Penolakan Cinta Si Bunga Kamboja
Oleh: Ellenora Madison
Terbaik 15 Lomba Cerpen Autofiksi
Aku selalu merasa lebih nyaman berada di antara tumpukan buku daripada kerumunan orang. Perpustakaan adalah istanaku, buku-buku yang berjejer di rak-rak adalah sumber kebahagiaanku. Dari setiap halaman yang kubaca, aku bisa menjelajahi berbagai dunia tanpa harus beranjak dari kursi.
Banyak orang pasti tahu, bahwa masa SMA selalu identik dengan kisah cinta monyet yang indahdan beragam genrenya. Satu yang sulit untuk kupercaya, yakni cinta pada pandangan pertama. Mana mungkin ada orang yang bisa jatuh cinta hanya dalam hitungan detik tatapan mata?
Namun, kepercayaanku selama ini bahwa cinta pada pandangan pertama hanyalah dongeng belakaseketika runtuh saat pertama kali bertemu Si Dia.
Dia, si bintang basket sekolahdengan senyum yang selalu membuat jantungku berdebar kencang. Namanya Ivan.
Aku tidak pernah menduga akan bertemu dengannya di tempat itu. Lorong kelas yang biasanya menjadi saksi bisu langkahku menuju perpustakaanberubah menjadi panggung pertemuan dua pemeran utama seperti di drama Korea. Seolah tak percaya dengan apa yang kulihat, aku mematung sejenak. Tatapan kami bertemu, senyumnya yang lebar,wajah tirusnya dihiasi dua lesung pipi yang dalam, membuatku terpana.
Deg! Deg! Deg!
Detak jantungku bertalu-talu, berdetak tak karuan. Darah ditubuhku mengalir deras, menghantarkan panas menjalar dari wajah hingga ke ujung-ujung jemari. Kemudian, dunia di sekelilingku perlahan memudar, hanya menyisakan kami berdua.
Saat seseorang bertanya, pria seperti apa yang kau impikan? Jika pertanyaan itu diajukan padaku sewaktu remaja, aku bisa menjawabnya dengan sangat mudah. Seorang pangeran tampandengan senyuman manis, pipi yang dihiasi lesung, dan bertubuh jangkung.
Cukup sederhana, bukan? Itulah sosok yang sempurna yang selalu kubayangkan. Dan itu semua ada pada Ivan.
Aku dua tingkat di atasnya, tetapi bukan hanya itu yang membuat kami terasa mustahil untuk dipersatukan. Ia dikelilingi oleh banyak teman dan ada banyak gadis memujanya terang-terangan. Sementara aku lebih suka menyendiri dengan novel favoritku di perpustakaan.
Aku hanya bisa mengaguminya dari kejauhan, menuliskan perasaan ini di buku harian kesayangan. Jika kalian bertanya, seperti apa rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Rasanya seperti membaca buku baru yang penuh dengan misteri. Itu juga serupa mimpi menjadi nyata, yang membuatmu bingung.
Hari demi hari berlalu, dan perasaan ini semakin mendalam. Aku ingin melihatnya setiap hari meski hanya untuk beberapa menit saja. Dan itu, membuatku mulai sering absen mengunjungi perpustakaan. Buku-buku di rak perpustakaan terasa monoton. Mungkinkah karena aku sudah membaca semuanya? Sebab selama dua tahun sekolah,aku selalu menghabiskan waktu di sana setiap harinya.
Karena Ivan, aku menemukan rutinitas baru: duduk di bawah pohon kamboja yang rindang di pinggir lapangan. Agar tidak terkesan mencolok, sengaja kubawa sebuah buku sebagai kamuflase. Berpose sedemikian rupa seolah sedang fokus membaca, padahal mataku tak bisa lepas dari sosoknya yang tengah bergerak lincah di lapangan.
Setiap dribble bola, setiap lompatannya, membuat jantungku berdebar kencang. Dan saat bola masuk ke dalam ring, sebuah senyuman tipis tersungging di bibirku. Ia tampak begitu bercahaya, kian bertambah memesona setiap harinya.
Tahun terakhir di SMA terasa begitu berkesan. Banyak hal berubah, kukira hari-hariku hanya akan berjalan ‘normal’ seperti dua tahun sebelumnya. Nyatanya, setiap hari terasa seperti petualangan baru, membuatku selalu bersemangat pergi ke sekolah, dan bel istirahat adalah suara merdu yang selalu kutunggu-tunggu.
Pernah suatu hari, sebuah salah paham terjadi. Salah seorang teman Ivan menyatakan perasaan padaku, di bawah pohon kamboja itu disaksikan banyak teman-temannya. Ia mengira, selama ini aku diam-diam menyukainya.
Saat itu, aku melirik Ivan yang berdiri di barisan belakang, ia balas menatapku sekilas dengan tatapan kosong. Ah, maksudku, aku tidak menemukan adanya sorot kecemburuan di mata itu.Sial! niatku duduk menonton di bawah pohon kamboja ternyata tak sampai. Malah salah alamat tujuan.
Dengan halus, kutolak pernyataan cinta itu. Alasannya? Tentu karena yang menyatakan bukanlah orang yang kuharapkan.
Malam itu, setelah upacara kelulusan, aku duduk di taman sekolah sambil menatap langit malam yang penuh bintang. Sebelum beranjak pulang, untuk menutup kisah romansaku di masa SMA, kubuka buku harian yang sudah hampir penuh berisi cerita tentang Ivan. Tentang semua perasaan yang selama ini kupendam.
Tahun berganti. Aku sejenak lupa pada kisah romansa masa SMA karena mulai sibuk dengan kehidupan baru di kota berbeda. Namun, setiap kali pulang ke kampung halaman, aku selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi sekolah lama. Duduk di bawah pohon kamboja untuk sekadar mengingat kembali kenangan itu.
Suatu hari, pada 29 Desember 2018, kami kembali dipertemukan. Pertemuan tak terduga untuk kedua kalinya. Sebuah halte bus menjadi panggungnya.
Tidak banyak hal berubah dari dirinya, hanya terlihat lebih dewasa dan … berkarisma.
Dengan mata berbinar, Ivan bercerita bahwa ia mengingat kejadian itu. Baginya, adegan pernyataan cinta dari temannya waktu itu, adalah sebuah kisah romansa lucu tak terlupakan yang ia beri judul ‘Penolakan Cinta Si Bunga Kamboja’.
Aku hanya tersenyum menanggapi.
Waktu memang tak bisa diputar ulang, tetapi perasaan yang pernah ada tetap menjadi bagian dari diriku. Seperti halnya pohon kamboja yang terus berganti daun, rasaku untuknya telah bermetamorfosis dan meninggalkan jejak indah yang tak terlupakan.
Tebing-tinggi, 29 Desember 2024.
__
Komentar Juri, Inu Yana:
Cinta yang salah sasaran, yang ditaksir siapa yang ge-er siapa. Begitu yang kutangkap dari cerita ini. Juga tentang cinta pada pandangan pertama yang tentunya meninggalkan kesan mendalam bagi penulis. Kisah yang relatable banget bukan? Karena pastinya bukan hanya penulis saja yang alami, pasti banyak pembaca yang pernah merasakannya. Ide ceritanya menarik, cara berceritanya pun mengalir. Goodjob, Akak.