Pengkhianat (Terbaik Ke-15 TL19)

Pengkhianat (Terbaik Ke-15 TL19)

Pengkhianat

Oleh: Cokelat

Terbaik Ke-15 TL-19

 

Sultan Ahmad Syah geram mendengar laporan lelaki yang berdiri di hadapannya. Dia menoleh ke arah putera sulungnya, Pangeran Alauddin, dan berseru, “Kumpulkan para uleebalang tiga hari dari sekarang!” Sultan Ahmad Syah lalu berdiri dari singgasananya dan meninggalkan ruangan dengan wajah memerah.

Pangeran Alauddin meneruskan perintah Sultan kepada orang kepercayaannya, Teuku Ilham. Teuku Ilham bergerak cepat. Keponakan Sultan Ahmad Syah dari adik bungsunya itu segera mengirim utusan ke semua uleebalang dan menyampaikan pesan Sultan.

Tiga hari kemudian, semua uleebalang yang berada di wilayah Kesultanan Aceh Darussalam berkumpul di ruang rapat istana. Sultan Ahmad Syah tak membuang waktu dan segera memimpin rapat. “Menurut mata-mata kita, Belanda akan menyerang jika kita masih bertahan dan tidak mau bekerja sama dengan VOC. Hal ini benar-benar meresahkan. Bagaimana menurut kalian?”

Teuku Chik Danang, salah seorang uleebalang, segera berdiri mendengar ucapan Sultan. “Maaf, Sultan. Tapi menurut hamba, kita tidak boleh kalah dan menyerah pada mereka. Kita semua tahu bagaimana politik dagang mereka. Monopoli VOC akan sangat merugikan kesultanan.”

Pendapat Teuku Chik Danang disetujui oleh semua uleebalang. Tak ada seorang pun yang setuju untuk menjalin hubungan dengan VOC.

“Lalu, bagaimana langkah kita selanjutnya? Ada saran?” Sultan Ahmad Syah mengedarkan pandangannya kepada semua peserta rapat.

Tak ada yang bersuara.

“Yang Mulia Sultan, jika diizinkan, hamba ingin memberi saran.” Suara Teuku Ilham memecah keheningan yang sempat tercipta di ruangan yang langsung berbatasan dengan taman istana itu.

Semua kepala serempak menoleh ke arah Teuku Ilham, yang duduk di samping Pangeran Alauddin. Lelaki berusia awal tiga puluhan itu seketika merasa sedikit gugup. Saat dilihatnya Sultan Ahmad Syah mengangguk pelan, dia pun memberanikan diri.

“Menurut hamba, mari kita minta bantuan pada Amerika. VOC … maksud saya Belanda akan berpikir keras untuk mengganggu kesultanan jika mereka tahu Amerika ada di belakang kita dan kita telah menjalin kerjasama dengan Amerika.”

Suasana kembali hening. Semua orang berusaha mencerna saran dari Teuku Ilham.

“Lalu, bagaimana caranya kita meminta bantuan pada Amerika?” Kali ini, Pangeran Alauddin yang bertanya.

“Kesultanan bisa mengirim utusan ke Konsulat Amerika di Singapura. Kita akan menjelaskan posisi dan sikap kita pada mereka. Maksud hamba, sebaiknya kita berdagang dengan mereka. Mereka lebih bisa diajak bekerja sama dan tidak memonopoli,” jawab Teuku Ilham.

Hampir semua orang di ruangan itu mengangguk, setuju dengan saran Teuku Ilham. Sultan Ahmad Syah melirik ke arah keponakannya dengan perasaan bangga. Terkadang, Sultan bahkan merasa Teuku Ilham jauh lebih cakap dan dapat diandalkan dibanding Pangeran Alauddin.

“Apakah kau punya saran, siapa yang sebaiknya kita kirim sebagai juru bicara ke Singapura?” Pertanyaan Sultan Ahmad Syah mengejutkan Teuku Ilham. Dia tak menyangka Sultan akan meminta sarannya untuk hal sepenting itu. Hal yang bisa menentukan nasib kesultanan di masa mendatang.

“Hamba menyerahkan sepenuhnya kepada Tuanku Sultan. Hanya saja, jika boleh, hamba ingin ikut ke Singapura mendampingi utusan yang terpilih.” Teuku Ilham menjawab sambil menunduk.

Sesaat setelah Teuku Ilham selesai menjawab pertanyaan Sultan Ahmad Syah, Pangeran Alauddin segera berdiri dan meminta izin untuk berbicara. “Maafkan kelancangan hamba, Sultan. Apakah tidak sebaiknya Panglima Galang yang kita kirim sebagai utusan? Beliau sudah sering mewakili kesultanan ke berbagai daerah untuk melakukan perundingan dan negosiasi-negosiasi. Beliau pasti bisa menyakinkan Konsul Amerika di Singapura dengan kemampuannya itu.”

Pangeran Alauddin yakin, ayahnya akan menyetujui usulannya. Panglima Galang adalah salah satu orang terdekat ayahnya. Dia adalah satu dari sedikit orang kepercayaan Sultan Ahmad Syah. Lelaki itu tempat ayahnya berbagi rahasia-rahasia kenegaraan dan baru-baru ini diangkat menjadi Syahbandar Kesultanan Aceh Darussalam. Benar saja dugaan Pangeran Alauddin, Sultan Ahmad Syah langsung mengangguk mendengar usulannya.

Beberapa hari kemudian, Panglima Galang, Teuku Ilham dan beberapa puluh pengawal berangkat dengan kapal laut Kesultanan Aceh Darussalam menuju Singapura. Setelah mendarat di Singapura, mereka langsung menuju ke Konsulat Amerika yang terletak di tengah kota.

Kedua utusan itu diantar ke lantai dua untuk bertemu Konsul Amerika, Mayor Franklin. Mayor Franklin menyambut ramah kedatangan Panglima Galang dan Teuku Ilham di ruangannya yang tidak terlalu luas dan penuh dengan berbagai barang. Lelaki bertubuh tinggi besar dan berambut merah itu menyatakan akan menyampaikan maksud dari Kesultanan Aceh Darussalam kepada Washington. Dia berjanji akan memberi kabar secepatnya begitu ada jawaban dari Washington. Panglima Galang juga menyerahkan surat yang berstempel cap kesultanan kepada Mayor Franklin.

Para utusan kesultanan menginap semalam di Singapura dan kembali keesokan harinya. Di saat bersamaan, berita kedatangan Panglima Galang dan Teuku Ilham telah sampai ke telinga Konsul Belanda yang juga berkedudukan di Singapura.

Malam itu Mayor Van Sander, Konsul Belanda di Singapura, menerima bocoran hasil pertemuan di gedung Konsulat Amerika. Dia segera memanggil ajudannya.

“Catat kata-kataku ini, dan segera kirim telegram ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia!” Mayor Van Sander terlihat sangat gusar, membuat tangan ajudannya yang memegang pulpen ikut bergetar. Ajudan itu yakin, ini pasti berita yang sangat penting.

Tak menunggu lama setelah menerima telegram dari Singapura, Gubernur Jenderal Hindia Belanda meneruskan berita yang diterimanya ke Den Haag.

“Kesultanan Aceh Darussalam meminta bantuan Amerika. Dalam waktu beberapa puluh hari, Amerika dan sekutunya akan mulai melabuhkan kapal-kapal angkatan laut mereka di sekitar perairan Aceh Darussalam. Mohon diizinkan untuk mengambil tindakan dalam rangka mengamankan kepentingan Kerajaan Belanda.”

Setelah mempertimbangkan berbagai hal, Kerajaan Belanda akhirnya memberi restu pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk memulai serangan ke Kesultanan Aceh Darussalam.

Saat kapal-kapal Belanda mulai berjejer di perairan Kesultanan Aceh Darussalam, seorang utusan datang membawa surat untuk Sultan Ahmad Syah. Sultan Ahmad Syah membaca surat itu dengan tangan bergetar. Dia segera berteriak, menyuruh pengawal memanggil Panglima Galang untuk menghadap.

“Apa ini? Baca! Sebenarnya apa yang kalian bicarakan di Singapura? Lalu, bagaimana Belanda bisa menulis surat seperti ini?” Sultan Ahmad Syah mengacungkan surat yang sedari tadi diremas-remasnya kepada Panglima Galang.

Panglima Galang membaca surat itu dan terduduk lemas. Apa-apaan ini? Apa maksud pihak Belanda? Mereka hanya meminta kerja sama biasa dengan Amerika terutama dalam perdagangan, sama sekali tidak disinggung mengenai perang melawan Belanda. Belum ada pembicaraan sejauh itu. Tapi surat ini ….

“Apa penjelasanmu?” Suara Sultan Ahmad Syah terdengar bergetar.

“Maafkan hamba, Sultan. Hamba izin sebentar dan akan segera kembali.” Panglima Galang berdiri dan meninggalkan Sultan Ahmad Syah yang terheran-heran melihat tingkah orang kepercayaannya itu.

Di depan kamar Teuku Ilham, yang terletak di bagian sayap kiri istana, Panglima Galang berteriak-teriak. “Teuku Ilham, keluar kau! Keluar kataku!”

Begitu Teuku Ilham membuka pintu kamarnya, Panglima Galang segera menerobos masuk. “Pengkhianat!” teriaknya.

Teuku Ilham diam dan menatap Panglima Galang dengan dingin.

“Segera ikut aku dan jelaskan semuanya pada Sultan. Jangan main-main denganku. Dasar, Pengkhianat!” Panglima Galang menarik tangan Teuku Ilham.

Teuku Ilham melepaskan cengkeraman tangan Panglima Galang di lengannya dengan kasar dan mendorong lelaki yang berusia jauh lebih tua darinya itu sehingga jatuh terduduk di lantai.

Panglima Galang sangat terkejut. Dia tak menyangka Teuku Ilham berani melakukan hal itu padanya. Walau dia keponakan Sultan, tetapi selama ini Teuku Ilham sangat menghormatinya. Semua orang di kesultanan ini menghormatinya.

Saat Panglima Galang berusaha bangkit, Teuku Ilham kembali mendorong Panglima Galang hingga terjatuh, dan terbaring di lantai. Teuku Ilham mengeluarkan rencong dari balik sarungnya dan tanpa berkata apa-apa, lelaki berkulit putih itu lalu menusukkannya ke dada kiri Panglima Galang.

Panglima Galang masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Dia berusaha berteriak minta tolong, tetapi tangan kiri Teuku Ilham membekap mulut lelaki berperawakan sedang itu. Sementara, tangan kanan Teuku Ilham kembali menusukkan rencong berkali-kali ke dada Panglima Galang. Panglima Galang terbaring bersimbah darah. Lelaki yang telah banyak berjasa pada kesultanan itu kalah tanpa perlawanan yang berarti.

Teuku Ilham menatap mayat Panglima Galang yang terbujur kaku di dekat kakinya. Sekarang saatnya untuk mulai menyebarkan berita pengkhianatan Panglima Galang, seperti rencana sebelumnya. Dan dia akan menjadi pahlawan karena sudah membunuh si pengkhianat.

Darah dari tubuh Panglima Galang mulai mengalir membasahi lantai kamar. Ketika kakinya hampir terkena aliran darah, Teuku Ilham melangkah mundur dan menabrak seseorang. Lelaki tampan itu kaget bukan main. Dia segera berbalik. Dan ketika melihat bahwa yang masuk ke kamarnya adalah Pangeran Alauddin, Teuku Ilham menarik napas lega.

“Kenapa kau terlihat sangat kaget? Aku dari tadi ada di balik pintu dan melihat semuanya.” Pangeran Alauddin tersenyum.

“Bagaimana menurut Pangeran?” Teuku Ilham balas tersenyum ke arah sepupunya.

“Sempurna. Tapi tersisa satu hal yang harus aku bereskan dan semuanya akan benar-benar sempurna.” Pangeran memasang wajah murung dengan tiba-tiba.

Teuku Ilham bingung. Bukankah semua berjalan sesuai rencana mereka? Dia mengernyit, rasa-rasanya tidak ada yang mereka lewatkan.

“Apakah kau menggunakan rencong yang aku berikan?” Tiba-tiba Pangeran Alauddin mendekat.

Teuku Ilham mengangguk sambil  mengangkat tangannya. Rencong dengan gagang keemasan itu tampak berlumuran darah di atas telapak tangan kanan Teuku Ilham.

Secepat kilat, Pangeran Alauddin meraih rencong itu dan menusuknya berkali-kali ke dada Teuku Ilham. Teuku Ilham butuh waktu beberapa detik untuk menyadari apa yang terjadi. Semuanya begitu cepat. Dan ketika dia sadar bahwa Pangeran Alauddin ternyata mengkhianatinya, Teuku Ilham sudah jatuh tersungkur bersimbah darah.

“Pangeran … bagaimana mungkin? Kau …. “ Teuku Ilham tak lagi mampu menyelesaikan ucapannya.

Pangeran Alauddin tersenyum licik. Setelah meletakkan rencong ke tangan Teuku Ilham, dia lalu mengambil kain dari balik bajunya dan membersihkan tangannya yang berlumuran darah.

Pangeran Alaudiin merapikan pakaiannya. Dia benar-benar puas. Lelaki itu lalu melangkah ke pintu dan mulai berteriak-teriak histeris, memanggil para pengawal.(*)

Kamar Cokelat, 20 Maret 2022

Catatan:

  1. Uleebalang: kepala pemerintah dalam kesultanan Aceh yang memimpin sebuah daerah atau sagoë, yaitu wilayah setingkat kabupaten dalam struktur pemerintahan Indonesia sekarang.
  2. VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie): persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia.

Cokelat, nobody from nowhere.

Komentar juri, Maurien:

Cerita ini punya plot yang menarik. Kita bisa menemukan kisah perang yang terjadi karena “manipulasi” orang dalam. Ada drama pengkhianatan yang menarik. Ditambah lagi teknik bertuturnya yang berbeda membuat juri jatuh hati. Cokelat berhasil memberi ide lain yang beda dari yang lain. Selamat.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply