Penulis Amatir

Penulis Amatir

Penulis Amatir
Oleh : Syifa Aimbine

Jempol Tita masih belum beranjak dari layar sentuh ponsel pintar miliknya. Laman aplikasi notes kosong itu telah berulang kali ia isi, hapus, isi lagi, begitu seterusnya. Namun, tak satu cerita pun selesai di sana. Bukan pula sebab kepalanya kehabisan ide, khayalan, imajinasi atau apalah namanya. Bahkan saking banyaknya, ia pun tak yakin harus memilih yang mana. Semua ide terasa hambar, pasaran, dan kadang terlalu aneh.

Sejak ia belajar merangkai kata menjadi sebuah cerita, seleranya pun mulai berubah. Tak jarang, hasilnya menjahit kata menghasilkan sebuah cerita yang segar dan mencengangkan. Namun, tentu saja tulisan receh dan absurd pun mewarnai koleksi fail miliknya. Bak pujangga kehilangan metafora, karyanya hambar dan tak berirama. Nyaris membuatnya kembali putus asa dan mengubur cita-cita untuk menjadi novelis ternama. Toh kenyataannya, memang belum ada satu pun karyanya terpajang di media massa, bahkan koran lampu merah pun tidak. Semua masih sebatas coretan di media sosial, atau prestasi paling tinggi yang pernah diraihnya, terpilih sebagai kontributor dalam antologi yang wajib membeli hasil cetaknya.

Ia kemudian memilih menutup layar, mengunci ponsel miliknya, lalu meletakkan benda persegi itu di atas meja. Ia menghela napas dan mengusap wajah seperti orang yang putus asa. Perempuan itu melirik jam analog di dinding, sebentar lagi Jasmine, putri kecilnya, terbangun. Ia tak akan punya waktu lagi untuk menulis. Perempuan itu memastikan batita satu setengah tahun itu belum terjaga dari tidur siangnya. Sejak ulang tahun pertamanya, jam tidur Jasmine mulai berkurang. Selepas tidur siang begini biasanya Tita akan menyiapkan camilan kecil, sambil menunggu makan malam tiba. Suaminya baru pulang selepas magrib.

Tak lama, sebuah nada pesan masuk muncul, dengan enggan ia membuka dan membacanya.

[Say, lagi sibuk gak? Mau curhat nih.] Ternyata pesan dari Virna–sahabatnya sejak bangku sekolah. Pada akhir teks tersemat emotikon menangis.

[Nggak juga, kenapa, Vir? Ada masalah?]

Tak lama kemudian, ponselnya berdering. Tita memilih beranjak ke ruang depan agar Jasmine tidak terbangun karena suaranya.

“Halo, Ta. Duh, laki gue selama ini ternyata ngasih sebagian gaji buat ibu dan keluarganya tanpa ngomong ke gue. Ya, gue tahu, sih, kewajiban dia sebagai anak, tapi situasinya gimana dulu. Hidup kita aja tiap bulan susah, mana bentar lagi gue mau melahirkan. Kok dia gak mikir, sih?” curhatnya panjang lebar tanpa salam pembuka.

“Orang tuanya lagi kesulitan mungkin, Vir?” balas Tita berusaha menenangkan sahabatnya itu dengan mencoba bersikap netral.

“Sulit apaan, kontrakan emaknya aja belasan pintu, adik-adiknya juga udah pada kerja,” isaknya.

“Ya ampun, jadi sebenarnya memang lebih butuh lu, ya,” komentar Tita.

“Makanya, gue nggak tau lagi mau ngomong apa sama dia. Sekarang gue lagi di rumah ortu gue, males gue balik, biar tahu rasa dia.” Kali ini suaranya terdengar lebih tegas.

Wanita berambut ikal itu terdiam, lagi-lagi ia bingung merangkai kata-kata untuk membujuk sahabatnya.

“Ya udah, sekarang lu tenangin diri dulu di sana. Kasian bayi dalam perut lu, ikut stres kalau ibunya stres.”

“Iya. Maaf, ya, udah gangguin lu. Gue gak tau lagi harus cerita ke siapa. Mak gue kalau tahu pasti marah. Kalo gue cerita ke yang lain, pasti malah digosipin macem-macem,” sambungnya lagi.

“Yaelah, kayak gak biasa aja. It’s oke, Beb. Dua puluh empat jam gue open,” ujar Tita. “Iya bener, gak usah deh. Yang gak suka ama lu malah seneng liat lu sedih.” Tita kembali meyakinkan sahabatnya itu.

“Makasih, ya, Ta. Gue mau istirahat dulu, ya. Assalamu’alaikum.”

“Sama-sama. Wa’alaikumsalam,” balas Tita.

Pandangannya menerawang ke sekeliling rumah. Sehabis mendengarkan curhatan Virna, hatinya ikut nelangsa. Namun, tiba-tiba matanya kembali berbinar, pertanda sebuah ide terlintas di kepalanya. Kali ini ia yakin akan menyelesaikan satu cerita. Tita kemudian mencari sudut ternyaman di sofa ruang tamu, lalu kembali membuka ponselnya untuk menulis. Curhatan Virna menjadi inspirasinya, sebuah kalimat menjadi inti cerita kemudian akan dikembangkan. Nama tokoh dan setting tempat langsung tergambar dalam pikirannya. Dengan lancar jempolnya menekan layar sentuh bergambar keyboard. Satu per satu kata mulai terangkai. Ia ingin lekas menyelesaikan cerita sebab tak ingin ide ini menguap begitu saja. Seperempat jam berlalu, hampir sembilan ratus kata sudah diselesaikannya. Jarinya kemudian berhenti dan ia merasa takjub dengan tulisannya sendiri. Sebuah cerita akhirnya selesai.

Terakhir, ide cemerlang mengenai judul muncul, menjadi magnet yang akan menarik pembaca. Judul cerita pendeknya kali ini diyakini akan mengundang banyak pembaca, dilirik penerbit, dan laku di pasaran. Dengan cepat diketiknya kalimat itu, takut ide brilian itu hilang. Setelah selesai, dipandanginya lagi tulisan itu sambil tersenyum puas, lalu membacanya dengan suara lantang. “Menantu yang durhaka.”

Depok, 25 Januari 2020
Syifa Aimbine, penyuka camilan manis yang lebih suka jika diimbangi juga dengan camilan asin.
Editor : Rinanda Tesniana

Leave a Reply