Penipu Ulung
Oleh : Indhira Syah
Hesti adalah pribadi yang ceria. Di mana ada dia, di situ selalu ada canda tawa. Tidak jarang teman yang sedang bersedih akan terhibur mendengar guyonannya. Hingga beberapa teman menjadikannya tempat berbagi cerita.
“Hidup hanya sekali. Kalau bisa dihitung, dari sekian luka, pasti lebih banyak tawa hingga kita masih berdiri sekarang. Jadi, buat apa terus menangis? Jemput bahagiamu, Kawan.”
“Tuhan begitu sayang sama kamu, makanya kamu yang diberi ujian ini. Semangat, dong!”
Kira-kira seperti itu, kalimat sakti yang Hesti katakan pada temannya jika mereka tengah berkeluh kesah. Penuh keyakinan semangat yang dia berikan, disertai dengan senyuman tulus seorang sahabat. Satu waktu, jika Hesti dan beberapa temannya sedang berkumpul, dia akan menjadi sosok penengah ketika terjadi cekcok. Kemudian, wanita cantik itu akan mendinginkan suasana dengan segala celoteh humornya.
Sore ini, wanita berambut cokelat itu mendatangi sebuah kafe untuk memenuhi janjinya. Ketika memasuki pintu kafe dia disambut oleh seorang pelayan pria. Setelah bertanya, Hesti diantar ke meja di mana temannya sudah menunggu.
Suasana kafe lumayan ramai, meski jam makan siang sudah lewat. Letaknya yang berdekatan dengan kampus, membuat kafe ini menjadi tempat nongkrong favorit para mahasiswa. Hesti langsung memesan minuman sesaat setelah tiba di mejanya.
“Biasa, deh. Ratu ngaret!” Bibir Silvi mengerucut, wajah masamnya membuat wanita itu semakin terlihat kusut. Matanya cekung dengan lingkaran hitam yang sangat jelas. Sudah beberapa malam tidurnya tidak nyenyak.
“Sorry, Sayang. Nggak sampai satu jam, kan?” Hesti terkekeh. Dia duduk menyilangkan kaki, setelah sebelumnya menarik kursi. Tas tangan dia letakkan di pangkuan. “Kamu kenapa lagi?” Wanita berbibir tipis itu menatap lekat lawan bicaranya.
“Dion mutusin aku. Dia bilang belum siap nikah.”
Hesti menghela napas, “masih tentang Dion? Nggak ada habisnya, ya?”
Wanita dua puluh tujuh tahun itu bosan. Terakhir Silvi curhat, Hesti sudah menyarankan untuk melepaskan pria plinplan itu. Dia gemas lantaran pendirian Dion yang sering berubah-ubah. Berjanji ingin melamar, beberapa bulan kemudian beralasan belum mendapat restu ibunya. Lantas berjanji lagi, hingga beberapa kali tidak ditepati. Banyak alasan!
“Sil, kamu itu cantik, menarik. Banyak laki-laki yang jauh lebih baik dari Dion di luar sana. Kamu ingat Rian? Dia naksir kamu tuh, kentara banget dari caranya bicara, dari tatapan matanya … tebakanku jarang meleset. Dia anak baik, loh.” Hesti meminum jus mangga pesanannya yang baru saja tiba.
Sudut bibir Silvi terangkat. Senyum simpul itu tertangkap mata Hesti meski hanya beberapa detik. Silvi lanjut berbicara panjang lebar, tetapi gadis itu langsung diam ketika ponsel Hesti berbunyi. Melihat nama yang terpampang pada layar benda pipih di tangan, mata Hesti membulat. Dia menyadari bahwa dirinya kini dalam bahaya.
“Sil, aku harus pulang sekarang. Ibu butuh bantuanku.”
“Ibumu belum pulih?”
“Belum, nanti malam aku telepon. Sorry banget, ya.” Hesti melangkah pergi meninggalkan Silvi yang tampak pasrah bertopang dagu.
***
“Bu, minum obatnya dulu, ya.” Hesti membantu sang ibu duduk, kemudian menyodorkan segelas air dan beberapa tablet obat.
Ibu baru saja pulang dari rumah sakit tiga hari yang lalu setelah hampir seminggu dirawat. Dia terkena penyakit tifus dan kondisi lambungnya lumayan parah hingga dia hanya bisa tergolek lemah.
Wanita paruh baya itu kembali berbaring setelah meminum obat. Dia meraih tangan anak sulungnya. Selarik senyum tulus dia hadiahkan sebagai ucapan terima kasih. “Maafkan ibu yang selalu menyusahkanmu, Nak.” Mata sendu itu berkaca-kaca.
“Udah, udah. Ibu nggak salah, nggak ada yang perlu dimaafkan. Ini udah kewajiban Hesti.” Wanita cantik berkulit putih itu tersenyum manis. Dia membiarkan sang ibu menggenggam tangannya lebih lama hingga terlelap.
Detik demi detik berlalu. Malam kian larut hingga jarum jam menunjuk angka sebelas, Hesti masih terjaga di sisi sang ibu. Mata sayunya menatap kosong dinding kamar berukuran lima kali empat meter itu. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus menyala, tetapi tidak berbunyi juga tidak bergetar. Rupanya mode silent dia hidupkan agar tidak mengganggu tidur malam wanita yang paling dicintainya itu. Lama-kelamaan nyala ponsel meredup.
Hesti teringat ancaman seseorang tadi siang saat hendak pergi menemui Silvi. Bagaimana jika semuanya terbongkar? Sejak itu, pikirannya kalut. Banyak sekali kemungkinan buruk yang terlintas dalam benak yang mungkin akan terjadi nanti.
Sejak sang ayah wafat dua tahun yang lalu, kehidupan Hesti berubah seratus delapan puluh derajat. Dia meninggalkan pekerjaan lamanya demi tawaran seseorang yang baru saja dikenalnya. Seorang wanita cantik yang beberapa kali datang berbelanja di minimarket tempat Hesti bekerja.
Hesti tergiur dengan gaji yang dijanjikan. Tanpa pikir panjang, dia menerima tawaran wanita yang diketahui bernama Sarah itu. Menjadi seorang pelayan di sebuah hotel berbintang dengan gaj yangi jauh di atas pendapatannya sebagai kasir, membuat Hesti mantap untuk resign.
Waktu berlalu, Hesti yang merasa tertipu pada akhirnya menikmati pekerjaan barunya. Tidak ada pilihan lain. Baginya, ini bagian takdir yang harus dia jalani. Dengan uang yang Hesti dapatkan, dia bisa menghidupi dua orang adik yang masih sekolah, juga ibu yang sering sakit-sakitan. Hesti hanya perlu menjalani perannya sebaik mungkin demi kebahagiaan keluarganya.
Namun, sejujurnya kini Hesti sudah mulai lelah menjalani kehidupan malamnya. Rasanya sudah terlalu jauh dia melangkah dan tersesat dalam kubangan maksiat. Memasang wajah paling menggoda, demi kepuasan kaum adam yang haus belaian. Sampai akhirnya datanglah Dion di kehidupannya. Kalau bukan karena lelaki tampan itu, mungkin Hesti masih ingin melanjutkan pekerjaan hina itu.
“Jadi ini, teman yang dibangga-banggakan Silvi? Nggak lebih dari seorang pelacur!”
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dion sesaat setelah memasuki kamar hotel yang dia sewa. Tanpa Hesti ketahui, diam-diam Dion mengintainya sejak lama. Lelaki yang dikenalkan Silvi delapan bulan yang lalu itu nyatanya hanya menjadikan Silvi alat untuk mendapatkan Hesti.
Ponsel Hesti menyala lagi, bergantian nama Sarah, Dion dan Silvi terpampang pada layar. Wanita itu melirik sekilas, lantas diraihnya benda pipih itu. Ia lalu menonaktifkan ponsel, kemudian menyimpannya dalam laci.
Hesti tidak peduli dengan apa yang akan terjadi pada dirinya esok hari. Yang jelas, dia sudah bertekad ingin keluar dari drama yang menyesatkannya selama ini.(*)
Depok, 14 September 2021
Indira Syah, seorang wanita berdarah Sunda-Betawi. Ia pencinta kucing dan penyuka nasi goreng. Penulis novel Jodoh Sang Penulis dan beberapa antologi ini menyukai dunia menulis sejak SMP. Namun, baru menggelutinya sejak akhir 2019 lalu. Dengan menulis, ia berharap dapat menebar kebaikan.
Editor : Rinanda Tesniana
Gambar : https://pin.it/1MFd6vK