Pendar di Pasar Malam

Pendar di Pasar Malam

Pendar di Pasar Malam
Oleh : Freky Mudjiono

Serasa terjepit di antara barisan rapat kendaraan yang terperangkap kemacetan, saya mengalihkan pandangan ke arah deretan ruko di sisi jalan. Khas perkotaan. Meski matahari mulai gelap, tapi kesibukan tidak berkurang, malah bertambah-tambah. Selain lampu jalan dan ruko yang menyala terang, beberapa pedagang kaki lima juga terlihat mempersiapkan lapak dagangan.

Trotoar jalan yang tengah saya lewati, terkenal dengan wisata kulinernya di malam hari, terutama makanan ala India. Sebut saja, roti canai, martabak kari, naan, nasi biryani maupun minuman semacam lassi dan masala tea dapat dengan mudah ditemukan di sini. Saban hari, harus melewati jalan yang sama untuk menuju rumah sepulang kerja, membuat saya hampir hafal pemandangannya.

Namun, kali ini ada yang berbeda, perhatian saya tersita oleh kesibukan orang-orang di sebuah tanah kosong di sisi kiri jalan. Tumpukan papan, peti, rangka-rangka besi, bentangan plastik terpal dan plakat besar, juga bentuk khas dari beberapa wahana terlihat mencolok. Desir berbalut asa muncul. Bila saya tidak salah, sebuah pasar malam akan digelar di sana.

Pasar malam. Saya pertama kali mengunjunginya di sekitar usia delapan atau sembilan tahun, bersama Ayah dan Ibu. Dalam kehidupan kami yang pas-pasan, mengunjungi hiburan merakyat itu menjadi momen yang tidak terlupakan.

Ah, saya ingat, kala itu penuh semangat menarik lengan Ibu melangkah masuk ke areal yang semarak dengan pendar lampu aneka warna. Lampu-lampu itu membuat tanah lapang di desa kami yang selalu gelap dan suram menjadi terang benderang. Dengan tas besar yang tersampir di bahunya, Ibu menggenggam tangan saya. Sementara, Adik perempuan saya menggayuti leher Ayah. Ia terlalu kecil, belum bisa berjalan dengan baik di antara kerumunan orang, oleh sebab itu Ayah menggendongnya.

Suasana yang ramai dan riuh menyambut kedatangan kami berempat. Sebuah komidi putar dengan aneka kuda-kudaan yang disusun mengelilinginya, berputar perlahan, berada tepat di dekat pintu masuk, menyita perhatian. Ia langsung masuk ke daftar wahana permainan yang ingin saya coba.

Tidak lama kemudian, Adik mulai rewel dalam gendongan Ayah, menunjuk berkali-kali ke arah stand minuman. Mungkin dirinya tertarik dengan deretan botol sirup dan minuman ringan yang terpajang. Ibu menggeleng, lalu dengan cekatan merogoh tas besarnya, mengeluarkan botol minum yang dibawa dari rumah. Ada sorot kecewa di mata Adik, begitu juga di mata saya. Bagaimanapun, bila Ibu menuruti permintaan Adik, saya juga pasti akan ikut mencicipi minuman segar tersebut.

Ah, sudahlah, tidak apa-apa. Yang terpenting, Ayah dan Ibu mengizinkan saya mencoba lebih dari satu permainan pada malam itu. Sungguh luar biasa! Kami sangat bergembira, eh, saya tidak yakin apakah semua merasakan hal yang sama, sebab sepertinya saya sama sekali tidak melihat senyum di wajah Ayah selama kami bermain. Sesekali saya mencuri lirik ke arahnya, saat saya ingin meminta sesuatu pada Ibu. Kemudian napas lega saya embuskan, sebab Ayah tidak melotot atau pun melarang sama sekali. Ia hanya memperhatikan kami dalam diam.

Setelah malam itu, beberapa kali kami mengunjungi pasar malam, tidak sering, tapi setidaknya dua atau tiga kali dalam setahun. Seiring bertambahnya jumlah adik yang menyertai, frekuensi kunjungan juga semakin berkurang. Semakin lama semakin jarang, hingga kemudian berhenti sama sekali.

Namun, itu tidak menjadi masalah bagi saya yang tengah fokus mengejar beasiswa sebuah universitas negeri. Cara satu-satunya yang memungkinkan saya untuk bisa menjadi sarjana di tengah perekonomian keluarga yang semakin memburuk. Demi mengejar cita-cita, bermain tidak lagi tercantum dalam prioritas saya, bahkan sama sekali tidak lagi terlintas dalam pikiran.

Kini, setelah bertahun-tahun kemudian, tiba-tiba sebuah pasar malam hadir kembali di hadapan. Ada rasa rindu, ingin sekali merasakan kegembiraan bermain di sana.

Sesampainya di rumah, saya segera menyampaikan hal ini pada Istri yang tengah sibuk menyuapi si bungsu kami. Bahwa, ada berbagai wahana permainan yang tengah di bangun di sebuah jalan yang saya lewati. Sesekali Istri saya mengucap “oohh” sebagai sebuah reaksi.

“Kamu mau main ke sana?” Saya mengakhiri cerita dengan sebuah kalimat tanya menggebu.

“Tentu saja!” Istri saya menjawab cepat dengan mata berbinar. “Malam ini?”

Saya sedikit kaget melihat sikap antusiasnya setelah sebelumnya datar-datar saja. “Tidak. Lusa saja, saat libur weekend,” jawab saya sambil mengelus kepala si bungsu yang baru berusia dua tahun.

***

Hari yang telah saya janjikan pada Istri telah berlalu lebih dari seminggu. Bukannya saya sengaja agar ia uring-uringan sebab hal itu. Juga bukan karena lupa. Bagaimana bisa lupa? Setiap pulang kerja, di tengah kemacetan, saya selalu melihat cahaya lampu pasar malam yang berpendar. Keriuhan yang membuat iri, karena tidak bisa ikut di dalamnya.

Namun, hari ini berbeda. Amplop berisi gaji yang tersimpan aman di dompet, cukup sebagai bekal kami sekeluarga bersenang-senang sepuasnya di pasar malam yang–syukurlah–masih di buka itu.

“Ini gaji bulan ini.” Amplop itu langsung berpindah tangan setibanya saya di rumah.

Istri saya yang tadinya cemberut berubah semringah, langsung menghitungnya di depan saya. Seperti biasa, ia mengambil jumlah yang diperlukan untuk mengurus rumah tangga kami, lalu mengembalikan sisanya yang tidak seberapa untuk ongkos dan pegangan saya hingga saat gajian berikutnya.

“Mas, ini kuambil lebih buat beli sepatu sekolah si Kakak yang sudah kekecilan, ya? Kasihan, ia selalu kesakitan memakainya.” Istri saya menunjukkan sejumlah lembar yang ia ambil.

Saya bisa apalagi selain mengangguk. Tanpa perlu melihat isi amplop, saya bisa mengira-ngira jumlah yang tersisa sambil menelan ludah.

Sepertinya, pasar malam kembali hanya bisa saya nikmati pendar cahaya lampunya dari dalam angkutan umum yang terjebak kemacetan. Lagi-lagi … tanpa bisa ikut serta dalam keriuhannya.(*)

Medan, 28 juni 2020

Freky Mudjiono adalah seorang penulis pemula yang masih terus mengejar ketinggalannya.

Editor : Uzwah Anna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply