Pengumuman Juara KCLK Februari
Jadi, sekaranglah saatnya kami umumkan juara KCLK Februari di antara 4 cerpen terbaik yang terpilih setiap minggu. Setelah melalui bulan yang spesial ini—yang hanya terdiri dari 28 hari saja—dengan pelbagai kegiatan menerima, mengoreksi, memposting, dan mengumumkan setiap nominator dan juara per minggu untuk cerpen-cerpen kece yang berpartisipasi di KCLK, akhirnya kita sampai ke akhir.
Jika ditotal, jelas ada lebih dari 100 cerpen yang kami terima—karena di minggu pertama saja sudah masuk 75 kartya, 11 cerpen plihan, 24 nominator, dan 4 cerpen terbaik mingguan, kini kita masuk ke penilaian tahap akhir yaitu menentukan yang terbaik dari 4 cerpen juara mingguan tersebut, yang antara lain: Siluet Hitam di Depan Jendela (Ike Dewi Lestari), Jangan Tidur! (Lily Rosella), Penunggu Halte (Reza Agustin), dan Malam yang Berdarah (Ali Mukoddas).
Pertanggungjawaban Juri
Untuk tahap akhir ini, kita tidak lagi menyertakan perolehan voting, tetapi murni penilaian juri saja. Berikut sedikit ulasan atau pertanggungjawaban juri perihal penentuan juara KCLK Februari:
Menariknya, setiap cerpen juara KCLK Februari ini mempunyai kekuatan yang berbeda-beda. Seperti kau menandingkan 4 petarung dengan senjata, postur tubuh, dan latar belakang yang berbeda-beda.
Cerpen juara minggu pertama, Siluet Hitam di Depan Jendela, adalah satu-satunya cerpen yang memenangi dua jalur penilaian: voting dan penjurian. Jadi, tidak sulit bagi kami untuk kemudian memilih cerpen ini sebagai pemenang di minggu pertama. Cerita tentang bujang tua kesepian yang mulai berdelusi dan berhalusinasi aneh-aneh ini bukan hanya berisi kisah yang menyedihkan dari si tokoh, cerita ini pula mengisahkan tentang trauma, sakit mental, dan parenting. Meskipun ada saja orang yang tidak suka kalau dikatakan bahwa fiksi bukan hanya tentang cerita tetapi pula “pesan” (apalagi kalau disebut “pesan moral”), tetapi begitulah kenyataannya. Kita tidak mungkin melepaskan cerita dengan “pesan” di dalamnya. Setelah membaca cerita yang bagus, yang membuat kita terkesan, kita—secara alamiah—akan bertanya: “Apa yang mau disampaikan cerita ini kepadaku?” Bahkan cerita yang isinya “negatif”-pun, misalnya perselingkuhan, penipuan, pembunuhan dll tetap bisa memberikan “pesan” (baik) kepada pembaca. Karena pesan itu adalah hasil penafsiran pembaca, dan pembaca yang baik, pasti bisa melihat “pesan” yang—seringnya—tidak tersurat itu.
Kekuatan “pesan” itu adalah salah satu hal yang membuat pembaca merasakan kedewasaan dalam cerita. Seperti saat kita bertemu dengan seseorang, semakin dewasa orang itu, maka semakin bijak, realistis, jujur, dan penting “pesan” ia sampaikan kepada kita, baik itu secara verbal ataupun nonverbal. Kisah-kisah cengeng tentu akan memberikan perasaan sebaliknya bukan?
Baca: Siluet Hitam di Depan Jendela
Selanjutnya, kita memilih Jangan Tidur! Sebagai juara di minggu ke-2. Seolah berjodoh, cerpen ini seperti melengkapi cerpen pertama. Jika Siluet Hitam… mengisahkan tentang orang yang mengalami sakit mental, di sini, kita dipertemukan dengan Grace, terapis untuk pasien yang menderita sakit mental. Grace, didatangi oleh seorang gadis tujuh tahun bernama Anna yang menderita gangguan tidur—tubuhnya menjadi memar-memar setelah bangun. Proses terapi pun dimulai, dan uniknya, Grace punya kemampuan untuk masuk ke dalam kenangan/memori pasiennya. Dengan begitu akan diketahui sumber permasalah si pasien yang mengguncang mentalnya. Sebuah imajinasi yang menarik dari penulisnya, yang membuat kita pun berharap, jika betulan ada teknik begini, alangkah banyak manfaatnya bagi penderita sakit mental.
Cerita ini, bila mau kita masukkan ke dalam jenis cerita tertentu, maka ia lebih tepat ke misteri. Iya, ada pula ia menyinggung psikis dan ada kesan horornya, tetapi secara umum, ia masuk kategori misteri. Kita tidak tahu siapa si Anna sebenarnya—sebelum sampai ke akhir cerita. Apa maunya dan bagaimana sistem terapi itu berlangsung? Bagaimana Grace bisa melakukannya dan kenapa ia bisa melupakan kematian putrinya sendiri? Misteri yang menarik untuk diolah sendiri dalam pikiran pembaca. “Ruang kosong” yang tidak dijelaskan ini sering kali seperti pedang bermata dua, ia bisa dianggap sebagai teknik penceritaan yang dewasa dari penulisnya, atau malah dianggap sebagai “lubang” yang membuat cerita jatuh ke sumur gelap yang membuat pembaca sebal; “Ah, tidak masuk akal!” Dari sana, kepekaan pembaca menjadi penting. Dari pada ngurusin “logika” yang belum tentu tepat, kami lebih suka merasakan “efek” cerita kepada pembaca. Betapa mengerikan cerita ini sebenarnya, bahwa Anna adalah hantu penasaran yang “menuntut” pengakuan dari sang ibu. Apalagi ia ditutup dengan kalimat akhir yang mampu mendirikan bulu roma.
Baca: Jangan Tidur!
Penuh dengan cerita-cerita “serius”, di minggu ketiga kita dihibur oleh Penunggu Halte. Cerpen yang menyenangkan dibaca karena termasuk ringan dan menghibur. Meskipun bertema horor, namun nuansa komedinya justru lebih terasa. Ia menceritakan tokoh Linda yang sesungguhnya baru saja mati dibegal. Namun, Linda sendiri tidak menyadari hal yang menimpanya dan menganggap dirinya masih hidup sembari menunggu angkutan umum yang bisa membawanya pergi dari halte angker itu. Mitos, santet, cerita-cerita hantu, dan peristiwa kriminal diaduk menjadi satir yang lucu di dalam cerpen ini. Dan kelucuan itu dikuatkan dengan kehadiran “para hantu” di dalam cerita yang tidak ditujukan untuk menakut-takuti.
Kita tentu senang membaca cerita komedi yang tidak berniat melawak. Bukan bermaksud menyebut yang melawak itu tidak bagus ya. Dalam seni menulis secara umum, yang dinilai tentu bukan hanya bagian “lucu-lucuannya”, tetapi yang lebih utama, kecakapannya bercerita. Seringkali penulis komedi lebih mengejar “lucunya” daripada menyusun cerita yang baik. Dalam menulis fiksi yang baik, perlu ada kekuatan pada logika cerita, alur, diksi, tema, dan bagaimana membuat setiap bagian terjadi dengan bersebab; tidak menuliskan kalimat-kalimat yang mubazir–yang penting lucu.
Baca: Penunggu Halte
Puas dihibur oleh si hantu, kita kemudian diajak merenungkan masa lalu dalam Malam yang Berdarah. Bahkan sampai sekarang, kita pun akan menemukan kelompok orang seperti tokoh utama cerpen, Tuingga. Mereka adalah para korban politik yang sering kali disamarkan sebagai korban agama, budaya, pun ekonomi. Dalam lingkup besar, ia merupakan konsekuensi dari ketidakstbailan dalam suatu negara. Ketdakstabilan ini memunculkan kecurigaan yang dengan mudah diubah menjadi kobaran api dengan provokasi dan fitnah, yang membuat orang-orang saling membenci dan menyerang. Dan di antara mereka, selalu ada kelompok yang menjadi korban, mereka—seringnya—adalah minoritas yang tidak bisa membela diri.
Sikap pasrah itu ditunjukkan oleh Tuingga. Meskipun ia pergi mencari tempat perlindungan, tetapi pada dasaranya ia sudah tahu apa yang akan terjadi dan berupaya menyiapkan dirinya. Jika tidak ada tempat untuk mengadu, ketika seluruh kelompokmu dibantai dan dilecehkan, hanya kepada Tuhan-lah peraduan terakhir. Dan Tuingga, perlu “jawaban” yang tepat ketika malaikat menyampaikan pertanyaannya. Jawaban yang menentukan apakah ia akan bertemu Tuhan, atau kembali bertemu kobaran api—yang jauh lebih panas.
Baca: Malam yang Berdarah
Keterasingan, itulah yang dialami tokoh utama, yang pula dikuatkan oleh penulis dengan penggunaan nama yang “tidak akrab” di telinga. Dan jika dicermati ulang, ke-4 tokoh dalam cerita utama kita ini mengalaminya, keberadaan mereka yang asing di lingkungannya. Tokoh dalam Siluet Hitam… sengaja mengasingkan diri dari kehidupan sosialnya, tokoh dalam Jangan Tidur! terasing dari masa lalunya sendiri, termasuk tokoh dalam Penunggu Halte yang terasing dari komunitas barunya: para hantu yang senang berkeliling kota dengan angkot ghaib.
Juara KCLK Februari
Sebelumnya, jujur kami senang sekali dengan hasil KCLK Februari ini yang di luar ekspektasi. Mulai dari jumlah peserta pun kualitas cerpen yang masuk, sungguh sebuah proses—dan perjuangan—yang pantas. Selain keempat cerpen terbaik yang sungguh memuaskan kami, cerpen lain yang menjadi nominator pun tak sedikit yang sangat bagus, yang membuat kami agak kesusahan ketika memilih juara mingguan.
Dan, setelah bersepakat, kami memutuskan bahwa juara KCLK Februari adalah…:
Malam yang Berdarah, oleh Ali Mukoddas.
Pemenang utama akan mendapat hadiah sebesar Rp150.000, sementara ketiga nominator juara telah kami beri 1 poin sebagai pemenang mingguan. Poin ini diberikan kepada para nominator final, jika kembali ikut dan berhasil mengumpulkan 2 poin lagi—total tiga poin—maka bisa ditukarkan dengan uang sebesar Rp100.000. KCLK akan kembali kami adakan untuk bulan April, silakan mulai mengirim—dengan aturan yang sama—sampai batas DL: 31 Maret 2018.
Salam.
Daftar cerpen Juara KCLK per minggu
Daftar lengkap nominator KCLK minggu keempat:
Daftar lengkap nominator KCLK minggu ketiga:
Daftar lengkap nominator KCLK minggu kedua:
Daftar lengkap nominator KCLK minggu pertama:
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita