Penumpang Terakhir
Oleh : Mutia AH
Lokasi Terminal Karang Sutra memang unik: terletak tepat di pertigaan jalan antara Mojaherang, Lingga Jaya, dan Sidakaya. Jika berdiri di pinggir terminal paling ujung, maka akan terlihat kendaraan dari arah ketiganya. Dan di sinilah kini aku berada. Setelah semalaman menempuh perjalanan dari Jakarta, matahari bulan Januari mengintip malu-malu setelah seharian kemarin bersembunyi di balik awan kelabu. Hawa dingin masih menguasai alamke kampung halaman tercinta ini.
Suasana masih sepi karena aku menggunakan bus trayek kota lain sehingga aku bisa lebih cepat sampai di tempat ini. Meskipun harus membayar lebih mahal, setidaknya waktu yang ditempuh lebih cepat dari bus dengan ongkos normal. Kios pedagang kaki lima di terminal masih buka tetapi pemiliknya tidak tampak. Biasanya mereka tidur di bawah atau menelungkup di atas meja sehingga terlihat tak ada orang. Toko-toko di sekitar terminal juga masih tutup, menambah kesan sunyi.
Aku bergegas menyeberang jalan dan mencari becak Pak Warno. Biasanya ia mangkal depan toko semi agen. Meskipun ojek dan becak dilarang mangkal di sekitar terminal, becak Pak Warno tergolong spesial. Bukan karena kebal hukum, melainkan karena toko itu adalah toko milik anak Pak Warmo, dengan garasi becak juga terletak di samping toko. Meskipun tanpa menarik becak, Pak Warmo bisa hidup enak karena anak-anaknya telah sukses dan terbilang kaya. Akan tetapi, Pak Warmo enggan melepas pekerjaannya.
“Becak ini yang menyekolahkan kelima anakku,” jawabnya saat ditanya alasan kenapa masih memilih untuk narik becak.
Sebenarnya aku bisa pulang menggunakan angkutan lain, tetapi aku memilih becak Pak Warmo. Itu karena duduk di becaknya membuat perasaan ini seakan kembali ke masa-masa sekolah. Melihat perubahan kota sambil mengenang masa silam dari atas becak terasa sangat nikmat. Mungkin hal ini juga yang dirasakan Pak Warmo.
“Hai,” sapa Pak Warmo sambil mengangkat tangan saat melihat kedatanganku. Seperti biasa, aku langsung duduk di atas becaknya kemudian Pak Warmo mengayuh sambil bercerita.
Saat aku naik becaknya, Pak Warmo tak sekali pun bertanya mau ke mana. Itu karena ia sudah tahu ke mana tujuanku. Selain itu, rumahku juga bersebelahan dengan rumah lamanya. Hal yang hampir selalu dikatakannya saat mengantarku adalah, “Rumah lamaku akan menjadi tempat istirahatku nanti.” Entah apa maksudnya, aku tak ingin bertanya karena pikiran aku sendiri sibuk menghitung kenangan yang lewat.
Setelah melewati dua tanjakan, tiga kali belok kanan, dan masuk gang sempit, kami akan sampai di tempat tujuanku. Tiga puluh menit biasanya waktu yang diperlukan untuk menempuhnya. Saat ini sudah dua puluh menit, jadi seharusnya kami sudah sampai belokan pertama. Namun, kali ini Pak Warmo mengayuh sangat pelan dan sambil terbatuk-batuk. Sepertinya tubuh tuanya tak lagi bersahabat dengan angin malam.
“Pak, kenapa?” tanyaku saat becak berhenti di atas tanjakan pertama. Aku turun dari becak dan menghampiri Pak Warmo yang tampak kelelahan.
“Pak, aku saja yang genjot. Bapak istirahat saja, sekali-kali jadi penumpang,” ucapku.
Meskipun sempat mengatakan tidak apa-apa tetapi akhirnya Pak Warmo luluh aku bujuk. Kini giliran aku yang menarik becak.
Ternyata pekerjaan ini tidak mudah. Entah bagaimana abang-abang becak barang kuat membawa lemari kayu di becaknya. Ya, setidaknya aku sering melihat pemandangan seperti itu di wilayah sekitaran Jakarta, tempat di mana aku bekerja.
Hebat sekali Pak Warmo ini. Biasanya ia mengayuh sambil bercerita tetapi napasnya tetap stabil. Giliran aku yang mengayuh, aku seketika merasa tak kuat bicara. Beruntung, Pak Warmo diam tak bersuara sehingga aku bisa menghemat tenaga.
Mungkin Pak Warmo tengah menikmati jalan kenangan ini, seperti aku saat jadi penumpang. Tak ingin mengganggu, aku pun ikut diam, membiarkan Pak Warmo menikmati becaknya sendiri.
Setelah menghabiskan separuh napasku, akhirnya sampai juga di depan rumah. Tanpa membangunkan Pak Warmo, aku duduk di teras dengan napas turun naik. Mungkin karena telah menunggu kedatanganku setelah aku memberi kabar melalui WhatsApp, istriku keluar dari rumah dan langsung memelukku.
“Mas, kenapa kok ngos-ngosan?”
“Gak papa, bikinin teh manis dua ya, itu buat Pak Warmo,” pintaku. Istriku menurut, ia kembali masuk rumah.
Aku bergegas bangkit untuk membangunkan Pak Warmo yang masih tertidur di becaknya.
“Pak, bangun, Pak,” ucapku sambil menggoyang-goyangkan tubuh Pak Warmo. Namun, ia tetap bergeming.
Aku tersentak saat menyadari tubuh Pak Warmo dingin. Aku lanjut memeriksa nadinya. Panik, aku berteriak minta tolong hingga tetangga sekitar rumah berdatangan.
Tubuh Pak Warmo diturunkan dan dibaringkan di balai-balai rumahku. Entah siapa yang berinisiatif memanggil, kini bidan desa sudah hadir. Sigap, Bu Bidan memeriksa Pak Warmo, sedangkan kami menunggu hasilnya dengan perasaan cemas.
Akhirnya, seperti yang telah kami duga sebelumnya, Pak Warmo dinyatakan telah meninggal. Ia menghembuskan napas terakhir di atas becaknya. Menjadi penumpang terakhir becaknya sendiri. (*)
Ruji, 15 Januari 2022
Mutia AH, penulis pecinta puisi dan penikmat fiksi. Suka menulis apa saja yang terlintas dipikiran. Beberapa karyanya terdapat dalam antologi, Kepak Sayap Kemerdekan, Jejak Remaja, Percakapan Percakapan yang tertinggal dan antologi puisi Jejak Nusantara Lama.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Sumber Foto
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata