Penyamun

Penyamun

Penyamun
Oleh: Tri Wahyu Utami

Tanpa sesiapa pun yang menemani, Dae menyeret keluar tubuhnya yang remuk itu menuju lubang kecil yang memancarkan sinar keemasan. Lubang yang seharusnya dia tuju sejak lama dan di baliknya, terdapat ruang kehidupan yang telah dihuni oleh orang-orang berwajah palsu, yang mampu menyunggingkan senyum kendati pikiran disesaki bermacam hal—nasib buruk, keinginan yang tak kunjung terkabul, dan masih banyak lagi ketidakberuntungan lainnya. Mereka adalah orang-orang yang tinggal di sekitar rumah Dae, orang-orang yang telah meneriakinya berulang kali dengan kalimat serupa dan penuh pengharapan agar ia segera pulang, lantas menjauhkan diri dari Jurang Kehancuran yang pernah menjeratnya dulu.

Belasan tahun silam, Dae masih terlalu dungu untuk bisa memahami petuah ibunya sebagai jawaban dari kegelisahannya selama ini. Tentang kebahagiaan yang dia cari, dan yang baginya hanya berujung pada kemewahan duniawi. Kemudian dengan membawa serta keyakinan bodohnya itu, Dae menemukan jalannya sendiri di mana kehormatan, status sosial, dan berlembar-lembar uang bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dia genggam. Dae terpukau. Matanya selalu berbinar cerah tiap kali dia menelusuri jalan itu dengan begitu mudahnya, seperti saat dia menaiki tangga di salah satu bangunan bertingkat tempat dia bekerja. Tangga itu cukup pendek, dan di atasnya, sebuah lampu bak permata yang berkilauan tengah bergelantungan dengan sinar yang terang. Membuat siapa pun yang hendak menuju puncak tangga takkan merasa kesulitan untuk berjalan ataupun berlari, namun menjadi sangat panjang bagi mereka yang ingin kembali demi beralih profesi.

“Ibu tidak membutuhkan semua ini, Dae. Untuk apa? Untuk apa kau bekerja keras siang dan malam jika itu hanya membuatmu melupakan Ibu?” isak seorang wanita dengan wajah pucat yang sedang duduk di kursi roda. Kondisinya sudah tak separah dulu saat dia hanya bisa terbaring lemah di atas kasur. Namun, dari hari ke hari, luka hatinyalah yang bertambah dalam.

Dae memberinya kejutan istimewa, rumah megah sekaligus anggota baru di keluarga mereka tanpa asal-asul yang jelas. Yang sejatinya tak pernah dia anggap sebagai cucu hanya karena Dae sangat menyayanginya, bahkan memperlakukannya dengan sangat baik seperti anak sendiri. Ya, itu benar. Selama puluhan tahun mereka memang hidup berdua saja. Tetapi … benarkah Dae seputus asa itu dan tak percaya lagi pada cinta? Hingga untuk menikah saja lalu memiliki keturunan sendiri, tak ubahnya mimpi di siang bolong yang akan meletus layaknya balon terkena lelehan matahari yang menyala-nyala. Dan benarkah dia begitu kesepian sampai-sampai kehadiran sang Ibu tak lagi berarti?

“Malam ini aku akan menghentikan mereka semua,” sahut lelaki itu membelokkan arah pembicaraan,” dan akan kupastikan, tidak ada lagi yang bisa mereka ambil dari rumah kita.”

“Jadi hanya itu yang kamu pikirkan, Nak? Lalu bagaimana dengan dia? Seharian ini saja sudah banyak benda yang dia tendang, lempar, dan sembunyikan di bawah kolong tempat tidur hingga rumah menjadi berantakan.”

Penjelasan wanita tua itu menjadi akhir perbincangan mereka, sebab Dae tak tertarik untuk membahasnya lebih lama lagi dan dia memilih untuk pergi sebelum terlambat bekerja. Saat ini, Ibu belum bisa menerima sosok lain di antara mereka. Tetapi esok, mungkin dia akan berubah pikiran, begitu pikirnya. Jadi, tak ada yang perlu dirisaukan. Termasuk lolongan anjing tetangga bertelinga panjang dan berlendir, yang mengiringi langkahnya menuju halaman depan rumah.

Tidak hanya berhenti di situ. Situasi tidak menyenangkan lainnya kembali hadir ketika Dae menyadari ada yang hilang lagi dari istananya—yang bisa berubah bentuk tergantung dari mana orang melihatnya, seolah bangunan itu sangat lentur seperti plastisin yang mudah ditekan-tekan—hanya berjeda sebulan dari peristiwa pertama. Dan benar saja, di malam hari ketika sebagian besar orang sudah terlena di alam mimpi, seorang penyamun berkunjung dengan menjinjit-jinjitkan kakinya yang pendek tanpa menggunakan alas kaki. Dia berpakaian serba hitam dan mengenakan tutup wajah yang hitam pula. Seolah hendak menyaingi kegelapan malam, menyaingi keredupan hati Dae yang perlahan hanya dipenuhi kabut keabu-abuan laksana awan mendung di langit.

Lenyap sudah rencana awal Dae untuk mengajak anaknya berjalan-jalan di luar rumah, bermain petak umpet, dan membelikan kuda-kudaan sebagai hadiah dan ungkapan penyesalan darinya sebab telah begitu egois. Setiap hari hanya dihabiskannya untuk menimbun uang, bekerja dan bekerja. Tanpa memedulikan suasana rumah yang semakin sunyi, dan barulah dia sadar dengan penyebab utamanya setelah satu per satu benda berharga di rumah mereka hilang. Tak ada jejak apa pun yang membuat salah satu dari mereka bisa menerka-nerka, siapa dalang di balik semua ini. Namun, sekarang tidak lagi. Dae telah mengetahui akar permasalahannya dan menangkap basah penyamun itu.

“Berani-beraninya kau mengambil hartaku!” bentaknya dengan amarah yang sempurna. Penyamun itu diam. Tubuhnya gemetaran dan matanya bergerak ke kanan-kiri dengan cepat. Oh … rupanya dia mulai ketakutan. “Dasar pecundang! Begitu tertangkap basah, sudah bingung harus melakukan apa,” batinnya meracau tak keruan.

“A—aku butuh uang untuk makan,” dalih penyamun itu. “La—lagi pula, hartamu banyak. Uang sekecil ini tak ada pengaruhnya, bukan? Kau tidak akan jatuh miskin hanya karena kehilangan uang ini,” imbuhnya masih dengan suara terbata-bata.

“Oh, ya? Apa peduliku, hah? Untuk membangun rumah semegah ini, aku telah mengorbankan banyak hal. Jadi, jangan harap kau bisa kabur dengan membawa apa pun yang bukan menjadi milikmu!”

“Dae!” bentak seseorang dari balik pintu, ibunya. Wanita tua itu rupanya merasa iba setelah melihat si penyamun meneteskan air mata. “Lepaskan dia. Biarkan dia pergi dengan membawa uang itu.”

“Apa Ibu bilang? Apa aku tidak salah dengar?”

“Dae ….”

“Dia sudah mencuri barang di rumah kita, Bu.”

“Dan dia sudah sangat gemetaran karena menahan lapar,” sela wanita tua. “Apa sulitnya bagimu merelakan uang itu dan mencarinya lagi? Hm?”

“Tidak! Aku tidak akan bermurah hati, lalu membiarkan—”

“Baik, baik!” si penyamun membuka mulut, akhirnya, dengan sisa keberanian yang dia punya. “Ini, aku kembalikan kepada kalian. Jadi, biarkan aku pergi sekarang juga.”

Perseteruan singkat, tetapi begitu dramatis hingga keesokan harinya, Dae mendadak jatuh sakit tanpa sebab yang jelas. Tubuhnya melemas seolah tak bertulang. Sendi-sendinya terasa nyeri yang teramat sangat, sampai untuk membuka jendela saja, dia tak lagi sanggup. Sebulan kemudian, hidupnya pun berubah. Istana yang telah susah payah dibangunnya selama ini kembali sunyi. Lebih sunyi dari sebelumnya, sebab secara mengejutkan, sang Ibu menjemput kematian dengan cara tidak wajar dan sumpah serapah kepadanya. Sebagian besar hartanya hilang, namun bukan karena ulah penyamun. Melainkan ulah wanita tua yang memberikannya kepada pengemis secara cuma-cuma, yang ditemuinya saban hari di halaman rumah tanpa sepengetahuan Dae, dan sebelum jasadnya tertanam abadi di liang lahat.

“Jangan harap kau bisa bahagia dan hidup tenang dengan memikul dosa ini, Dae!” begitu teriaknya, di malam ketika lolongan anjing tetangga bertelinga panjang dan berlendir, kembali terdengar. Lebih nyaring dan lebih lama dari yang pernah mereka dengar selama ini.

Dae termenung, terisak, kemudian meronta-ronta dengan tangis menyedihkan. Dengan darah yang mengalir dari kedua lubang hidungnya, dan tanpa sesiapa pun yang menemani. Sendiri, di ruang yang begitu gelap dan sunyi.

“Dae ….”

Suara itu tiba-tiba muncul dan Dae tahu betul dengan apa yang didengarnya. Itu adalah suara Ibu yang keluar dari dalam lubang kecil di depannya. Lubang yang memancarkan sinar keemasan, dan menggugah hati Dae untuk menghampirinya. Namun, sebelum dia berada tepat di depan lubang itu, sesuatu yang menyesakkan kembali memenuhi pikirannya.

Dae menangis. Dia teringat dengan sesuatu yang penyamun bawa usai pertengkaran mereka. Benar, lelaki itu memang mengembalikan uang yang dia minta. Namun sebagai gantinya, dia membawa kabur botol minuman yang didalamnya terdapat bocah gundul berkepala plontos. Anak angkatnya yang kini memiliki orangtua baru. Dan sebagai imbalannya, sosok itu akan menghiasi tempat tinggalnya dengan kemewahan duniawi. Dengan segepok uang yang dibawanya pulang tiap malam, selepas bermain dengan anjing tetangga.(*)

 

Malang, 20 April 2019.

Tentang Penulis:

Tri Wahyu Utami, gadis penikmat fiksi yang bernama pena Triandira yang saat ini tinggal di kota Malang. Penyuka Spongebob dan Harry Potter.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata