Perang di Mawana
Oleh: Lily Rosella
Pagi itu Putri berjalan pelan sambil meremas kelopak bunga anggrek di taman. Wajahnya nampak masam. Sepertinya ia jenuh dalam penantiannya selama setahun, menunggu Pangeran pulang dari berburu di hutan sesuai kesepakatan yang dibuat Raja untuk dapat meminangnya.
Pangeran pulang, bukannya merasa senang, Putri malah terdiam. Ia tak menyambut kedatangan pujaan hatinya sama sekali, curiga kalau dalam kurun waktu setahun ternyata ada wanita lain di hati Pangeran. Hingga sore harinya Putri mengajukkan sebuah permintaan, yaitu meminta hati kijang bertanduk emas sebagai bukti kalau Pangeran benar-benar mencintainya. Tanpa melakukan penawaran sama sekali, Pangeran langsung menerima permintaan Putri dengan senang hati.
Berbekal seiris daging sapi panggang dan beberapa buah-buahan juga sekantung air, Pangeran memacu kudanya dan pergi ke hutan. Tempat yang sudah tak asing lagi baginya. Di sana ia mencari kijang bertanduk emas yang terdapat dalam legenda. Neneknya sering menceritakan perihal kijang tersebut sewaktu ia kecil. Katanya, kijang itu hanya ada di Hutan Mawana, sebuah hutan terlarang.
Tengah hari, saat matahari terasa seperti menyengat kulit, Pangeran berteduh di bawah Pohon Kus. Sebuah pohon besar yang buahnya bukan terdapat di ranting, melainkan di akar gantung. Kulitnya berwana merah delima, tapi daging buahnya yang lembut seperti pisang berwarna biru keemasan. Kalau soal rasa, bisa dibilang buah ini begitu manis, serupa madu.
Ia menyantap irisan daging sapi panganggnya seperempat bagian, lantas kembali mengikat kain bekalnya. Bersiap berburu dengan tangan kanan yang memegang anak panah, dan tangan kirinya memegang busur. Menelusuri hutan guna mencari kijang bertanduk emas.
Nahas. Bukannya mendapatkan kijang bertanduk emas, Pangeran malah bertemu raksasa penunggu hutan. Sebenarnya karena inilah Hutan Mawana disebut Hutan Terlarang. Karena di hutan ini banyak hewan-hewan juga makhluk-makhluk mitos bersemayang. Mengisi seluk-beluk hutan sampai ke bagian terdalam dan tergelap.
Pangeran berlari, langkahnya yang cukup lebar mampu membuatnya berada beberapa meter di depan raksasa tersebut. Berusaha menghindar sebisa mungkin saat tangan nan besar milik raksasa mencoba menangkapnya, lantas menyulapnya sebagai menu makan malam.
Byur!
Jantungnya berdebar. Lidahnya kelu. Ia tak ingat apa pun lagi setelah kakinya tergelincir di tepi tebing. Yang Pangeran tahu hanyalah tubuhnya terbawa arus sungai.
***
“Kau sudah sadar rupanya,” seru seorang wanita berbaju seputih salju dengan rambut berwarna silver yang terkuncir separuh. Di kepalanya terdapat mahkota yang terbuat dari akar-akaran, dihiasi daun-daun juga beberapa bunga berbentuk kristal es.
Pangeran tak dapat menjawab. Tubuhnya tak bisa digerakkan, pun begitu suaranya seperti tercekat. Ia hanya bisa berbaring di ranjang yang terbuat dari tumpukan daun kering. Meminum ramuan yang baru saja diracik oleh wanita tersebut.
Lambat laun, hari berganti hari, Pangeran mulai mengetahui kalau wanita yang selama ini telaten merawatnya adalah seorang peri hutan. Tak hanya meminum ramuan yang diracik Peri, tubuh Pangeran yang setinggi 178 sentimeter juga diseka setiap pagi dan petang. Peri mengunyahkan makanan sebelum memasukkannya ke dalam mulut Pangeran, juga mengajarinya berjalan sedikit demi sedikit, katanya agar saraf-saraf pria berkulit putih itu kembali berfungsi setelah sempat lumpuh.
Benar saja apa yang Peri katakan, hanya dalam kurun waktu sebulan, akhirnya Pangeran sudah bisa berjalan dan makan sendiri. Ia bahkan mambantu Peri saat hendak mengambil buah di Pohon Kus, tepat di depan gubuk berukuran 8 meter persegi tempatnya berisitirahat selama ini.
“Pejamkan matamu.”
“Kenapa?”
“Agar kau bisa pulang.”
Pangeran menggeleng. Ia tidak mau pulang dan bersikukuh untuk tetap tinggal.
“Ini bukan tempat untuk manusia. Aku hanya merawatmu karena kau terluka.”
“Kalau begitu aku akan terluka lagi agar bisa tinggal di sini.”
“Tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Karena kau akan lebih terluka lagi nanti. Kau bisa mati,” jawab Peri datar.
Pangeran menghela napas, berjalan menuju gubuk dengan otak yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Namun seperti sebuah sulap. Bukannya masuk ke dalam gubuk, ia kini berdiri di luar hutan. Di sampingnya, kuda yang pernah pergi bersamanya langsung menundukkan kepala. Badannya sedikit direndahkan agar Pangeran bisa segera naik.
“Kita harus menyisir hutan ini agar bisa bertemu Peri,” gumamnya.
Tanpa Pangeran sadari, kuda yang ia tumpangi tak membawanya masuk ke dalam hutan, melainkan berlari semakin jauh. Bahkan membawanya pulang ke istana tempat Putri menunggu.
***
Hari pernikahan berlangsung sesuai yang direncanakan. Putri sudah tidak ragu lagi akan cinta Pangeran meski hati kijang bertanduk emas tak dibawanya serta saat pulang. Namun, bukannya menjadi pernikahan yang berakhir bahagia seperti di negeri-negeri dongeng, Pangeran malah jatuh sakit dari hari ke hari, badannya semakin lama semakin kurus. Setiap malam dapat Putri dengar kala Pangeran mengigau, memanggil-manggil Peri. Suaranya terdengar parau.
Meski tidak rela, namun Putri akhirnya memanggil seseorang yang dipercayanya dari negeri seberang. Seseorang yang tahu tentang bagaimana cara untuk dapat menemui Peri. Ia sadar mungkin ini adalah saatnya ia harus melepas Pangeran.
Pangeran mendengarkan dengan saksama, lantas mulai bersiap di pagi hari, memacu kudanya menuju Hutan Terlarang. Meski sedang sakit, membayangkan akan bertemu Peri saja sudah membuatnya merasa lebih baik. Ia tersenyum di sepanjang perjalanan, tak takut meski tahu bahwa rintangan untuk bertemu seseorang yang dicintainya sangatlah berbahaya. Ia harus masuk ke bagian hutan yang paling dalam, melewati Rawa Kegelapan, menembus Hutan Kematian, hingga akhirnya ia bisa sampai di istana Dewa. Itu pun jika dia bisa bertahan hidup.
Sambil menentang maut, Pangeran melewati semua rintangan itu. Menyibak semak-semak dan ranting yang menghalangi jalannya, pun begitu ia juga harus berhadapan dengan hewan-hewan buas, satu-dua kali ia bertemu raksasa. Hampir saja ia tertangkap dan mati terpanggang. Namun usahanya tak sia-sia. Pangeran berhasil sampai di depan istana Dewa. Dengan tenaga yang hampir terkuras semua, ia membuka pintu nan besar berwarna cokelat dengan ukiran merah darah menghiasi tepinya.
“Untuk memiliki hati Peri, kau harus mengambil kalung kristal di ruang singgasana. Jika kau meminum isinya, maka kau akan bisa menjadikannya milikmu,” itulah yang didengarnya dari seorang pria tua yang berkunjung ke istana sehingga membuatnya mampu melewati semua rintangan demi rintangan tadi.
Dengan langkah yang sangat hati-hati, Pangeran mengendap-endap berjalan menuju ruang singgasana. Menatap awas ke segala sudut ruangan. Sayangnya, belum juga ia menyentuh kalung kristal tapi sayangnya Dewa telah tiba. Ia menghentak kakinya ke lantai pualam dam membuat istana langsung bergetar. Pangeran hampir saja tersungkur.
“Apa yang kau lakukan?” bentaknya. Suaranya bergema, memenuhi seluruh ruang singgasana.
Pangeran bergeming. Kakinya tak gemetar sama sekali. Dengan suara yang lantang, ia menyampaikan maksudnya untuk bisa mengambil kalung kristal yang kini dipegang Dewa.
“Kenapa kau menginginkannya?”
“Karena aku ingin bisa memiliki Peri.”
“Memlikinya?”
“Iya!” jawabnya mantap.
Dewa terkekeh. Matanya yang besar menatap Pangeran tak berkedip. “Kau tahu kenapa tempat ini disebut Hutan Kematian?”
“Karena untuk sampai di sini, kebanyakan orang harus melewati rintangan yang mematikan.”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Karena kau tidak bisa meninggalkan hutan ini selain menjadi abadi.”
“Abadi?”
“Aku banyak melihat orang-orang sepertimu. Mereka datang ke hutan ini untuk mencari keabadian yang akan mengorbankan ribuan nyawa. Meminum hati Peri yang tersimpan di dalam kristal ini. Lantas, setelahnya Peri akan musnah, keseimbangan hutan mulai terkikis sedikit demi sedikit. Kau pikir aku akan mewujudkan kebodohan seperti itu?” Dewa menatap tajam.
“A—pa yang kau maksud?”
“Saat kau meminum isi dari kristal ini, maka Peri akan menjelma menjadi butiran-butiran halus nan bercahaya, lantas terbang ke langit. Kau bisa memilikinya, menghabiskan hidupmu dengan keabadian sambil melihatnya kala malam. Kau akan abadi dalam kesepian.”
Pangeran terbelalak. Ia tidak tahu sama sekali tentang itu. Yang ia tahu hanyalah rasa cinta di hatinya serupa belati. Menghunus perlahan, membelah dan mengoyak begitu perih.
“Kau berbohong!” sanggahnya.
“Kau pikir kenapa Peri tak mencintaimu padahal telah merawatmu sebulan lamanya?” Pangeran diam. “Itu karena ia tidak punya hati.” Dewa menghela napas. Rupanya tak seperti yang terdapat dalam legenda. Dewa jugalah makhluk berperasaan yang memiliki beragam ekspresi, dan kini ia tengah menunjukkan wajah sendunya.
“Dahulu kala, saat Peri masihlah manusia biasa, ia jatuh cinta pada seseorang. Sayangnya cinta membuatnya mati sebelum ia benar-benar mati. Demi menyelamatkannya, aku mengambil hatinya dan menyimpan di dalam kristal ini. Menjaganya di tempat yang tak pernah bisa terjangkau oleh siapa pun. Dan sama seperti saat ia masih menjadi manusia. Ia menjalani hidupnya sebagai wanita yang penuh kasih meski tak memiliki hati. Merawat tumbuhan, hewan, juga makhluk-makhluk yang terluka. Bahkan Peri sendiri pun lupa kalau ia adalah bagian dari manusia.”
“Pikirkanlah olehmu mana yang benar-benar ingin kau pilih,” ucapnya menutup cerita.
Kali ini tangan Pangeran serasa sedingin es. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan kedua pilihan tersebut. Mati demi memastikan bahwa Peri tetap hidup, atau menghabiskan seluruh keabadiannya dengan merutuki diri sendiri karena membunuh orang yang dicintainya.
“Aku tidak akan meminumnya,” ucapnya yakin.
***
Hari demi hari berlalu, Pangeran menghabiskan sisa umurnya di halaman istana. Menunggu ajal menjemput tanpa makan atau minum setes air. Baginya, mati adalah cara yang tepat untuk membalas semua kebaikan Peri, juga cara untuk menunjukkan cintanya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Peri yang kebetulan berkunjung ke istana untuk menemui Dewa, sahabat baiknya.
“Kau bisa mati jika seperti ini.”
Bibir Pangeran yang kering dan pecah-pecah menyunggingkan sebaris senyum. Ia tak bisa memeluk pujaan hatinya. Hanya bisa berbaring sambil menatap sayu ke arah Peri, lantas matanya terpejam. Dalam benaknya, ia bersyukur bisa melihat wanita yang selama ini ditunggunya sebelum ajal menjemput.
Tik! Cairan itu mengenai bibir Pangeran, masuk secara perlahan dan tertelan.
Malam ini, tak ada siapa pun yang mati. Pangeran membuka mata perlahan. Tubuhnya yang hanya tinggal tulang belulang kembali seperti sedia kala.
Ditatapnya wanita yang kini tersenyum padanya. Rambut panjangnya yang tergerai separuh nampak seperti menari-nari. Lantas tubuhnya bercahaya, melebur, kemudian terhempas bersama angin yang membawanya menuju langit gelap.
“Dia di sana,” unjuk Dewa yang sejak tadi duduk di salah satu ranting sambil memperhatikan semua yang terjadi.
Pangeran mendongak, menatap bintang berwarna perak yang bersinar paling terang di antara bintang-bintang lainnya. (*)
Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn / Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita