Peran(g) (Terbaik Ke-14 TL19)

Peran(g) (Terbaik Ke-14 TL19)

Peran(g)

Oleh: Ning Kurniati

Terbaik Ke-14 TL-19

 

Sejak hari itu Anna mengatakan kalau Tuhan sudah mati dan kalau harapan itu ada, itu adalah diri kami sendiri. Tidak ada yang bisa diandalkan. Sebab, pada akhirnya tidak ada siapa-siapa dan tidak ada apa-apa. Di depan mata kami hanyalah kehilangan dan kematian.

Aku masih mengingatnya dengan baik. Hari selasa. Matahari bersinar sangat cerah dan angin bertiup sepoi-sepoi kontras dengan keadaan negeri yang kelabu di setiap sudutnya seperti seorang wanita tua yang telah kehilangan kecantikan masa muda. Hari itu kami berencana untuk memanen kacang panjang dan labu kuning yang kami tanam di halaman belakang. Sementara dari jalanan terdengar suara mobil yang melintas dengan sirine mengaung-ngaung, mungkin untuk menandakan kalau hari itu adalah hari yang sibuk bagi pihak Mesui. Lalu, datanglah dua orang tentara menggedor pintu rumah kami yang berwarna cokelat kusam. Begitu aku membukanya mereka segera masuk, suara sepatu botnya memantul-mantui di lantai dan Ibu langsung keluar, keluar dari rumah untuk selama-lamanya. Seharusnya Ibu tidak di rumah saat itu, seharusnya aku tidak pernah membuka pintu. Ibu bahkan belum sempat mengambil masker kainnya, dia langsung diseret. Lalu, kami tidak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Mungkin Ibu ditempatkan di suatu tempat seperti penjara atau ….

Sedangkan Ayah, kami sudah lama kehilangan dia. Ayah berangkat untuk membela negara kami sejak perang mulai digaungkan dan tentu saja kami tidak menerima kabar apa pun baik sebelum atau setelah Ibu dibawa pergi. Jadi, hanya ada aku dan Anna di rumah, entah ke depannya, sebab tentara  mulai menempati rumah-rumah warga. Yang tidak terima atau melawan akan diusir dari rumahnya sendiri. Untunglah rumah kami kecil dan jelek sehingga belum ada yang tertarik untuk kemari.

Dengan Anna kepala rumah tangga dan aku sebagai ibu rumah tangga kami berbagi tugas. Anna tidak percaya kalau aku mampu menjaga diriku di luar sana sehingga dialah yang selalu keluar untuk memenuhi kebutuhan kami. Dia akan berjalan melewati barikade satu lalu barikade selanjutnya dan menunjukkan identitas diri, setelah itu barulah dia boleh melanjutkan perjalanan. Padahal sekali-kali aku ingin menggantikannya mengantre ransum karena hanya itu yang  bisa kulakukan. Di usiaku, di luar sana aku tidak bisa melakukan apa pun untuk mendapatkan uang. Mungkin ada, misal melacur pada tentara itu, tapi aku yakin Anna akan membunuhku begitu dia tahu.

Anna bekerja sebagai pegawai di penginapan tempat para pemimpin pasukan tentara Mesui tinggal, dari siang sampai malam dengan upah yang tidak akan menutupi semua kebutuhan makan kami. Sebelum jam malam diberlakukan—jam sembilan—Anna akan tiba di rumah dengan napas tersengal dan keringat membasahi pakaiannya. Dia selalu ketakutan dan tampak lelah dengan mata cekung dan tulang pipi yang semakin menonjol. Anna yang langsing dengan adanya perang, sekarang tampak seperti ranting pohon tua kering yang sewaktu-waktu bisa patah.

Kadang-kadang, aku merasa seperti tahanan yang terkurung  di rumah. Jauh langkahku hanyalah di kebun belakang. Aku tidak pernah lagi mengungjungi teman-temanku dan tidak pernah lagi melihat mereka walaupun sepintas. Kami berada di satu distrik yang sama, tapi keadaan kami seperti berada di dua kota yang berbeda dengan jarak ribuan kilometer. Aku rindu dengan mereka. Andai pergerakan kami tidak dibatasi, kami pasti bisa berbagi cerita, itu akan sedikit menghibur. Namun, inilah duniaku sekarang, menyusut seperti kacang tua kisut yang akhir-akhir ini kumasak sebagai sayur dan hanya dengan tambahan garam, tapi ini semua lebih baik ketimbang tidak ada.

***

Setelah pandemi Virus red cough up blood(Virecub-01) terjadi, selanjutnya berbagai jenis virus muncul mendunia dalam puluhan tahun yang berkepanjangan. Semua negara kalang-kabut menghadapi situasi ini. Namun di negara kami, selalu ada orang-orang di pemerintahan yang korupsi dengan dasar proyek perbaikan tatanan negara dan rakyat, lalu yang tidak diharapkan pun terjadi, keuangan negara kami jatuh. Utang negara bertambah semakin besar ke beberapa negara digdaya. Pemerintah sudah berusaha melakukan serentetan perjanjian ini-itu, tapi dalam kepanikan semua hal tentu tidak akan pernah berjalan dengan baik. Pemerintah menerima tawaran pihak Mesui dengan memasuki pemerintahan.

Pemerintah kami menyebutkan kalau ini adalah bentuk kerja sama. Apa yang dilakukan oleh mereka adalah memberikan bantuan kepada kami untuk menyelesaikan masalah yang sedang kami hadapi, khususnya dalam bidang ekonomi. Lalu, keadaan berbalik mereka terbagi menjadi dua kubu di pemerintahan sedangkan yang akan diatur hanya ada satu yaitu kami, rakyat. Seperti dua anak kecil perempuan yang berebut satu boneka. Itulah penjelasan yang diberikan Anna kepadaku, dulu sekali.

Tahu-tahu saja para ayah dan pemuda diberangkatkan ke medang perang untuk membantu tentara menjaga perbatasan. Akan tetapi, perbatasan apa yang mau mereka jaga? Bukankah mereka sudah ada di dalam pemerintahan kami sejak awal. Aku tidak mengerti.

Tidak lama kemudian, para tentara Mesui menduduki kota. Invasi mereka perlahan meluas hingga tempat-tempat terpencil.  Aku tidak bisa lagi membedakan pemerintahan yang mana yang mengatur kami. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu juga. Aku hanya ingin hidup dengan Anna, itu saja.

Setiap hari terjadi pemboman dan penangkapan warga sipil yang dicurigai sebagai mata-mata. Mata-mata oleh siapa untuk siapa? Lagi-lagi aku tidak paham. Kadang-kadang tanah akan bergetar dan aku hanya akan melongo terdiam sampai getaran itu berhenti dengan sendirinya. Kemudian barulah aku akan melanjutkan aktivitasku kembali dengan pikiran hampa.

Aku sudah lama tidak memiliki ponsel sehingga sumber informasiku selama ini adalah Anna. Barang –barang elektronik kami digantikan dengan bahan makanan dalam dua tahun pertama kepergian Ayah. Lalu perhiasan-perhiasan kami, pada akhirnya kami menjual apa saja  yang bisa kami jual demi mengisi perut. Terigu, gula, minyak, bahkan garam harganya melonjak naik seharga baju-baju. Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan selain bertahan semampu kami.

***

Aku cemas. Sekarang sudah hampir jam dua belas malam dan Anna belum pulang. Ini pertama kalinya. Sudah berkali-kali aku menyibak gorden hitam kami, tapi tidak ada siapa-siapa di luar selain gelapnya malam. Aku sangat ingin menyusulnya, tapi ke mana.

Dalam menunggunya pulang aku berbaring di lantai. Dinginnya lantai menembus baju kemeja Ibu yang longgar di tubuhku. Tidak masalah, hal ini membuatku lebih baik karena dengan begini bila Anna mengalami hal-hal buruk–yang bahkan mengucapkannya aku tidak akan sanggup–rasa bersalahku akan berkurang sedikit. Aku ketakutan dan tidak ada hal yang bisa kulakukan selain berbaring dan berpikir yang kutahu tidak akan mengubah apa pun. Aku ingin menangis, tapi apa gunanya. Jadi aku menahan tangisku dan aku merasa menjadi perempuan muda yang kuat. Saat itu juga.

“Lisa, Lisa!”  Anna memanggil namaku. Seketika aku tersentak, lalu bangun dan duduk. Aku ingin berdiri dan memeluknya, tapi ada masalah. Ada seorangbatita dalam gendongan Anna.

“Itu bayi siapa?”

“Bayi ini ditinggalkan di jalan samping penginapan. Ibunya ditarik menaiki mobil tentara dan bayi ini sendirian. Dia menangis jadi aku datang untuk menenangkannya.”

“Dan kau membawanya pulang. Aku yakin kau tidak bisa memastikan kalau dia adalah bayi sehat.”

“Dia sudah lama sendirian. Aku lama menunggu di sisi jalan yang lain. Tidak ada yang tertarik kepadanya, Lis.”

“Lalu kenapa kau tertarik?”

“Dia akan menjadi adik baru kita dan kau akan punya teman di rumah.”

“Dan aku punya tambahan pekerjaan karena itu. Semoga saja dia bayi yang sehat. Kita akan memberinya makan dengan apa?”

“Dengan apa saja yang kita punya.”

Aku sering tidak bisa memahami pikiran orang lain. Namun, seorang bayi, itu benar-benar tidak masuk akal. Belum cukup sejam dia di sini, Anna sudah mengatakan kalau sebaiknya besok aku menjahitkan baju buat adik kecil kami. Rasanya lucu memiliki adik tanpa orang tua di rumah, tanpa adanya seorang laki-laki.

Anna memberinya nama Happines dan kami akan memanggilnya dengan sebutan “Hap”. Hap-hap tangkap, sayangnya ini bukanlah permainan yang akan berakhir kalau kami sudah lelah. Dia adalah makhluk hidup sama seperti kami, membutuhkan kasih sayang dan makanan. Aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana aku akan memberinya makan. Makanan, makanan, makanan, sudah tidak ada beras di ember tempat aku biasa menaruh beras.

Seharusnya aku mengatakan pada Anna kalau bubur yang sangat encer yang kami makan tadi pagi adalah beras terakhir kami. Pembagian ransum akan diberikan lusa. Semoga saja Hap menyukai daun-daunan karena hanya itu yang kupunya untuk besok. Aku tidak mungkin menyembelih satu ayam peliharaanku. Ayam-ayamku masih terlalu kecil dan mereka adalah tabungan kami untuk hari yang lebih buruk dibanding hari ini. Andai saja Anna membawa pulang anak yang bisa disuruh menggali tanah dan mencari cacing untuk makanan ayam, itu akan membantu kami. Tapi berandai tidak akan mengubah apa pun, jadi sudahlah, aku tidur saja!

***

Aku bangun subuh untuk menunaikan salat, lalu mandi. Air akan menyegarkan kepalaku yang sudah lama tidak tersentuh sampo. Anna masih tertidur dan akan tetap begitu sampai matahari bersinar terang. Dia sudah lama tidak salat. Dia baru akan melakukan itu kalau perang sudah berakhir, sudah berkali-kali dia mengatakannya, jadi aku berhenti menyerukan salat.

Ada lebih banyak pekerjaan yang harus kukerjakan. Dengan memulai lebih awal maka aku akan selesai lebih cepat. Jadi, aku memakai celana olahraga Ayah dengan memeniti bagian pinggangnya kalau tidak, celana yang kusam ini akan melorot dengan sendirinya. Lalu aku bercermin melihat pantulanku. Kurasa aku jauh lebih tua dari umurku dan sisa rambutku yang rontok semakin tipis. Aku menghela napas. Kuharap kehidupan akan berjalan sedikit lebih baik, kapan itu? Entah, tapi tidak ada salahnya berangan-angan untuk membesarkah hati sendiri.

“Aku akan mencari Ayah untuk Hap,” kata Anna sambil duduk lesehan di lantai menikmati daun bidara, kacang panjang dan labu yang kumasak, lagi-lagi hanya dengan campuran sejumput garam. Sedangkan untuk Hap aku menumbuk daun-daun tersebut dan menambahkan sisa terigu sehingga mengental dan bisa disebut dengan bubur.

“Kau mengatakannya seperti mendapatkan seorang ayah sama halnya dengan mendapatkan sebuah benda.”

Anna tersenyum. “Kita memerlukan itu Lis. Agar kita bisa mendapatkan identitas untuk Hap. Mereka akan senang memberikannya. Pandemi membunuh banyak orang, tapi perang lebih banyak membunuh orang. Kita perlu generasi penerus.”

“Lalu bagaimana kau akan mendapatkan ayah untuk Hap.”

“Kau ingat Henri temanku?” Aku mengangguk. “Ibunya meninggal dua hari yang lalu. Dia sendirian dan aku yakin dia tidak mampu apa pun di dapur selain memasak air. Dia pasti setuju. Kita akan tinggal bersama.”

Aku tidak yakin itu rencana yang baik, ini tidak ada bedanya dengan pemerintah kami, mengundang orang luar ke dalam rumah. Hap bukan siapa-siapa kami. Begitu juga dengan Henri.  Keduanya bibit masalah bagiku. Masalah apa yang akan terjadi di masa depan, tidak ada yang tahu, tapi bukankah sebaiknya kami menghindari masalah. Kurasa Anna terlalu mengasihi Hap. Dia mungkin lupa perang pertama kita semua adalah perang melawan keinginan diri sendiri. Padahal Ibu sudah berulang kali mengajarkan kami kalau keinginan itu belum tentulah kebutuhan. Tapi aku hanyalah seorang adik di mata Anna.(*)

Sulawesi, 20 Maret 2022

Ningkrnt, penulis amatir.

Komentar juri, Syifa:

Membaca tokoh Lisa yang pintar dan saleh, entah mengapa mengingatkan saya pada wajah salah seorang tokoh dalam film asal Turki yang pernah saya tonton. Lisa, adik yang saya bayangkan cukup ceriwis, cekatan, dan pintar, tapi tetap menghormati dan menyayangi kakaknya.

Cerita ini unik sekaligus menyentuh, bagaimana seorang anak tanpa orang tua dan merupakan korban perang tetap bisa mengasihi sesama meski kehidupan mereka juga sulit. Kedua kakak-adik ini seolah mengajarkan kita tentang pentingnya kemanusiaan dalam kondisi tersulit sekalipun. Cerita yang sarat makna, menyentuh, dan merupakan salah satu cerita dengan kepenulisan yang cukup baik menurut saya. Keren.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply