Jalanan masih ramai, dipenuhi oleh kendaraan yang berseliweran tanpa henti. Roda kehidupan masih senantiasa berputar, mencipta derak pertanda karatan. Mereka masih rupawan—kuakui—bahkan melebihi para pendahulu, dengan make-up tebal, gaun dan jas mapan, serta kendaraan kelas atas. Dan semua itu makin kentara dengan sikap pamer yang kulihat, seperti memaksaku untuk mengakui tiap kejayaan. Lucunya aku justru berpaling pada sisi jalan lain, sekadar menggali masa lalu yang terkubur zaman. Kuakui, aku tengah mengumpat, dan akan kutunjukkan yang terlintas pada kalian.
Mereka sekadar menyandang gelar rupawan, bukan menawan.
Bila kau adalah bagian ke-absurd-an masa lalu, maka kau akan menyetujuiku. Dan bila kau tidak tahu menahu tentang hal yang telah lalu, maka biarkan aku menunjukkan hal itu padamu: kala alam masih bersahabat dengan udara segar dan tanah gembur, di mana tiap aktivitas terus berjalan bahkan enggan untuk berhenti. Lalu di atasnya, tumbuh benih-benih yang biasa disebut kasih sayang. Toleransi pada tiap makhluk, entah itu berakal atau tidak; dapat bergerak atau lumpuh. Tidak pernah takut mengotori tangan mereka untuk menolok yang berkasta rendah. Bahkan mereka tidak mengenal kata “kasta”.
Bukankah menyenangkan?
“Impianmu terlalu muluk, Grace.”
Ah, itu Arka. Pemuda cerewet yang kerap muncul dalam pikiranku. Jangan bertanya seperti apa rupa Arka, karena aku pun enggan untuk memancarkan cahayanya. Ia selalu datang dengan satu kesatuan berbeda dalam kepala, membuatku jengah dengan frasa yang terucap. Ah, bahkan pemuda itu serupa dengan sosok Jekyll dalam keseharianku.
“Kau tahu kodrat dunia, ‘kan?”
Kali ini aku mendengus kesal. “Pembicaraan ini amat klise, Arka.” Muda-mudi berjalan berdampingan dengan mesra, mencium dan mengatakan sayang tanpa merasa berdosa. Bagai hukum alam, bahwa tiap perputaran menyimpan banyak perubahan, entah itu menuju atau menjauhi cahaya. Mengabaikannya, kurasa Arka melupakan satu fakta mengenai kelumpuhan putaran zaman pada hidupku. “Terkadang aku benci pada kodrat dunia. Yah, seperti kodratku, mungkin.”
“Kau harusnya senang.” Kali ini gelegar tawa kekanakan yang memenuhi tiap sudut pikiran, membuatku muak dan berniat menjitak kepalanya. “Menjadi bagian tidak terpisahkan dari dunia. Penjaganya.”
Aku tertawa hambar sembari mengamati seorang gendut yang mencari tempat duduk. “Sosok tidak kasat mata dengan pandangan menembus segala, maksudmu?” Sukmaku perlahan memudar di udara, membiarkan sesosok homo sapiens duduk di atasnya. Aku mendecih, “Terkadang aku muak pada perubahan zaman.”
Apalagi pada jalan dan trotoar yang menyimpan sejuta memori ini. Membuncah rindu memuakkan! Tentang nostalgia yang mendekati kata “perbandingan”. Yah, bukan hanya perihal jalanan. Tetapi juga bagian-bagiannya.
Dahulu ketenangan dari alamlah yang bertalu-talu dengan silam naungan pepohonan rindang adalah aksesoris pinggir jalan, kini yang kulihat hanyalah para pedagang, gelandangan, dan orang bercinta yang mengkampanyekan diri sendiri. Pinggirannya tidak lagi asri; meninggalkan gersang dan jenuh yang teramat sangat, terutama kala netra ini berjibaku dengan beberapa manula pengangguran yang duduk di sisi trotoar. Rupa keriput berselimut sendu maupun tangan kecokelatan nan ringkih sebagai aset belas kasih. Tidak hanya untuk para manusia, pun bagiku sebagai penjaga. Yah, jujur, melihat air muka tidak layak hadir ini membuatku mengernyitkan dahi dan membuang muka.
Jangan sok tahu padaku, karena aku telah hidup lebih lama dari kalian. Tiap zaman selalu punya ciri khas yang tidak terelakkan, dan sisi trotoar inilah visulisasinya. Bahwa di mana pun, manula dengan pekerjaan menyedihkan akan selalu muncul menghiasi jalan kehidupan: yang memiliki ketulusan akan kemiskinan dan upaya bertahan; mereka yang menyeringai licik mengejar kemasyhuran; pun yang lebih memilih bermalas-malasan. Yah, pemerintah mengatakan hal-hal mengerikan seputar manula muka dua yang terkadang meresahkan masyarakat. Membuat bingung para dermawan.
Sejatinya, mereka semua ringkih dan bertampang menyayat hati. Entah itu pemulung, gelandangan, atau pedagang kaki lima. Semuanya pantas dikasihani, entah itu dari segi nyata atau fantasi. Tapi menurut perjalananku selama ini, masyarakat sudah jera enggan untuk mengerti. Jadi mereka memutuskan jalan alternatif, yaitu tidak terlalu mengacuhkan para fakir miskin.
Menakjubkan.
Tapi bila ada manula muka dua, maka ada pula para muda muka satu yang perangainya amat memuakkan bagi indera manusia—bila kau masih seorang yang peka.
“Bangsat! Pergilah dari hadapanku, Anjing!”
Nah, pemuda berambut hazel itu contohnya: si congkak yang mengacungkan pisau pada manula ringkih pembawa gitar usang. Umpatannya membuka kasar pintu sanubari manusia, membuat tiap telinga panas dalam hitungan detik. Kelabu luruh menjadi abu, tergantikan hawa panas yang memenuhi kalbu. Kupandangi sosoknya yang berkilat-kilat marah dengan pandangan tanpa arti; hujatan remaja yang masih tergolong suci, berharap mulut kotornya berhenti mengais dosa. Tapi seperti yang sudah-sudah, yang terjadi hanyalah peristiwa lalu yang tidak seharusnya diulang.
“Manula tidak berguna! Sekali kau mendekatiku, pisau ini akan memotong hidupmu!”
Aku mengepal kuat-kuat, kemudian mengalihkan pandangan pada dia yang justru tertawa sembari memainkan dawai sumbang. Gigi putih telah hilang dari peraduan, menimbulkan bunyi aneh yang mengaduk-aduk emosi. Ia memilih menjauh dengan kaki tidak beralas, menyiksa diri dengan injakan dari orang-orang. Ia yang tiada henti menembangkan syair merendahkan lewat durma, justru membuatku kian nelangsa pada perubahan dunia.
Aku tidak terima, marah.
Hei, kau yang ada di sana! Bagaimana bisa?
“Keparat tidak berguna! Kau sampah, pergi dari tempatku!”
Aku tersentak. Kaku.
Si kakek tua kembali pergi dengan menyenandungkan durma, mengikis kehormatan dari para anak muda. Ia mendatangi tiap tempat dengan hati-hati, menyeberangi jurang yang dapat mengakibatkan kematian. Dan pemuda berambut pirang di belakangnya masih mengumpat dengan gelas yang tinggal setengah, pecah karena terkejut pascakedatangan Simbah. Ia masih mengumpat meski sosok ringkih itu telah hilang dari pandangan, menginjak adat istiadat luhur yang dahulu pernah berkembang di sepanjang jalan kota. Membuang muka pada orang tua yang tidak tahu apa-apa: mereka yang bermuka satu.
Kutatap keduanya geram seraya menghujat dalam hati. Kawan, bagaimana bisa? Aku lelah pada berita tanpa moral ini, tapi hatiku diselimuti amarah. Sekali lagi, bagaimana bisa seorang muda menyumpahi manula yang tidak bersalah? Pada mereka yang meminta satu-dua keping nurani? Bagaimana bisa? Apa karena mereka telah mengunci pintu hati rapat-rapat? Karena memang mereka tidak memiliki hati? Benarkah begitu?
Aku berkaca-kaca menahan diri agar tidak mengikuti hal tabu itu. Sebagai penjaga, aku pantas marah dan menghujat. Namun aku bukanlah kelas rendahan yang dapat semudah itu melontarkan umpatan menjijikkan dari mulut ini. Tidak, bukan karena merasa diri ini suci, bukan! Karena menurutku, hal salah tidak perlu diikuti dengan alasan “Ia boleh melakukan. Mengapa aku tidak?” Bukan! Kesalahan ada agar kita mengerti seperti apa perbandingannya dengan kebenaran, agar kita dapat menghindar dan menjadi sesuatu yang lebih baik. Bukan untuk alasan berbuat maksiat!
Bukan!
“Tenanglah, Grace.”
Aku menutup mulutku, mengucapkan permohonan dalam kebisuan.
Tuhan, aku telah melihat roda kehidupan di jalan ini. Dari titik puncak hingga nadir, aku melihat perubahannya. Kuakui, aku kerap meledak-ledak dan tersentuh di saat bersamaan, merasakannya setiap hari membuatku terbiasa. Tapi Tuhan, hari ini aku tidak dapat menahan gejolak yang tumbuh meletup dalam hati. Aku terlampau lemah dalam pengendalian emosi, dan aku mengakuinya. Tapi, salahkah aku berharap? Mengharapkan suatu keadilan kecil bagi mereka yang terinjak-injak di jalan ini? Mengharapkan adanya karma bagi mereka yang bersalah; yang kasar dan tidak mengerti norma yang ada? Tuhan, salahkah aku mengharapkan secuil bagian kotor ini?
Tuhan, dengan seluruh waktu yang kuhabiskan selama ini, aku memohon. Tolong beri balasan pada dua pemuda ini; beri mereka keadilan atas apa yang telah terjadi. Tuhan, aku tahu semua ini berlebihan dan dilarang, tapi untuk permohonan ini terasa amat penting. Amat penting bagi langit kelabu yang menangis pilu.
Tuhan, perkenankanlah kiranya.
Hari masih berlalu dengan jalanan yang selalu menghadirkan inovasi, membuatku jengah melihat apa yang terjadi. Muak juga melihat dua pemuda yang masih berdiri di sisi jalan, menunggu pembeli yang datang. Aku mulai terbiasa dan tidak lagi menghujatnya, namun suatu keajaiban terjadi. Pada sore hari yang sama kelabu, tujuh tahun dari peristiwa itu, mereka merugi karena dijambret sekelompok orang.
***
Aku sosok tidak kasat mata; menunggu roda di sisi jalan, duduk tafakur menyaksikan kalian. Aku sosok penjaga, pengaduk nurani yang tidak dapat dikontrol. Senantiasa memerhatikan goresan hidup yang tampak, pun meminta keadilan kecil pada Tuhan.
Jika kau bertanya siapa aku, aku adalah Grace. Dan bila kau bertanya di mana tempat tinggalku, aku hidup di sisi jalan itu; mengawasi laju kehidupan kalian.(*)
Devin Elysia Dhywinanda, gadis kurang kerjaan yang perlu menyalurkan sesampahan dalam otaknya (tenang, dia masih pelajar dan cukup waras, kok). Lahir dan masih bermukim di Ponorogo sejak 10 Agustus 2001.
FB: Devin Elysia Dhywinanda. e-mail: curlyglassesgirl@gmail.com
Meskipun tidak masuk nominasi, cerpen ini kami anggap layak terbit di KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ketiga Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan