Penunggu Halte
Jam tujuh malam lewat beberapa menit. Dan hujan masih konsisten membasahi bumi, tak lupa menyertakan angin dan petir yang membuat Linda semakin gelisah. Ia melingkari tas, satu-satunya harta yang kini ia punya dengan kedua lengannya. Mencoba menghalau dingin. Tapi hawa dingin yang semakin menanjak tampaknya tak membuat suhu tubuhnya menghangat. Linda sangsi akan mendapatkan angkutan umum untuk pulang. Terlebih lagi kondisi halte yang menyedihkan dengan nihilnya penerangan dan atap yang bocor semakin memperparah keadaan. Sebut saja halte tua ini sudah tidak digunakan dan terlantar. Jangankan kendaraan umum, bahkan kendaraan pribadi pun tak melewati halte ini. Sebut saja Linda sedang sial karena punya pacar seorang penipu. Ya, penipu ulung. Mengaku sebagai seorang manajer sebuah restoran bintang lima. Nyatanya komplotan pencuri sepeda motor. Awalnya Linda curiga kenapa pria itu mengajaknya jalan-jalan, tapi menggunakan motor Linda.
Linda kira dia akan diajak makan romantis di tempat kerjanya, sialnya ia hanya diajak berputar-putar. Lalu diajak menepi di halte ini untuk memasang mantel karena hujan, tapi yang selanjutnya terjadi adalah pria itu mencoba membawa lari sepeda motornya. Linda sempat mencoba mempertahankan diri dan motornya. Tendangan di ulu hati, cakaran di wajah, sedikit tendangan pada alat vital. Tapi semuanya sia-sia dengan satu bekapan dan dorongan pria yang punya proporsi badan besar itu berhasil membawa lari motornya. Dan kejadian sial itu baru terjadi dua puluh menit yang lalu. Linda bisa saja mengejarnya kalau saja hujan petir tidak turun secara tiba-tiba. Membuatnya harus mendekam di halte tua yang terkenal punya riwayat magis ini.
Linda teringatakan cerita-cerita mistis yang berhubungan dengan halte yang terkenal dengan hantu perempuan. Bukan hantu perempuan biasa, si hantu ini dipercaya sebagai penolong hubungan percintaan. Caranya pun tak terhitung sulit. Siapkan bunga tujuh warna, kemenyan bakar, dan rambut orang yang kau taksir. Lalu letakkan di halte ini selama empat puluh hari berturut-turut dan alhasil orang itu akan terpikat padamu. Maka tak heran kalau di halte tua ini sering dijumpai benda-benda khas perdukunan. Linda heran, kenapa di zaman yang serba digital ini masih banyak orang yang menggunakan jasa makhluk astral untuk memenuhi nafsu keduniaan mereka. Toh, dalam satu agama sudah disebutkan bahwa hal itu haram hukumnya.
“Namanya juga kepepet Lin, percaya nggak percaya masih banyak orang yang pakai begituan. Mau tahu contohnya?” Linda teringat dengan percakapannya dan Adel minggu lalu. Wanita beranak satu itu menunduk berbisik di telinganya. “Tahu Sania yang kerja di kantor keuangan kan? Kabarnya dia juga pakai jasa hantu cewek itu buat ngegaet kepala dinasnya yang duda. Tapi ini masih jalan dua mingguan, nggak tahu deh dia betah apa nggak.”
“Ah, masa sih. Sania kan orangnya baik-baik gitu.”
“Sania emang anaknya baik-baik, tapi berani aja pakai begituan. Sekarang kita hidup di zaman gila, nggak gila nggak hidup. Tunggu aja tanggal mainnya. Kapan-kapan coba deh mampir halte itu, pasti Sania mampir ke sana bawa bunga sama kemenyan. Satu kantor udah pada tahu kecuali kamu.”
“Aku sih ngeri aja, nggak kebayang gimana hantunya. Pasti nyeremin kan?” pertanyaanku sukses membuat Adel tertawa terbahak-bahak.
“Di mana-mana hantu nyeremin Lin, lucu banget sih kamu. Tapi kata Mang Ujang hantu ini agak lain, jarang memperlihatkan diri gitu. Kabarnya dia cuma nampak di saat-saat tertentu, kaya misalnya malam Jumat Kliwon atau kalau ada orang mati di sekitar daerah halte itu. Kalau rupanya belum banyak yang tahu, tapi menurut kabar wujudnya ya biasa aja. Kaya perempuan umur dua puluhan, pakai gaun hitam, rambutnya panjang. Udah gitu doang,”
Teringat percakapan yang membuat merinding, Linda semakin gelisah berada di sini. Bukan karena apa-apa, cuma ini malam Jumat Kliwon. Dan tiba-tiba Linda bisa mencium aroma singkong bakar, pertanda kehadiran makhluk tak kasat mata. Bulu kuduk di sekitar leher Linda meremang, ia tak berani mengedarkan pandangannya. Takut jika hantu itu tiba-tiba sudah ada di sampingnya atau di belakangnya. Hujan tak kunjung berhenti, angin dan petir yang saling bersahutan di langit malam. Sungguh, ini situasi paling horor yang pernah Linda alami seumur hidup. Aroma singkong bakar yang makin menusuk hidung dan hawa dingin yang makin mencekam. Linda merasakan hawa-hawa tak mengenakkan di samping pundaknya.
“Nggak capek Neng, duduk yuk,” suara yang membuat jantung Linda seakan jatuh ke kaki. Sumpah dia tidak merasakan orang datang sebelumnya. Ragu-ragu menoleh, Linda mendapati seorang perempuan sudah berdiri di sampingnya. Dengan ciri-ciri yang sama seperti yang diceritakan Adel. Sungguh ingin sekali rasanya Linda pergi, tapi gravitasi bumi yang terlalu kuat memaku kakinya. Ia tak bisa bergerak, ia merintih, hampir menangis, berharap seseorang datang untuk menolongnya.
Samar-samar dari kegelapan dan kejauhan Linda melihat bayangan seseorang, manusia tentunya. Linda bisa melihat dengan jelas kaki-kakinya membelah air hujan yang mulai naik setinggi betis. Membawa payung dan keranjang berisikan bunga, itu Sania! Benar kata Adel, oh syukurlah ia sempat menggosip dengan Adel. Dengan terseok-seok Sania membawa barang-barang itu. Semoga Sania bisa melihatnya kesulitan dan membantunya. Belum sampai di halte Sania memekik, tentu saja karena hantu perempuan itu masih berdiri di samping Linda. Terpampang nyata dan tak bergeser barang semili pun. Sania jatuh ke tanah yang tergenang air, barang-barangnya berserakan. Tanpa aba-aba dia berbalik dan melarikan diri tanpa menoleh ke belakang lagi. Sial satu-satunya kesempatan Linda hilang.
“Yah, sayang sekali ya Neng. Ritual temennya jadi gagal sehari, dia harus mengulang dari awal dong,” ucap hantu itu diteruskan dengan kikikan yang membuat hati Linda ngilu. Bodo amat hantunya ngajak ngomong, Linda masih normal.
Sebuah cahaya lampu dari kejauhan. Sebuah angkot, cukup aneh masih ada angkot yang melewati jalan ini. Tapi sudahlah ia mungkin sedang beruntung. Linda berlari dengan sekuat tenaga, untunglah gaya gravitasi kembali pada sedia kala. Tak mau berlama-lama di halte ia segera menyusul angkot yang kelihatan usang itu. Alangkah kagetnya Linda saat mendapati si hantu sudah duduk di sana dengan makhluk-makhluk yang tak kalah anehnya dengan si hantu. Dari kiri si hantu perempuan, makhluk tak berwajah, noni Belanda pucat, dan diakhiri dengan makhluk hitam besar yang bulunya memenuhi angkot.
“Ayo naik Neng jangan takut, eh Neng nggak lupa udah mati kan?’
Linda mencelos, ia berbalik menghadap halte. Mendapati tubuhnya masih ada di sana, teronggok di kursi halte. Dengan leher tergorok.(*)
Reza Agustin, lahir dua puluh tahun yang lalu pada 20 Agustus 1997. Bunga yang terlambat mekar. Penikmat drama Korea dan pembaca webtoon. Kunjungi FB saya dengan mengetik Rezha Agusteen dan IG saya dengan mengetik @reza_minnie.
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-3 Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan