Penerbangan yang Tertunda

Penerbangan yang Tertunda

Penerbangan yang Tertunda

Oleh : Arya Kusuma Mayangkara

 

Alarm di ponselku tiba-tiba berbunyi. Aku mengelus kepala Amelia dengan lembut dan mencium keningnya. Dia masih tertidur pulas di pelukanku.

“Hai, Sayang, bangun, yuk! Antarkan Mas ke bandara,” bisikku di telinganya.

Amelia menggeliat sambil bergumam, perlahan bulu mata lentik itu berkedip. Dia menguap dengan malas, meregangkan bahunya sejenak lalu kembali mendekapku erat-erat.

“Jam berapa sekarang, Mas?” tanya Amelia yang masih memejamkan mata.

“Udah jam empat pagi, Mel. Aku mandi dulu ya, nanti terlambat,” jawabku sambil mencuri kecupan di bibirnya yang ranum.

Amelia tersenyum dia memandang tubuhku bangkit menuju kamar mandi. Lima belas menit aku membersihkan diri. Aroma lavender menguar dari tubuhku yang basah. Aku melilitkan handuk di pinggang, lalu berjalan ke lemari mengambil seragam pilot yang telah disiapkan Amelia semalam. Kupasang pangkat dengan empat gold bar di bagian pundak. Amelia membantuku mengenakan dasi dan memasang topi. Aku memagut bibirnya mesra, begitupun dia. Kami berpelukan cukup lama. Rasanya berat untuk berpisah dengannya.

Aku memanaskan mesin Rubicon sambil menunggu Amelia selesai berpakaian. Tak lama dia keluar dari pintu depan, mengunci pintu dan mengenakan sepatu. Dia memakai gaun pendek selutut berwarna kuning lemon. Wangi parfum Starlight Etienne Aigner memanjakan indra penciumanku saat dia duduk di sisiku. Aku segera melajukan kendaraan ke arah bandara.

Jalan tol pukul lima pagi masih sangat lengang. Hanya satu dua mobil yang searah denganku. Aku mengambil jalan bebas hambatan agar segera sampai ke tujuan. Amelia bersandar santai di kursinya memejamkan mata. Tampaknya dia masih sangat mengantuk setelah percintaan kami semalam. Aku mengelus pipinya lembut, dan dibalasnya dengan kecupan di pipiku. Aku pria yang beruntung bisa memilikinya. Gadis tercantik di Fakultas Ekonomi UI, sahabat Armand, sepupuku.

Pukul enam pagi, kami tiba di bandara Soekarno Hatta. Aku turun dari mobil untuk mengambil koper, lalu mengecup pipi Amelia yang telah duduk di belakang kemudi menggantikan posisiku. Setelah mengucap salam perpisahan, aku berjalan masuk ke dalam untuk melakukan persiapan sebelum boarding. Sementara Amelia meninggalkan drop off area untuk pulang ke rumah.

Kunikmati secangkir kopi hitam sembari membaca koran di ruangan pilot, ketika Dennis, co pilotku datang menyapa.

“Selamat pagi, Capt,” sapanya ramah lalu berjabat tangan denganku.

“Pagi, Den! Dingin sekali tanganmu, Bro? Sudah ngopi belum?” jawabku tersenyum.

“Iya, Capt, kena AC mobil barangkali,” jelasnya tertawa. Dia mengambil kopi, lalu duduk di hadapanku.

Satu jam kemudian aku mendapat kabar dari pihak maskapai jika jadwal penerbanganku pagi ini dibatalkan karena ditemukan adanya kerusakan teknis pada pesawat yang akan kami tumpangi.  Penumpang dialihkan  ke penerbangan sore yang akan dipimpin oleh Capt. Ibrahim.

Aku memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Kuurungkan niat untuk menelepon Amelia dan memutuskan pulang naik taksi online saja. Mungkin dia sedang melanjutkan tidurnya atau melakukan yoga. Aku tak ingin mengganggu aktivitas paginya.

Kuminta supir taksi mampir ke toko bunga langganan, untuk membeli sebuket mawar untuk Amelia. Sambil menunggu pramuniaga merangkai bunga, aku berselancar di dunia maya. Sesekali aku tertawa melihat unggahan video atau status lucu milik teman-temanku. Meninggalkan komentar di beranda mereka, lalu lanjut ke aplikasi sosial media lainnya.

Pramuniaga menyerahkan buket mawar merah cantik yang kupesan, lalu kuserahkan kartu debit terbitan sebuah bank untuk melakukan pembayaran. Sambil memandangi arus lalu lintas yang mulai padat dan macet di luar jendela, aku tersenyum membayangkan betapa terkejutnya Amelia jika tahu aku pulang ke rumah lebih awal dari seharusnya.

Taksi online yang kutumpangi berhenti di depan halaman rumahku yang tak berpagar. Kulihat mobil CRV hitam milik Armand terparkir di depan rumah. Aku heran, tak biasanya Armand sepupuku datang sepagi ini kerumah, meski dia dan Amelia telah lama bersahabat sebelum kami menikah.

Kulihat sepasang sepatu pria tergeletak di depan pintu. Mungkin sepatu milik Armand. Kugerakkan gagang pintu kebawah untuk membuka pintu depan, akan tetapi terkunci dari dalam.

“Kok dikunci?” pikirku keheranan. Alih-alih mengetuk pintu atau menelepon ponsel Amelia, aku memutuskan memutar ke belakang rumah untuk masuk dari pintu teras yang berseberangan dengan kolam renang.

Sepi. Tak terlihat Armand atau Amelia mengobrol di ruangan mana pun di lantai bawah. Setelah melepas sepatu, kuletakkan tas di meja dapur, melonggarkan dasi dan segera naik ke lantai dua.

Sayup-sayup kudengar suara tawa lirih Armand dan Amelia dari arah kamar tidur kami. Aku mematung di depan pintu mendengar desahan manja istriku yang membuat telingaku panas rasanya. Kulihat dari celah pintu kamar yang terbuka sedikit, Amelia meliukkan tubuh indahnya di pelukan Armand, sepupuku sendiri.

“Mereka berselingkuh di belakangku! Sejak kapan?” tanyaku dalam hati dengan perasaan geram luar biasa. Kubiarkan dua sejoli pengkhianat itu berbuat dosa sepuas mereka. Pelan-pelan aku meninggalkan rumah tanpa mereka sadari. Kubuang buket mawar di kotak sampah milik tetanggaku setelah taksi online yang kupesan berhenti di ujung jalan.

Kuputuskan menginap di hotel bintang lima tak jauh dari bandara untuk menenangkan diri. Perasaanku tak keruan sambil memikirkan langkah selanjutnya yang harus aku lakukan. Perselingkuhan mereka pasti sudah berlangsung lama setiap kali aku ada tugas terbang ke luar negeri. Kubuka aplikasi travel online untuk memesan tiket pesawat. Aku harus pergi sejenak untuk menepi. Rasa sakit itu tak mau hilang tiap kali suara desahan Amelia terngiang-ngiang di telingaku.

Malam harinya aku melakukan panggilan video dengan Amelia. Dia mengangkat panggilanku pada deringan ketiga.

“Hai, Mas! Sudah sampai di Tokyo?” sapanya ceria. Kulihat rambutnya basah sehabis keramas. Mengingatkan aku pada kejadian tadi siang di kamar tidur kami.

“Iya, jam lima sore tadi,” sahutku datar. Penerbangan Jakarta-Tokyo memakan waktu sembilan jam lebih empat puluh menit, dengan satu kali transit di bandara Changi, Singapura selama satu jam.

“Mas capek, ya? Kok kayaknya lagi males ngomong sama aku?” ujarnya manja.

Aku menggeleng dan memaksa bibirku untuk tersenyum. “Tentu saja aku capek memikirkan alasanmu mengkhianatiku, Sayang!” sahutku dalam hati.

Kami berbincang kurang lebih setengah jam lalu aku pamit untuk beristirahat. Esok pagi aku harus terbang, tapi bukan sebagai pilot, melainkan sebagai penumpang.

Aku mengambil penerbangan pertama pukul enam pagi ke kota Denpasar, Bali. Kuputuskan berlibur sejenak ke villa milik keluarga di Ubud.

“Selamat sore, Mas Bayu. Apa kabar? Mas datang sendirian saja?” Pak Made penjaga villa menyapaku ramah dengan logat Balinya yang khas.

Aku tersenyum sambil menyerahkan koperku kepadanya. “Iya Pak, gimana kabarnya? Sehat?”

“Sehat, Mas. Mau minum kopi atau teh manis?”

“Jeruk hangat saja, Pak.”

“Baik Mas. Mbak Amelia apakah akan menyusul? Saya bantu booking-kan tukang pijat langganan Mbak Amel, Mas,” tanya Pak Made.

“Enggak usah, Pak. Dia lagi sibuk di Jakarta,” jawabku datar.

“Pasti Mbak Amel sedang sibuk persiapan sale akhir tahun di tokonya ya, Mas?”  Pak Made mungkin teringat ketika disuruh Amelia memilih pakaian untuk istrinya saat mengunjungi butik miliknya beberapa tahun lalu.

“Sibuk berselingkuh dengan sepupuku,” sahutku dalam hati sambil tersenyum kecut.

“O, ya, Pak. Jangan mengabari Amelia kalau saya datang ke sini ya!” pesanku kepadanya.

“Siap, Mas,” sahut Pak Made. Dia berlalu meninggalkan aku di ruang tamu untuk menyiapkan kamar tidurku.

Sama seperti saat menginap di hotel semalam, lagi-lagi aku tidak bisa tidur. Suara itu, bayangan itu, terbayang-bayang terus di pikiranku. Aku harus membuat perhitungan dengan Amelia dan Armand sekembalinya aku ke Jakarta beberapa hari lagi.

***

Malam ini aku bersiap-siap untuk makan malam di rumah dengan Amelia. Hari ini sangat spesial karena dia sedang berulang tahun. Aku memasak steak wagyu kesukaanya. Setelah selesai memasak, aku segera mandi menggunakan sabun aroma lavender milik Amelia.

Kukenakan kemeja dan celana panjang hitam favorit Amelia. Rahangku yang tegas dengan dagu yang terbelah mulai ditumbuhi bulu-bulu halus yang tercukur rapi. Kupandangi bayangan wajahku di kaca meja rias Amelia. Aku terlihat sangat tampan dengan mata coklat dan hidung mancung mirip sekali dengan ayahku yang berdarah Belgia.

Sekotak coklat mahal dan buket mawar merah telah kusiapkan untuknya. Ada kejutan manis yang kusimpan dalam kotak beludru warna biru. Hadiah yang selama ini diidam-idamkan Amelia sejak pertama melihat gambarnya di majalah wanita.

Dia terpaku di hadapanku, memandangi aku membuka kotak beludru warna biru. Kupasangkan gelang emas putih bertabur berlian eropa di pergelangan tangannya.  Kubelai pipi kanannya yang dingin. Meski dia telah mengkhianatiku, akan tetapi aku akan selalu mencintainya sebesar pertama kali kami bertemu.

“Selamat ulang tahun, Sayang,” ujarku sambil mengecup punggung tangannya.

Kuletakkan kotak coklat dan buket mawar merah di sebelahnya. Dia masih terlihat cantik meski kulitnya semakin pucat dengan bibir membiru. Pandangannya kosong dengan bulu mata lentik yang tak bisa lagi berkedip. Kututup pelan-pelan pintu freezer yang sudah dua minggu terakhir menjadi tempat peraduannya.

Aku menyesap kopi hitamku sambil memandangi hamparan rumput di halaman belakang rumah. Mungkin sekarang jasad Armand sudah mulai membusuk dan hancur dimakan belatung serta cacing tanah. Rumpun bunga mawar yang kutanam di atas kuburannya tampak subur dan mulai bermekaran. Andai mereka tidak terus berselingkuh dibelakangku, tentu aku tidak perlu melakukan semua itu. (*)

Surabaya, 17 Desember 2021

Arya Kusuma Mayangkara adalah nama pena seorang nakes yang sedang menyamar menjadi penulis. Dia lahir dan dibesarkan di kota Surabaya hampir setengah abad yang lalu. Kegemarannya membaca buku membuat bapak dua anak ini tertarik untuk menulis naskah dalam bentuk cerita pendek di sela-sela kesibukan profesinya sebagai nakes. Penggemar film action dan komedi ini suka menebar tawa di setiap postingan Facebook-nya. Dia menjadikan aktivitas menulis untuk menjaga kewarasan dan mencegah kepikunan.

Editor : Nuke Soeprijono

Sumber Foto

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply