Penghuni Bulan

Penghuni Bulan

Penghuni Bulan

Oleh : Alena Winker

Percayakah kalian jika di bulan itu ada kehidupan? Beragam mitos tentang hal tersebut tentu banyak kita dengar, bukan? Dan bagaimana jika aku mengatakan, kamarku terhubung dengan bulan? Tentu kalian akan menertawakanku. Tapi begitulah adanya, kamarku terhubung dengan dimensi di bulan.

Setiap malam purnama, sebuah pintu menuju bulan akan terbuka. Awalnya aku tak menyadari hal tersebut, hingga suatu malam purnama tanpa sengaja poster bergambar bulan yang sudah terpasang lama di dinding kamarku mengelupas. Awalnya aku hendak menempelkannya kembali, tapi aku dikagetkan dengan adanya sebuah pintu yang bisa kubuka. Aku melangkah ke dalam sana dan ternyata diriku telah berpindah dimensi. Perlahan aku memasuki dimensi tersebut lebih dalam. Udara di sana sedikit lebih berat, tumbuhannya pun tak seindah di bumi, tapi tempat tersebut banyak dihuni oleh kelinci-kelinci lucu. Anehnya aku paham apa yang mereka katakan. Mereka beraktivitas layaknya kita manusia. Mereka jarang sekali berbicara, mungkin itu sebabnya mengapa telinga mereka panjang. Karena mereka lebih banyak mendengar suara alam dibandingkan kita.

Aku mengelilingi dimensi tersebut hingga akhirnya aku bertemu dengan Linxi, anak kelinci yang sedang terluka akibat terjatuh. Aku menghampirinya, mengajaknya ke tepi jalan lalu meniup lukanya. Perlahan tangisannya berhenti, tergantikan senyum yang samar namun manis. Aku pun membalasnya dengan senyuman. Aku ditemani oleh Linxi melanjutkan perjalananku hingga aku sampai di titik saat aku datang tadi. Aku menengok keluar pintu dan sepertinya pagi sudah menjelang di bumi. Aku pun berpamitan kepada Linxi untuk pulang. Ada rona kesedihan di wajah Linxi. Tapi tak kuhiraukan. Aku tetap melangkah menuju bumi, sedangkan perlahan pintu itu menghilang dan berubah menjadi tembok.

Semenjak kejadian tersebut aku sering memikirkannya, apakah itu mimpi atau memang betul-betul kenyataan? Jika itu mimpi, mengapa setelahnya badanku terasa lelah dan aku seperti orang kurang tidur? Jika itu nyata, mengapa aku tidak menemukan bekas pintu tersebut di kamarku? Ah, sudahlah.

Bulan purnama kembali tiba, aku yang penasaran menunggu tengah malam untuk membuktikannya. Kutatap terus dinding di balik poster bergambar bulan itu, dan ternyata betul, pukul 00.00 sebuah pintu berwarna abu muncul. Aku berlari menuju pintu tersebut. Perlahan-lahan kubuka pintu tersebut dan hal yang sama seperti pertama kali aku kemari, puluhan kelinci lucu sedang beraktivitas. Mereka terlihat ceria. Kali ini aku melihat mereka sepertinya akan mengadakan festival. Jalan-jalan dipenuhi dengan hiasan. Para kelinci jantan bergotong royong mengangkat bermacam-macam ornamen dari kayu dan batu, sementara para betina sibuk merangkai bunga.

“Permisi, bolehkah saya tahu, apakah akan ada festival di sini?” tanyaku kepada salah satu kelinci yang berada di sekitar sana.

“Bukan festival, Nona. Tuan Ramos akan berkunjung kemari,” jawab kelinci tersebut.

“Tuan Ramos?”

“Iya, Tuan Ramos pemilik seluruh tanah di sini.”

“Oh … terima kasih.” Aku penasaran dengan rupa Tuan Ramos ini. Semoga aku bisa melihatnya dahulu sebelum kembali ke tempatku.

Arak-arakan yang menyambut Tuan Ramos akhirnya tiba di depanku. Awalnya kukira Tuan Ramos itu sesosok kelinci raksasa tua berusia ratusan tahun, tetapi dugaanku salah ternyata sosoknya adalah pria tampan berusia sekitar 25 tahun. Tatapan kami bertemu lalu dia melemparkan sebuah senyuman yang menghanyutkan untuk diriku. Arak-arakan tersebut telah berlalu, namun senyuman Tuan Ramos masih terasa nyata di hadapanku.

Entah mengapa setelah pertemuanku dengan Tuan Ramos saat itu, setiap bulan purnama aku selalu bertemu dengannya. Aku dan dia semakin dekat seiring waktu. Tenyata Linxi adalah sepupu Tuan Ramos, dan dari Linxi pulalah Tuan Ramos tahu tentangku.

Suatu ketika Tuan Ramos menceritakan sebuah ramalan dari peramal terkenal di sana yang mengatakan bahwa aku adalah jodohnya. Tentu saja aku tak mempercayainya dan tertawa terbahak-bahak. Tapi ternyata tidak demikian dengan Ramos. Ramos berkata jika aku tak mau menjadi jodohnya, hidupku akan menderita. Bahkan mungkin keluargaku akan menjadi korbannya. Aku yang merasakan aura yang mencekam darinya buru-buru pergi dari sana. Mana mungkin aku jadi jodoh Ramos, lagi pula aku tidak mau tinggal di bulan walaupun di bumi hidupku tak sebahagia dan sebebas gadis lain di bumi.

Bulan purnama selanjutnya aku menutupi poster bulan yang biasanya menjadi penutup pintu masuk itu dengan segala macam benda. Jujur aku masih takut dengan Ramos. Sayangnya, tengah malam para kelinci bulan berubah menjadi makhluk yang menyeramkan. Mereka memaksa masuk, merusak lemari besar yang menutupi poster bulan tadi, lalu aku diseret paksa memasuki dimensi bulan. Selanjutnya aku dibawa paksa menghadap Ramos. Aku tak berani menatapnya, sungguh aku takut terhadapnya. Dielusnya pelan pipiku.

“Selamat datang pengantinku, maaf membuatmu tersakiti. Salahmu sendiri memaksaku berbuat kasar kepadamu.”

Aku hanya terdiam seribu bahasa dan memalingkan wajahku. Hal tersebut tentu saja memancing emosi Ramos.

“Awalnya aku berniat memperlakukanmu dengan lembut, Sayang. Tapi apa boleh buat, biar kuseret dirimu menuju altar pengantin kita,” ucapnya lagi.” (*)

Alena Winker. Gadis kelahiran kota Bandung yang sedang mencoba belajar genre surealisme. Menyukai senja dengan perpaduan warna jingga, emas dan ungu yang terbingkai dalam pantulan air laut.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Sumber Foto : https://id.pinterest.com/pin/318348267417574837/

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply