Penulis Terkenal
Oleh: Rinanda Tesniana
Senyum samar menghiasi wajah Adrian-lelaki yang berprofesi sebagai penulis. Dia membangun karir sebagai penulis sejak sepuluh tahun lalu, saat dunia literasi di Indonesia sedang mati suri. Hingga sekarang dia masih teguh pendirian pada dunia yang sangat dicintainya tersebut.
Usaha memang tak pernah mengkhianati hasil, buah yang dia petik sangat manis. Buku terakhirnya terjual hingga dua ribu eksemplar. Tak sia-sia membangun image baik di media sosial, pun menjalin relasi erat dengan para pembaca di aplikasi menulis.
Adrian puas. Selain namanya kian melejit, saldo di rekeningnya pun membengkak.
Sebagai penulis, Adrian memang bekerja di belakang layar. Lelaki berumur tiga puluh lima tahun itu tidak pernah memajang foto asli di media sosial mana pun. Baginya, cukuplah karyanya yang dicintai pembaca, wujud diri sesungguhnya hanya dia saja yang tahu.
Adrian menatap layar dengan mata nyalang. Setelah menerbitkan karya fenomenal, ide seolah terbang meninggalkannya. Padahal, sebuah penerbit mayor telah mengajukan kontrak untuk buku terbarunya. Selama ini, dia memang lebih banyak mencetak buku secara indie, setelah namanya terkenal, penerbit mayor berebut untuk memayungi novel-novel selanjutnya.
Setelah satu jam tak ada perubahan, dia memutuskan untuk membuat segelas kopi. Dia memang tinggal sendirian di rumah ini, tak bisa berharap pada siapa pun untuk melayaninya, selain diri sendiri. Menyesap kopi pahit biasanya berhasil mengembalikan mood menulis.
Adrian membaca sebuah komentar pada salah satu cerita terbaru miliknya di aplikasi.
Memey_Me: Kak, kaya yang lain, dong, buat channel YouTube, supaya pembaca merasa dekat dengan kakak.
Masih ada beberapa komentar sejenis. Adrian meneguk kopi terakhir yang tersisa dalam cangkir. Sebenarnya, ide tersebut bagus untuk meningkatkan penjualan. Sebagai penulis yang sedang naik daun, dia harus pandai-pandai self branding.
Namun, untuk menunjukkan diri ke permukaan, Adrian berpikir seribu kali. Itu adalah hal mustahil baginya. Tidak mungkin dia akan melakukan hal tersebut.
Sejam berselancar mengecek semua akun media sosialnya, akhirnya ide menulis Adrian mengalir deras. Dia yakin, calon bukunya kali ini akan meraup sukes yang sama dengan buku sebelumnya.
***
Adrian mengembuskan napas kesal. Penerbit yang hendak memproduksi bukunya menuntut Adrian untuk promo buku besar-besaran. Salah satunya melalui media YouTube. Kepala Adrian langsung sakit. Tak dapat dipungkiri, dulu dia memilih berjuang menjadi seorang penulis karena tak ingin muncul ke permukaan. Biarlah, dia bermain di belakang layar saja. Segala urusan bisa selesai dengan sebuah handphone.
“Agh!” Adrian mengempaskan mouse miliknya. Kesal karena ternyata semakin tinggi dia terbang, semakin kencang pula angin menerpa.
Sebuah ide melintas di pikirannya. Kalau memang dipaksa, dia bisa saja memaksakan keadaan. Bukan Adrian namanya jika tidak punya seribu satu ide dalam kepala.
***
Buku dengan judul “Sedarah” meledak di pasaran. Adrian semakin tenar. Beberapa produser menghubunginya untuk bekerja sama membuat film dari novel terbarunya tersebut.
Adrian sedang mengedit video yang akan di-upload ke channel YouTube miliknya. Channel yang baru berusia sebulan itu, sudah memiliki ribuan subscriber. Adrian puas dengan pencapaiannya.
Ratih_Miy: Cakepnya, Kak. Mau, dong, dihalalin.
Fiona: Setiap baca buku Kakak, kebayang wajah gantengnya. Auto meleleh.
Chaca_Maricha: Kak, buat video tentang kesehariannya, dong. Masa tentang buku melulu.
Endang_Ndang: Kak Adrian, aku padamu.
Bianca_Maulana: Gak kuat ngeliat sorot mata tajamnya, Kak.
Adrian membuang napas. Inilah yang tidak dia sukai jika menunjukkan diri ke permukaan. Orang pasti akan memandang fisiknya, bukan lagi karyanya. Sebenarnya, situasi ini seperti pedang. Di satu sisi menguntungkan secara penjualan. Namun di sisi lain, orang lebih menyukai penampilan daripada karya.
Suara ketukan terdengar dari luar. Adrian melirik jam yang melekat di pergelangan kirinya. Sudah waktunya shooting untuk video terbaru.
Seorang lelaki berkulit putih, dengan sinar mata tajam berdiri di depan pintu. Adrian menatapnya dengan iri. Wajah tampan di depannya sangat teduh, belum lagi anugerah bentuk tubuhnya atletis. Tak cukup hanya itu, wajahnya seperti porselen, mulus tanpa cela.
“Masuk, yuk!” Adrian melebarkan daun pintu. Lelaki di depannya mengangguk.
“Kita buat apa kali ini, Bang?” Pria berwajah tampan itu bertanya pada Adrian.
“Udah gue tulis script-nya. Ada di kamar. Yang pasti lo ngetik gitu sambil bahas buku terbaru gue. Nah, part akhir, kita adain giveaway yang hadiahnya buku gue sepuluh eksemplar. Jangan kebanyakan ngomong, ya, Nton. Image cool harus lo jaga.”
“Siap, Bang.”
Lelaki bernama Anton itu membaca sekilas script yang sudah disiapkan Adrian. Setengah jam kemudian, dia mengacungkan ibu jari, tanda sudah siap untuk proses pengambilan gambar.
Adrian menyiapkan semuanya. Dia ingin hasil terbaik.
Anton duduk di kursi yang biasa Adrian gunakan untuk menulis. Tangannya bergerak cepat di atas keyboard. Tak lama, matanya memandang ke kamera sebentar dan mengucapkan kalimat sesuai script.
Adrian mengangguk di belakang kamera dan mengacungkan jempol karena puas dengan hasil kerja Anton.
“Ini bayaran lo kali ini. Minggu depan siap-siap lagi, ya. Tetap tutup mulut lo!”
Anton tersenyum sambil menghitung lembar merah di dalam amplop.
“Aman, Bang. Rahasia lo aman.”
Adrian menepuk pundak Anton sambil mengucapkan terima kasih.
Adrian memandang pantulan wajahnya di cermin yang terletak di sisi kanan pintu. Kulit hitam dengan garis bekas luka melintang di pipi kiri dan tompel besar di pipi kanan. Belum giginya sedikit maju ke depan dengan warna yang membuat orang menyangka dia tak sikat gigi tiga hari. Tak mungkin menunjukkan wujud aslinya ke pembaca. Bisa hancur semua image yang sudah dia bangun selama ini.
Anton muncul di saat yang tepat. Lelaki muda itu seorang kurir yang kebetulan mengantar paket ke rumahnya. Wajahnya yang simpatik cocok dengan gambaran Adrian Maulana di kepalanya.
Dia tak ingin merusak angan para pembacanya dengan menampilkan wujud diri yang sebenarnya. Tak apalah bersandiwara sedikit, toh tidak ada yang tahu. Pembacanya puas, penjualannya meningkat.
***
Balai Gadang, 16.11.2020
Rinanda Tesniana-Ambivert yang senang membaca.
Editor: Imas Hanifah N