Pengganti Papa
Oleh : Hassanah
Aku menunduk saat lagi-lagi tidak mampu menyuntikkan jarum infus pada pasien. Program profesi ners yang harus kujalani selama dua semester terasa sangat berat. Sudah tiga calon pasien yang gagal aku pasang infus pada pergelangan tangan mereka.
“Nih, minum.” Seseorang meletakkan sekaleng minuman penyegar di hadapanku.
Aku mendongak. Pemilik suara barusan yang mengenakan sneli telah berdiri di seberang meja. Tidak lama kemudian, dia duduk dan membukakan kaleng minuman.
“Gilaaang ….” Air mata yang kutahan sedari tadi akhirnya tumpah.
“Ya Allah, nih, anak. Jangan nangis. Diliatin orang-orang itu,” bisik Gilang, panik.
Aku menangis semakin kencang. Rasanya terlalu sesak bila ditahan lebih lama. Aku bahkan tidak peduli dengan tatapan pengunjung kantin rumah sakit. Ini terlalu sesak dan butuh dilampiaskan.
“Niiis! Udah, ih. Malu tau.”
“Aku gak kuaaat!” isakku.
Aku membenturkan kepala ke atas meja. Namun, mengapa tidak sakit? Tanpa kusadari, ternyata Gilang sudah meletakkan telapak tangannya di atas meja dan menahan keningku.
“Minum dulu. Nanti baru cerita,” ucapnya.
Aku tidak mengangguk ataupun menggeleng. Yang kulakukan hanya menatap Gilang tanpa kata. Dia pun segera menarik dan membawaku ke taman belakang rumah sakit.
***
Kami duduk bersisian di bangku taman, dekat lorong rumah sakit. Dia mengulurkan lengan kanannya setelah membuka sneli putih yang membalut tubuh berisinya. Tanpa menunggu waktu lama, aku segera merengkuh lengannya.
Aku menangis sejadi-jadinya. Sudah dapat dipastikan, kemeja panjang Gilang pasti basah akibat ulahku, lagi. Sesaat setelah aku terisak sambil memeluk lengannya, ada sesuatu yang menutupi kepalaku. Rasa penasaran pun muncul. Akhirnya, aku mengurai pelukan pada lengan Gilang dan mencari tahu apa yang barusan menutupi kepala.
“Apaan, sih, Lang!” Aku mencebik kesal. Ternyata Gilang menutupiku dengan sneli putihnya.
“Kenapa? Kamu malu punya sahabat yang cengeng kayak aku? Kamu malu kalau aku gak berani masang jarum infus? Kamu nyebelin!” Aku menggeser duduk hingga ke ujung bangku.
Kudengar Gilang menghela napas. Lewat ekor mata, aku melihatnya menggulung lengan kemeja yang sudah basah itu dan mendekat kepadaku.
“Nisa …,” panggilnya pelan. “Trauma itu gak akan hilang kalau gak kamu lawan. Kamu gak mau, ‘kan, program profesi ini gagal?” tambahnya kemudian.
“Tapi aku takut, Lang.” Mataku kembali berair.
“Ada aku di sini. Kalau ada apa-apa, kamu bisa langsung panggil aku.”
Sebulir bening akhirnya jatuh kembali. Gilang selalu mengatakan itu sejak Papa meninggal empat tahun lalu saat aku baru memasuki kuliah keperawatan. Kenangan awal kedekatan kami pun terlintas.
Kami mulai dekat karena pernah terkurung di perpustakaan sekolah. Aku ketiduran, sedangkan dia karena terlalu fokus belajar. Bu Nikmah, penjaga perpustakaan, yang buru-buru pulang karena anaknya demam tinggi pun tidak mengecek ruangan sebelum menguncinya. Alhasil, kami terkurung sampai tiga jam di sana. Untung saja Pak Bahrain selaku keamanan sekolah tengah patroli saat itu. Akhirnya, kami dapat keluar tepat sebelum mentari kembali ke petidurannya dengan sempurna.
Gilang selalu ada di saat aku membutuhkannya. Bahkan saat Vero, mantan kekasihku, memutuskan hubungan kami saat itu, Gilang adalah orang yang paling kesal sekali. Dia selalu mengingatkan aku agar lebih berhati-hati dengan lelaki. Tidak mudah menemukan yang mencintaiku dengan tulus. Hal itu pula yang membuat aku semakin tak bisa jauh darinya.
Ah, mengingat masa-masa itu seakan membuatku tersadar. Gilang begitu perhatian dan senantiasa mencoba untuk melindungiku. Mengenai trauma, dia juga hadir saat kecelakaan itu menimpaku di dua minggu pertama program profesi ners berlangsung.
“Pem-pembuluh da-darahnya pecah, Lang. A-aku takut,” isakku kala itu.
Seorang pasien luka bakar hampir saja terbunuh olehku. Kala itu keadaan ruang IGD sangat ramai akan korban kecelakaan bus yang terbakar. Para senior yang seharusnya membimbing aku dan tiga teman lainnya tampak sibuk dan kewalahan. Aku pun memberanikan diri untuk segera memasang cairan infus setelah tiga temanku menggeleng ketakutan.
Namun, nahasnya aku kurang berhati-hati akibat rasa takut yang menjalar di seluruh tubuh. Tanpa sengaja, salah satu pembuluh darah pasien pecah dan memuncratkan darah.
Sejak kejadian itu, sampai saat ini aku tak lagi mampu memasang jarum infus pada pasien. Hanya Gilang yang kerap menjadi pelampiasan saat aku gagal dan butuh tempat untuk menangis.
“Nisa,” panggil Gilang, menyadarkanku.
Aku menoleh padanya. Sorot mata itu lagi-lagi membuatku ingin mengatakan perasaanku yang sebenarnya pada Gilang. Namun, aku takut.
Cukup sekali bagiku kehilangan sosok lelaki yang begitu kucintai dalam hidup, yaitu Papa. Aku tidak mau kehilangan Gilang yang sudah seperti pengganti Papa. Persahabatan ini harus tetap utuh. Biarlah perasaan itu terkubur di bawah sana.
“Kamu bilang nanti mau sama-sama kerja di rumah sakit yang sama. Apa iya kamu mau nunggu aku selesai koas buat nyelesain program profesimu? Hem?”
“Tapi kalau aku selesai nanti gimana?”
“Maksudnya?”
“Kalau aku selesai duluan, terus kerja, tapi gak ada kamu di sana. Kalau aku mau nangis lagi gimana?”
Gilang terbahak lepas. Dia menyugar rambut dan tersenyum kepadaku.
“Nanti aku pilih rumah sakit tempat kamu kerja buat intership. Gimana?”
Kedua sudut bibirku tertarik seketika. Itu tandanya, kami akan terus bersama walau harus berjarak sekitar satu tahun. Aku pun mengangguk cepat, menyetujui apa yang baru saja dikatakannya.
“Seneng?” tanyanya.
Aku mengangguk lagi.
“Gampang bener bikin kamu seneng.” Dia membalas senyumku.
Iya. Aku senang ada kamu yang gantiin Papa buat aku. Selalu ada dan bikin aku nyaman. Juga seseorang yang begitu aku cintai tanpa alasan. Seperti Papa, cinta pertamaku.(*)
Bumi Lancang Kuning, 30 Maret 2021
Hassanah adalah seorang gadis kelahiran Aceh yang besar di Tanah Melayu, Riau. Penyuka petrikor, segelas kopi panas, dan senja.
Editor : F. Mudjiono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata