Penopang Hidup
Oleh : Fathiyya Rahma
“Untuk engkau, Dinda. Untuk engkau sang buah cinta. Aku ada untuk kalian, bukan untukku apalagi orang lain.”
– Pardi –
***
Mentari baru saja pulang ke peraduannya. Menyisakan semburat warna jingga di langit sore. Indah. Hanya langit saja yang indah, tapi di bawah sini tiada yang indah. Hanya kebisingan, kesemrawutan dan keramaian orang-orang yang ingin segera pergi.
Tampak barisan para lelaki keluar dari kawasan pembangun ruko di daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Berpakaian lusuh, kumal, dan tidak ada kesan rapi. Muka-muka lelah terlihat dari tiap mereka. Begitu pun Kang Pardi, lelaki tiga puluh tahunan yang berjalan membawa tas punggung dari kain.
Dia seorang kuli bangunan. Umurnya belum terlalu tua, tapi memiliki garis wajah yang dalam. Badan kurus tapi kencang ditempa kerja berat sejak kecil. Wajar bila terlihat lebih tua.
****
Pulang menuju kamar kontrakan yang tidak jauh dari tempat kerja, tinggal bersama sesama kuli bangunan. Satu kamar berisi tiga orang. Mereka adalah perantau berbeda asal dan suku. Di pertemukan dalam tempat yang sama, pun dengan nasib serupa.
Di dalam kamar sempit ukuran 3×3 meter persegi mereka hidup. Tidak ada kasur busa, kursi sofa apalagi kamar mandi pribadi. Tidur beralaskan kasur lantai tipis yang sudah sejak kapan belum diganti. Tak jelas bentuk dan warna, bolong di sana sini.
Dapur mereka ada di luar kamar. Jangan tanya seperti apa, hanya meja kecil untuk tempat menaruh kompor satu tungku yang sudah karatan. Perlengkapan dapur hanya wajan dan panci kecil, sering digunakan untuk memasak mi instan.
Kang Pardi sampai di kamar kontrakannya, lelah dia duduk di lantai depan pintu kamar. Sendirian. Dua orang teman sekamarnya tidak langsung pulang, mampir ke warung Bu Surti. Kang Pardi lebih memilih pulang, daripada menghabiskan uang yang hanya sedikit, untuk membeli kopi atau gorengan di sana.
Bukan tanpa alasan dia lebih berhemat, dua anaknya sudah duduk di bangku sekolah dasar. Meskipun biaya SPP sudah tidak ada. Namun, biaya lainnya masih banyak. Belum lagi untuk uang saku setiap harinya. Upah sebagai kuli tidaklah mencukupi.
Pun dengan istrinya, Murni, tidak lelah terus meminta uang kiriman setiap bulan untuk ditambah. Tidak tahukah Kang Pardi hanya seorang kuli? Permintaan istri selalu macam-macam, dari membeli baju gamis baru agar bisa ikut pengajian, membeli makanan yang lebih layak, sampai membeli perlengkapan dapur yang memang sudah tua.
Kang Pardi ingat tanggung jawabnya, dia adalah suami dari Murni. Sejak menikah, otomatis seluruh biaya hidup harus dia tanggung. Pun dengan kedua putra yang harus dinafkahi dengan layak. Usaha sudah dia lakukan, tapi hidup tidak terlalu mudah. Sulit. Bahkan berat bagi sebagian orang seperti dia, yang hanya lulusan sekolah dasar. Pun tak memiliki keahlian. Yang dia punya hanya tenaga, pekerjaan ini cocok dengannya.
Sambil menghisap tembakau yang hanya menyisakan dua batang untuk nanti malam, Kang Pardi melamun. Bayangan kedua putranya hadir silih berganti. Rindu. Teramat rindu. Sudah hampir lima bulan dia tidak pulang. Ingin sekali dia memeluk bocah lelakinya. Mata memanas, kaca-kaca memaksa keluar menjadi lelehan yang menganak sungai di kedua pipi tirus.
Suara adzan Maghrib menggema menyadarkan Kang Pardi dari lamunan. Cepat dia mengusap bulir bening lalu mematikan rokok yang baru setengah dihisap. Melangkah keluar menuju kamar mandi umum untuk mengambil air wudu.
Dia bukanlah lelaki yang pandai ilmu agama. Dia hanya bisa mengaji dan tahu kewajiban sebagai seorang muslim adalah tidak meninggalkan salat. Seberat apa pun pekerjaan, sesibuk apa pun, mengerjakan kewajiban adalah yang utama. Dia pun sadar kepada Allah-lah tempatnya mengadu tentang segala macam masalah yang dihadapi. Meminta lindungan-Nya untuk keluarga yang jauh di sana. Usaha tanpa doa adalah kesombongan. Doa tanpa usaha adalah percuma. Kemudian tawakal tempatnya kini.
***
Malam sudah larut, tapi Kang Pardi masih belum bisa tidur. Kedua temannya sudah terlelap sejak berapa jam yang lalu. Sudah berapa bulan dia susah tidur. Apalagi batuk yang tidak kunjung sembuh membuat sulit terlelap.
Badannya sering berkeringat dingin. Di dalam kamar memang pengap, panas, tidak ada pendingin udara. Hanya ada kipas dinding yang sudah tidak bisa memutar. Kemudian, keluar kamar mencari udara segar. Berharap dadanya tak lagi sesak.
Duduk di depan pintu kamar yang tertutup Kang Pardi kembali menyalakan sebatang tembakau.
Uhuukk … uhuukk … uhukkk!!!
Berkali-kali batuk, dadanya makin sesak.
“Sial!” umpat Kang Pardi kesal. Terpaksa tembakau dimatikan.
“Sepertinya aku harus berhenti merokok, sudah lama sekali batukku tidak sembuh,” gumam Kang Pardi lirih.
Beberapa menit kemudian batuk kembali menyerang kali ini lebih hebat. Tidak bisa berhenti. Dada sesak, tenggorokan panas, sampai menungging menahan sakit di bagian ulu hati.
Mus, teman sekamarnya terbangun. Segera menghampiri Kang Pardi.
“Batukmu kok sampai begini, Kang? Besok periksa ke dokter, ya. Ini sudah terlalu. Nggak baik kalau dibiarkan.” Mus mencoba memberi saran sambil menepuk punggung sahabatnya itu.
“Sayang uangnya lah, Mus. Dari pada buat ke dokter mending untuk kirim ke kampung.”
“Pakai kartu sehat to, Kang.” Mus tetap mencoba membujuk.
“Kartu apa? Ya, nggak punya. Orang di sini cuman kerja to, mana punya kartu begitu. Besok beli obat warung saja, paling sebentar lagi sembuh.” Kang Pardi sebenarnya tidak yakin akan ucapannya sendiri, sudah berkali-kali konsumsi obat warung, tapi batuknya tak kunjung reda.
Kemudian, Mus kembali ke peraduan meninggalkan Kang Pardi sendiri, masih belum ingin ke dalam ruangan yang pengap itu.
Kembali sendiri membawa Kang Pardi menyusuri lorong ingatannya saat pertama memutuskan meninggalkan kampung halaman, meninggalkan istri tercinta.
Saat itu dia baru saja memiliki seorang putra, pihak keluarga istri meminta agar di adakan selamatan untuk kelahiran cucu pertama. Kang Pardi kebingungan, tak ada tabungan, atau keluarga untuk dimintai bantuan. Dia hanya seorang yatim piatu.
Selamatan membutuhkan biaya banyak. Meskipun bukan selamatan besar, tetap biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Apalagi di kampung, sesama warga masih begitu dekat. Banyak yang harus di undang. Jika tidak, akan menjadi bahan gunjingan.
“Mas, sini adek minta uang. Mau dikasih ke ibu buat belanja besok,” ucap Murni ketus pada Kang Pardi.
Kang Pardi yang sedang menimang putra pertamanya, Putra, sejenak meletakkan dengan hati-hati ke kasur kecil beralaskan jarik.
“Belum ada uang, Dek.” Tak mampu Kang Pardi menatap wajah istrinya, dia hanya menunduk.
“Pokoknya harus ada, Mas! Aku nggak mau tahu, malu kalo selamatan kecil-kecilan saja tidak bisa.” Murni kesal dan meninggalkan Kang Pardi.
Kang Pardi menatap wajah putranya, masih begitu kecil dan menggemaskan. Diambil bayi itu lalu membawa dalam pelukan, menciumi seluruh wajah. Kaca-kaca di netra luruh menjadi lelehan. Hatinya sakit, ingat tanggung jawab pada keluarga kecil yang baru dibangun. Siapa yang tidak ingin membahagiakan istri dan keluarga? Mencukupi biaya hidup sehari-hari saja begitu sulit bagaimana mungkin untuk hal lain.
Tak ada uang membuat Kang Pardi tak bisa tidur malam itu. Terjaga sampai pagi, tapi tidak ada yang peduli. Murni sibuk sendiri dengan tidurnya juga dengan menyusui sang putra.
Pagi pun begitu, tidak ada perhatian khusus walau hanya segelas kopi.
Kesalahan dibuat oleh Kang Pardi, yang akan disesali kemudian hari. Memang begitu sulit mencari kerja di kampung, kalaupun ada hanya membantu menggarap sawah orang lain. Upahnya tidak tinggi. Kang Pardi memutuskan meminjam uang pada lintah darat.
“Ini, Dek, uangnya.” Kang Pardi meletakkan beberapa lembar uang seratus ribuan.
Murni menerima dengan senyum mengembang. Tak ada kalimat tanya dari mana Kang Pardi mendapatkan uang. Sudah menjadi tanggung jawab lelaki, begitu pikir Murni. Tak peduli dari mana itu berasal.
Acara selamatan berhasil digelar, semua keluarga senang. Hanya Kang Pardi yang sesekali terlihat murung.
Ya, begitulah alasannya bertahun-tahun tetap merantau, meninggalkan keluarga. Bahkan, sampai memiliki dua orang putra tetap saja masih merantau. Kebutuhan tidak pernah berkurang, malah semakin bertambah. Upah selalu tidak mencukupi. Hutang masih saja menjadi solusi sesat.
***
Beberapa hari kemudian, sakit Kang Pardi makin parah. Kalau batuk seakan tak mau berhenti. Sampai terpingkal-pingkal, air mata menggenang menahan sakit. Bekerja di sana banyak sekali debu membuatnya makin sering batuk-batuk. Mandor yang memperhatikan sedari tadi menghampiri.
“Kang Pardi pulang saja sekarang lalu istirahat. Dari kemarin sepertinya batuk terus, malah makin parah. Hari ini setengah hari saja.”
“Tidak, Pak. Saya masih sanggup kok, ini cuma batuk biasa,” sanggah Kang Pardi.
“Nggak usah memaksakan diri, muka sudah pucat masih bilang baik saja. Sudah pulang, besok nggak perlu datang dulu kalau masih sakit!” Mandor memberi perintah, ada rasa kasihan, tapi juga harus tegas.
“Jangan begitu, saya sangat butuh uang. Kalau saya nggak kerja bagaimana bisa buat kirim ke kampung,” ucap Kang Pardi memelas.
“Dari pada kamu kenapa-kenapa di sini, mending kamu pulang, istirahat. Kalau sudah sehat baru datang lagi. Sudah nggak usah ngeyel!” Mandor meninggalkan Kang Pardi, berharap kulinya itu mengerti sendiri tanpa dia harus berucap lebih.
Kang Pardi menatap punggung mandor yang hampir menghilang di balik, ruangan. Ingin sekali menurut, tapi pikiran keluarga di rumah membuat kalut.
Ingat pagi tadi Marni menelpon, meminta uang kiriman. Kang Pardi ingin sekali pulang tapi yang di dapat hanya permintaan uang, tak perlu kembali sekarang. Tunggu lebaran nanti pulang.
“Putra sudah mau khataman. Tahu sendiri, Mas, ada biayanya dan belum untuk sewa kuda. Putra ingin sekali naik kuda, kamu sudah janji to sama Putra. Si kecil Bayu juga minta macam-macam, bingung menghadapi mereka. Sudah banyak alasan aku berikan, Mas. Mengerti sedikit, tak usah pulang dulu. Kirim saja uangnya, itu lebih penting,” pinta Marni.
Kang Pardi hanya diam, keinginannya pulang sudah pupus. Ada hal lebih penting yang harus diutamakan. Suami mana yang tidak ingin menuruti istri, apa lagi untuk buah hati tercinta.
“Baiklah, tunggu sebentar lagi aku gajian, Dek.” Kang Pardi menutup telepon, menghela napas pelan ada sesak di dadanya.
Mus yang memperhatikan sejak tadi hanya mengelus dada. Tahu bahwa istri Kang Pardi selalu minta kiriman uang, belum akhir bulan kadang sudah minta lagi.
Pagi tadi mereka tidak sarapan, uang sudah hampir habis. Segelas kopi pahit hanya itu yang mampu mereka seduh. Kang Pardi memaksa bekerja, setidaknya sampai setengah hari.
Lemas tak ada makanan menjadi energi, tenggorokan kering terlalu sering batuk, mata berkunang-kunang, kemudian pandangan menggelap, jatuh menabrak susunan bata yang sedang dikerjakan. Darah mengucur dari kepalanya, Kang Pardi tidak sadarkan diri. Semua orang panik, tidak ada tangisan di sana, hanya kekhawatiran apa yang akan mereka lakukan.
***
Angin malam menerpa wajah Mus, dingin, tapi tak sedingin hatinya. Ada amarah di sana, ada kecewa juga nelangsa. Teman baiknya pergi mendahuluinya, tanpa pamit, tanpa nyana. Tiada penyelasan yang lebih besar dari ini. Tak ada perhatian lebih yang dia tujukan pada temannya dulu.
Saat ini Mus dalam perjalanan menuju kampung halaman temannya. Sebentar dia menatap wajah yang dulu selalu menemani kala tidur.
“Sekarang tidurlah yang nyenyak, Kang. Tidak ada lagi derita yang harus kau pikul, tidak ada sakit yang harus kau tanggung. Pun tidak ada lagi rengekan manja yang harus kau pikirkan. Tunggu sebentar, akan segera sampai. Putra-putramu sudah menunggu.”
***
Sebuah mobil ambulan melintasi jalanan kampung, sempit dan becek karena belum diaspal. Berhenti di sebuah rumah bilik berwarna hijau pucat.
Seorang perempuan keluar dari rumah itu, memakai daster yang kebesaran. Dua anak laki-laki menyusul di belakangnya. Wajah-wajah tanpa ekspresi, bekas air mata masih terlihat. Netra sayu memerah terlalu lama menangis juga terjaga sepanjang malam.
Mus keluar dari mobil, menanyakan kebenaran alamat yang dimaksud. Setelah mendapat kepastian dia kembali lagi ke dalam mobil, memeluk untuk terakhir kalinya, mengucap salam perpisahan.
Sekarang Kang Pardi bisa pulang, tak perlu lagi menunggu lebaran nanti. Walau hanya jasadnya yang kembali. Sekarang semuanya selesai, dia bisa pulang juga bisa membawa uang yang begitu diinginkan Murni. Mandornya memberi konpensasi atas kecelakaan kemarin. Meskipun, semua tahu bukan hanya karena dia jatuh menimpa bata melainkan kondisi tubuhnya yang lemah karena TBC yang diderita, sehingga nyawanya tak tertolong. Kesehatan bukan yang utama, selalu kebutuhan keluarga yang nomor satu. Demi mereka lelah bukan masalah. Meski terkadang tidak sebanding. Hidup tak selalu mudah.
***
Taichung City, 6 Oktober 2019
Fathiyya Rahma adalah seorang ibu yang lahir 28 tahun silam di kota Cilacap. Penyuka kopi dan hujan, serta menulis beberapa cerpen. Bisa kenal lebih dekat melalui FB dengan nama yang sama. Atau hubungi lewat e-mail fainayya3@gmail.com.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata