Penggalan Kisah Adik dan Aa
Oleh: Evamuzy
Pura-pura Amnesia
“Awas! Jangan pegang-pegang tangan! Sekali lagi Aa berani begitu, Adik aduin ke Abah. Biar dipecat dari daftar calon menantu.” Wanita manis berlesung pipi itu bersungut-sungut di depan kekasihnya, pria tampan berkacamata.
“Nah, bukannya Abah yang jabat tangan Aa, lalu bilang ‘SAH!’ di depan penghulu dan para saksi kemarin sore. Adik lupa? Atau pura-pura lupa?” Senyum menyindir terlukis di wajah sang pria.
Si Adik malu, menutup wajahnya yang merona—serupa warna buah tomat—dengan kedua tangan. “Adik grogi, A …,” jawabnya dengan suara hampir tak terdengar.
Pesawat
“Coba Aa tebak, apa bedanya Adik sama pesawat?” Wanita berkulit kuning langsat itu sok genit, senyum-senyum sambil kedipkan bulu matanya yang lentik.
“Hehe …. Ya, jelas beda atuh, Dik. Masa Adik makhluk hidup mau disama-samakan dengan benda mati. Adik sedang demam, ya? Atau ingin Aa belikan es krim cokelat?” Si Aa beralih pandang dari buku bacaan. Memasang senyum indah yang selalu berhasil membuat sang Kekasih jatuh hati.
Tapi kali ini si Adik melengos sebal. “Ih, si Aa mah nggak asyik. Nggak peka.”
“Iya, deh, iya. Jangan ngambek, dong. Memang apa bedanya?”
“Ehem … kalau pesawat berhenti di bandara, kalau Adik berhentinya di Aa. Hihi …,” jawab wanita tersipu malu.
Tangan kanan si Aa refleks menutup mulut, menahan ketawa. Sudah pengin ketawa, sih. Cuma takut si Adik marah-marah. Pasalnya Aa takut kehilangan senyum manis itu, meski hanya sebentar saja.
Belikan Pemotong Sayur dong, A
“Dik, honor Aa sudah turun. Adik pengin dibelikan apa? Gamis baru, mau?” Sepulang dari kerja, si Aa mendatangi Adik yang sedang sibuk memasak di dapur.
“Nggak usah, A,” tolak si Adik tanpa beralih pandang dari aktivitasnya, memotong sayur sawi.
“Lha, kenapa? Gamis Adik udah pada kekecilan, tuh,” bujuk si Aa.
“Maksud Aa, Adik nambah gendut, gitu?” Adik tak terima. Mulutnya sudah seperti sedang menguyah nasi dua sendok. Maju ke depan.
“Yah, salah lagi. Aa cuma pengin nyenengin istri, Dik. Nanti sore jalan-jalan beli gamis baru. Mau, ya?” bujuk Aa lagi.
“Nggak usah, A. Gamis yang kekecilan nanti Adik belikan bahan polos buat nambal biar muat lagi di badan Adik. Udah ngirit, kreatif dan jadi kaya model gamis-gamis sekarang. Belang-belang gitu, A. Separuh motifnya beda.”
“Gitu ya, Dik.”
“Iya. Jadi sekarang, uang yang mau buat beli gamis baru, Aa masukin aja ke celengan, sini. Kalau udah banyak nanti buat beli rumah, mobil sama naik haji.” Adik menengadahkan tangannya meminta uang beli gamis baru itu.
Tetap saja diminta.
“Yah, itu kelamaan, Dik. Aa ingin nyenengin istrinya sekarang.”
“Kalau begitu, sekarang Aa cukup berikan cinta dan kesetiaan seumur hidup Adik.”
“InsyaAllah, kalau itu pasti. Tapi kenapa seumur hidup Adik bukan seumuran hidup Aa?”
“Iya, karena doa Adik, semoga Aa hidup lebih panjang dari Adik. Lalu cukup cintai Adik sepanjang hidup Adik. Dan selama itu, tak boleh ada orang lain di antara kita. Setelah itu terserah Aa, sebab mencintai adalah hak setiap manusia dan rasa cinta datangnya dari Sang Pencipta tanpa bisa kita menolaknya.”
“Kalau begitu kita akan sehidup semati agar Aa mencintai Adik sepanjang hidup Adik dan hidup Aa.”
“Benarkah? Aamiin. Terima kasih, A,” ucap Adik sambil menyeka matanya yang basah.
“Adik terharu, ya? Sampe nangis gitu. Aa benar-benar akan mencintai Adik selamanya. Sudah jangan nangis gitu. Aa ikutan sedih, nih.”
“Bukan, A. Lihat, nih! Jari Adik kena pisau. Udah tahu lagi potong sayur, masih diajak ngobrol terus.” (*)
Tentang Penulis:
Evamuzy. Penulis kelahiran Jawa Tengah. Penyuka dunia anak-anak dan es krim rasa cokelat.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata