yang tinggal di Istanbul bagian Asia menyarankan ia untuk naik Marmaray. Kata neneknya, naik Marmaray akan membuatnya lebih cepat sampai. Ah! Tapi setelah merasakan jantungnya yang berdetak lebih cepat dari keadaan normal, ia malah berpikir lebih baik tadi menyeberang dengan kapal feri.
Di sebelah tempat duduknya, ada lelaki yang tampak memandanginya. Ia adalah seorang mahasiswa Istanbul Technical University yang ingin menelusuri gaya arsitektur The Blue Mosque yang dirancang oleh Sedefhar Mehmet Aga.
“Are you from Indonesia?” tanya Antar, lelaki itu.
“Yes, I’m from Indonesia,” jawab gadis itu singkat.
“Nama saya Antar,” ucap Antar.”
”Rinjani,” ucap Rinjani sembari memberi salam dengan isyarat tangan.”
”Tahu dari mana aku orang Indonesia?” tanya Rinjani tanpa melihat ke arah Antar.
“Kamu keliatan seperti orang Jawa,” jawab Antar.
“Kok tahu?”
“Bener, ya? Padahal saya cuma tebak-tebak,” ucap Antar sembari tertawa. Rinjani tampak tak terlalu menggubris Antar yang antusias.
“Bukan itu sih, wanita Indonesia itu punya auranya sendiri.”
Rinjani tertawa kecil mendengarnya.
“Nah, gitu dong! Dari tadi mukamu itu kayak orang yang mau dimakan paus,” celoteh Antar.
“Sebenarnya ini efek dari naik Marmaray untuk pertama kalinya.”
“Kau takut terjadi gempa yang bisa menghancurkan terowongan ini dan membuat kita semua tenggelam?”
“Hush! Kau jangan ngomong sembarangan! Pamali!” seru Rinjani.
“Bukan begitu, Rinjani. Aku yakin orang yang merancang terowongan ini sudah berpikir baik dan buruknya buat penumpang. Dan cara mengantisipasi kalau terjadi hal yang tak terduga,” jelas Antar. “Kau tahu? Menurut keterangan dari perancangnya, tanah dari galian proyek ini bisa mengisi 788 kolam renang ukuran olimpiade. Semen yang digunakan bisa memenuhi 18 stadion. Besi yang dipakai bisa dijadikan 10 Menara Eiffel. Selain itu terowongan ini tahan gempa hingga 9 skala richter,” lanjut Antar.
Rinjani membayangkannya di dalam pikiran. Sejenak ia terkagum-kagum.
“Apa pembuatan proyek raksasa ini ide dari Presiden Recep Tayyip Erdogan?” tanya Rinjani.
“Iya, Erdogan adalah orang yang berperan penting dalam pembangunan ini. Tapi ide ini sudah muncul sejak zaman kekaisaran Ottoman. Hanya saja kurangnya dana dan teknologi yang dimiliki Sultan Abdoel Medjid kala itu membuat pembangunannya tidak terwujud,” jelas Antar, Rinjani tersenyum memikirkan sesuatu.
“Kau kenapa senyum-senyum, Rinjani?”
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya berpikir bahwa pantas saja Erdogan menang pemilu.”
“Bukan hanya dia Rinjani, tetapi semua orang yang bekerjasama untuk membuat Marmaray. Pembuatannya sangat lama, mulai 2004 sampai 2013, tepatnya 29 Oktober 2013, artinya sudah kurang lebih 9 tahun,” jelas Antar. Rinjani mengangguk dan tersenyum, seakan mengakui luasnya pengetahuan lelaki di depannya ini.
“Ngomong-ngomong kau ingin ke mana, Antar?” tanya Rinjani.
“Aku ingin ke The Blue Mosque untuk mengerjakan tugas kuliah,” jawab Antar.
“Kau kuliah di mana?”
“Istanbul Technical University.”
“Wah, calon perancang, tho? Pantesan!”
“Wah, pantesan gimana? Itu pengetahuan, Rinjani. Sekalipun bukan perancang, enggak ada yang larang buat tahu itu.”
Kereta Marmaray sudah sampai ke stasiun Kazlicesme. Antar tidak ingin menunda waktu, ia langsung bergegas meninggalkan Rinjani di stasiun Kazlicesme setelah mengucapkan sampai jumpa. Rinjani tersenyum menanggapinya. Kemudian, tubuh lelaki itu hilang di antara kerumunan.
Rinjani termenung sejenak, ia senang bertemu lelaki itu tetapi ia merasa ada yang terlupa. Sesuatu yang janggal yang belum ia ketahui.
Astaga! Lelaki itu, Antar, bahkan ia lupa untuk bertanya dari mana ia berasal. Adalah langka bisa bertemu dengan orang Indonesia di negeri orang dan ia bahkan tidak bertanya di mana alamatnya di Indonesia?
Ia ingat tujuannya, karena itu ia berharap, semoga The Blue Mosque akan mempertemukan mereka kembali.(*)
Milenia Safitri, seorang pencinta hujan yang terkadang frontal ketika menuangkan perasaan lewat aksara. Sekarang ia di kelas XI MIPA 3 di MAN 1(MODEL) Lubuklinggau dan ditunjuk sebagai ketua organisasi FLP di sekolah. Bercita-cita menjadi penulis.
Akun FB: Millenia Safitri, Instagram: gads_asritams, email: safitrimillenia29@gmail.com.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata