Pengertian Hijab, Religius, dan Bentuk Pembuktian Cinta
Oleh: Ning Kurniati
Manusia pada dasarnya adalah makhluk hidup yang membutuhkan sesuatu untuk bergantung. Bergantung terhadap kemampuan diri sendiri maupun kepada sesama makhluk, terlebih kepada Sang Pencipta. Dalam menggantungkan diri, lazimnya manusia akan menganut satu ajaran yang mengatur tata keimanan (baca: agama). Beberapa ada yang menganut karena bawaan keturunan juga ada karena pencarian ketika sudah mengenal bermasyarakat.
Dalam setiap agama tentu ada aturan yang mengikat penganutnya untuk tetap dalam koridor, tidak melenceng. Begitu juga dalam Islam, ada aturannya. Bila mengaku muslim, tetapi menolak menjalankan aturan, atau hanya mau sebagiannya saja seperti berhijab tetapi tidak sholat, sholat tetapi tidak berhijab, keyakinannya patut dipertanyakan, juga terkait cintanya pada Sang Pencipta.
Agama hadir tidak untuk mengatur sebagian hidup, melainkan secara keseluruhan.
Meyakini berarti memercayai. Percaya bahwa sepenuhnya yang menjadi aturan adalah yang terbaik bagi dirinya. Tidak ada yang buruk. Cinta yang dimiliki pun akan memudahkan segumpal daging dalam tubuh (baca: hati) untuk menerima segala yang telah ditetapkan. Kadar cinta pun mesti pada tempatnya. Cinta yang utama diberikan kepada Allah subhanahu wataala, lalu Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam. Jadi, ketika sudah cinta tidak ada lagi alasan a, b, dan seterusnya yang menjadi penghalang untuk menjalankan aturan yang telah digariskan dalam Al-quran dan As-sunnah.
Aturan dalam Islam lebih dikenal dengan sebutan syariat Islam alias syari. Satu dari sekian aturan yang mengatur umat Islam adalah hijab. Hijab dalam bahasa arab diartikan penghalang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hijab adalah dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain; dinding yang membatasi hati manusia dan Allah; dinding yang menghalangi seseorang dari mendapat harta waris. Pada intinya adalah terletak pada kata batasan. Batasan dalam Islam hadir untuk menjaga penganutnya dari hal-hal yang dapat mendatangkan ketidakbaikan, ataupun penyakit.
Hijab pada masa sekarang cenderung lebih diartikan pada sehelai kain yang dikenakan muslimah. Sehingga, seseorang condong memakai hijab hanya dalam artian kain sebagai penutup aurat. Aurat yang boleh terlihat yaitu muka dan kedua telapak tangan. Pun dalam menegankan hijab mesti memerhatikan hukum yang mengaturnya sesuai dalam surah ke-24 ayat 31 dan surah ke-33 ayat 59.
Saat sekarang seiring perkembangan industri, jenis-jenis hijab mulai banyak bentuknya yang kesemuanya belum tentu sesuai dengan perintah Allah. Terlebih ketika bulan Ramadan, bentuk hijab lebih banyak jenisnya bermunculan. Sebagai muslimah yang taat, semua hal tersebut mesti diperhatikan pengunaannya. Apakah hijab yang akan dikenakan benar-benar menutup, tidak transparan ketika dilihat dari dekat ataupun dari jauh, terlebih di bawah cahaya. Terkadang ada beberapa jenis kain yang dari dekat tampak tebal. Namun, dari jauh cukup tipis, sehingga apa yang hendak ditutupi samar-samar terlihat.
Terlepas dari hal-hal tersebut, hijab pada dasarnya bukan hanya sebatas kain yang menjadi penghalang antara kulit dengan lingkungan luar. Akan tetapi, bagaimana diri-diri muslimah menjaga batasan hubungan/interaksi dengan lingkungannya. Hal ini perlu dipahami dengan baik, sehingga muslimah tidak jatuh pada kesalahpahaman, bahwa sudah menggunakan hijab, jadi sudah aman, sehingga lupa menjaga interaksi terlebih pada lawan jenis yang bukan mahram. Apalagi ketika hari Lebaran, akan banyak kunjungan—saling mengunjungi antara sanak saudara. Di hari seperti itulah hijab mesti diperhatikan betul. Terkadang karena larut terbawa suasana, lupa bahwa tidak boleh bersalaman antara yang bukan mahram. Ditambah bila ada kata, “tidak usah terlalu sok alim, religius dan segala embel-embelnya”. Religius itu perlu sebagai umat beragama. Mesti dipahami, arti religius dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bersifat religi, bersifat keagamaan, yang bersangkut-paut dengan religi. Sedangkan religi itu sendiri berarti kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia, kepercayaan (animisme, dinamisme), agama. Jadi, pantaslah bila disebut religius karena sebagai seorang yang beragama, terlebih itu adalah bukti cinta kepada Rabb. Bukankah cinta butuh pembuktian? Jadi, apa yang salah dengan religius? Tidak ada, justru itu baik. Mari senantiasa menjaga kecintaan itu dengan taat—istiqomah di atas perintah dan larangan Allah subhanahu wataala dan sunnah Rasulullah Muhammad shallalahu alaihi wasallam.
Yuk, buktikan cintamu?
Bulukumba, 26 Mei 2019
Ning Kurniati adalah perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah tiap harinya. Berharap dengan menulis setidaknya mampu memberi manfaat walau kecil sekali.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata