Penulis dan Bapak Tua di Seberang Jalan
Oleh : Siti Nuraliah
Seharian ini, tidak ada yang bisa kutulis barang satu kata pun. Rasanya aku ingin menyerah saja. Aku hanya duduk bertopang dagu, memelototi layar monitor dengan mata yang mulai terkantuk-kantuk. Aku sudah mencoba memandang ke rumah di seberang jalan—di sana tinggal seorang Bapak Tua yang sejak dua minggu aku pindah ke rumah ini, hanya terlihat sendirian—barang kali ide untuk menulis dan merampungkan naskah untuk kukirim ke penerbit yang batas akhir pengumpulannya tinggal beberapa hari lagi ini, bisa hadir dan aku bisa lebih bersantai pada akhir pekan.
Satu-dua kata mulai berjalan di otakku, lalu aku buru-buru memaksakan jari untuk memencet not-not huruf di depanku dan menuliskannya. Sambil sesekali memandang ke arah seberang jalan. Bapak Tua di sana menyibakkan tirai dan membuka pintu depan. Ia mengambil sandal di rak yang diletakkan di pojokkan sebelah kiri, dekat dengan tanaman dan bunga-bunga yang tampak terawat. Rumahnya memang sederhana, bernuansa tua dengan dinding keramik yang antik dan terlihat kokoh. Taksiranku, pemilik rumah itu adalah orang yang apik, dan rajin.
Dugaanku benar, Bapak Tua itu berjalan mengambil sapu lidi dan mulai menyapukan halamannya. Daun-daun yang gugur dari tanaman yang menjalar pada tembok rumahnya itu dimasukkan pada sebuah ember besar berwarna hitam. Rumahnya tanpa garasi, sehingga aku bisa leluasa melihat dan memperhatikan gerak-gerik si Bapak Tua. Di depan rumahnya, ada tanaman yang aku tidak tahu namanya, bentuknya dibuat rapi merupa pagar setinggi lutut orang dewasa. Daunnya hijau tua, kecil-kecil dan sangat lebat. Sesekali Bapak Tua itu duduk dan bersandar di kursi rotan, menyeka keningnya yang sudah keriput dan menyeruput kopi hitam yang ia letakkan sebelum memulai kegiatan.
Aku jadi terlena, jari-jariku berhenti mengetik begitu saja. Aku berharap, Bapak Tua itu melihat ke arahku. Aku bermaksud menyapanya dan melambaikan tangan padanya. Aku lupa, ternyata kaca rumah ini terlihat gelap dari luar. Lalu aku tergesa-gesa merapikan meja, mengambil kertas berisi coretan, menggendong laptop dan membawanya ke teras depan. Sebelum Bapak Tua itu menyelesaikan kegiatan menggunting-gunting daun-daun tua pada tanaman miliknya.
Rumah ini dan rumah Bapak Tua berhadapan, hanya disekat jalan kecil. Jalan gang, untuk orang-orang berlalu-lalang: Bersepeda, mengendarai motor atau berjalan kaki untuk menuju jalan besar. Aku kembali melanjutkan tulisan, tiga paragraf sudah hampir kurampungkan. Aku tersadar, ketika bahuku ditepuk seseorang.
“Boleh, saya ikut duduk di sini?” Bapak Tua di seberang jalan itu kini berada di sampingku, aku menyilakan ia duduk di kursi yang masih kosong. Ia melempar senyum, wajahnya bersih bercahaya. Aku membalas senyumannya.
“Duduklah, Pak!” Sambil membetulkan posisi dudukku yang sebetulnya sudah nyaman. Aku membalas senyumannya.
“Kau sedang sibuk apa dengan laptopmu itu? Kedua alismu bertaut, seperti sedang berpikir keras,” ucapnya. Matanya tertuju pada kursor yang berkedip-kedip.
Aku menutupkan setengah laptopku, awalnya berbasa-basi menanyakan kabar Bapak Tua itu, lalu aku memperkenalkan diri dan meminta maaf sebagai tetangga baru belum sempat menyapanya.
“Kamu masih bujang atau sudah berkeluarga, Nak?” Pertanyaan Bapak Tua itu membuatku tersenyum menutupi perasaan lain, yang spontan menguar begitu saja.
Aku tidak ingin membuka masalahku pada orang yang baru saja aku kenal. Aku tidak mungkin juga, mengaku kepada Bapak Tua, jika kepindahanku ke kota ini untuk menghindari pertanyaan serupa. Lebih tepatnya, perintah-perintah untuk segera mengganti status belum kawin di kartu kependudukan. Aku melarikan diri dari wajah Ibu yang setiap kali meminta menantu selalu dengan ekspresi wajah yang begitu mengganggu tidurku. Aku ingin menenangkan diri barangkali untuk beberapa minggu.
Rupanya Bapak Tua itu paham, dan bisa membaca garis mukaku. Ia tidak menuntut jawaban dari pertanyaannya padaku. Aku mengalihkan obrolan.
“Saya penulis cerpen mingguan di koran, Pak,” jawabku malu-malu.
“Wah, senang sekali bertemu kamu. Siapa tadi namamu? Surya, ya! Saya juga pernah hobi menulis. Dulu saya senang sekali menulis apa pun, mengirimkannya ke beberapa penerbit dan percetakan. Ratusan kali naskah saya hanya jadi penghuni tong sampah.” Mata Bapak Tua itu menatap langit yang mulai jingga, bibirnya ditarik membentuk bulan sabit. Aku tertarik mendengarkannya lebih lanjut.
“Terus, Bapak menyerah?”
Dia menggeleng, lalu wajahnya dialihkan kepadaku.
“Saya tidak menyerah, saya terus saja menulis. Karena dulu belum ada ini,” Bapak Tua menunjuk laptop dan mengusap-usapnya, “saya menulisnya di kertas dengan tinta pena.” Ia mengucapkan akhir katanya dengan penuh rasa bangga.
“Apa tulisan Bapak ada yang pernah masuk ke percetakan?” Aku mulai penasaran.
“Setelah naskah yang ke dua ratus,” jawabnya dengan mimik muka berseri-seri. Dia memamerkan giginya yang masih utuh, belum satu pun yang rontok, mesti usianya sudah tidak lagi muda. Aku melongo, ia mengulang lagi jawabannya.
“Iya, setelah naskah yang ke dua ratus. Naskah itu dicetak di koran kompas, dan sampai sekarang masih terpampang di kamar saya. Saya gunting, saya bingkai sebagai kenangan.” Bapak Tua itu terkekeh.
“Sekarang, Bapak masih suka menulis?”
“Masih, tapi sekarang lebih banyak membaca sejak satu tahun yang lalu istri saya meninggal. Saya tinggal hanya sendirian, anak-anak sudah pada besar dan berkeluarga. Lain kali masuklah ke rumahku, ada banyak koleksi buku. Siapa tahu bisa membantu menyelesaikan naskahmu.”
Aku tidak menyangka, obrolan singkat dengan Bapak Tua itu seperti nutrisi, seperti asupan gizi, ia juga membuka mataku untuk menulis tanpa beban. Selama ini, aku menulis penuh ambisi, bukan sebagai hobi yang melegakan hati. Hingga matahari hendak bermalam, aku masih duduk di luar, Bapak Tua sudah dua puluh menit yang lalu meninggalkanku dan menutup pintu rumahnya. Akhirnya aku bisa menulis seperti mengemudi mobil di lengangnya jalan kota.
***
Banjarsari, 17 September 2020
Siti Nuraliah. Perempuan sederhana, kadang suka menulis, kadang suka membaca.
Editor : Freky M
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata