Pendakian Tengah Malam
Oleh: Titik Koma
Kegelapan telah sempurna menyembunyikan pesona senja. Mobil yang dikemudikan Rion kembali menanjak. Jalan sempit dan berkelok yang kami lalui akan mengarahkan kami ke titik tertinggi di Karawang, puncak Sanggabuana. Di saat pasangan lain mengisi malam minggunya di dalam gedung bioskop menikmati film romantis, Rion Bayanaka malah mengajakku masuk ke dalam hutan. Luar biasa!.
Hampir jam sepuluh malam kami baru sampai di parkiran, mulai dari posko ini kendaraan pengunjung dilarang naik. Suasana perjalanan yang awalnya dihiasi kegelapan yang mencekam berangsur lebih mencair dengan adanya beberapa kelompok orang yang berkumpul di warung-warung sederhana. Ada sekelompok mahasiswa seusia kami yang terlihat sedang briefing sebelum memulai pendakian mereka.
Rion menarik tanganku, mengajak mampir ke warung yang dipenuhi para mahasiswa itu, ada sekitar tujuh orang terdiri dari 4 lelaki dan 3 perempuan. Mereka terlihat antusias dan tentu saja sangat siap.
Berbeda denganku yang diajak paksa, aku bahkan masih pakai sandal ber-hak.
“Bu, ada kopi susu rasa vanilla?”
“Ada, Nak!”
“Tolong buatkan dua ya, Bu.” pesan Rion.
Aku sendiri telah memilih spot yang nyaman untuk duduk lesehan di pojok warung yang berhadapan dengan jalan setapak. Lelaki jangkung itu melepas carrier-nya, lalu duduk tepat di depanku, ia melihatku sejenak dengan senyum jahil yang tak lepas sejak ia menjemputku di rumah.
“Ini ….” Sekantung keresek putih tersodor, “Ganti sandalmu.”
Aku tak mau menerimanya. Sikap diamku membuat pemuda berkulit kuning keemasan itu menghela napas. Ia memutuskan untuk memakaikan sendiri sepatu yang baru dibelinya untukku.
Tak sengaja mataku melihat seorang lelaki berpet hitam dengan strip merah melintang. Ransel besar yang dibawanya tampak penuh dan berat. Ia tak menyapa atau pun sejenak menoleh ke arah bapak-bapak penjual kopi yang menawarinya untuk mampir.
“Ayolah, Eve! Jangan kelamaan ngambeknya. Apa kita pulang aja?”
Sebenarnya aku tak masalah dengan hobi Rion yang suka naik gunung, tapi karena ini malam Minggu, dan kebetulan kita baru jadian, seharusnya kami bisa makan malam romantis atau apalah! Bukannya ke hutan terus nanti malah ketemu setan!
“Masa kita mau balik lagi!” kataku sedikit sewot.
“Habis, kamu-nya enggak asyik.”
“Ya, udah deh, maaf…, ” pintaku dengan wajah masih cemberut.
“Enggak ikhlas banget minta maafnya.” Rion mengusak rambutku.
“Duh …, dari tadi Ibu perhatiin mesra pisan.” Tiba-tiba si ibu pemilik warung bertanya asal kami.
“Oh, jadi Adek-adek ini dari Bekasi. Mau langsung naik atau nginep dulu?”
“Langsung naik, Bu,” jawab Rion.
“Kirain mau nginep dulu.” Si ibu senyum-senyum sendiri.
Aku menyambar gelas kopiku untuk menutupi rona merah yang menjalar di wajah. Kulihat Rion pun tersenyum canggung.
“Hati-hati loh, Dek. Nanti saat di perjalanan menuju puncak jangan melakukan hal-hal yang aneh, nanti diganggu sama makhluk di sana. Mereka bisa marah kalau ada yang berbuat tidak sopan. Jangan mengucapkan kata-kata kotor dan setiap kali berpapasan dengan orang lain harus menyapa.”
Si ibu memberikan wejangan yang sudah sering kami dengar di mana pun kami akan naik. Kalau dipikir-pikir orangtua zaman dulu buat peraturan tak tertulis bagi anak muda saat naik gunung pasti ada maksud tertentu juga.
“Terutama saat berada di area makam kalian harus lebih hati-hati dalam bersikap.”
“Siap, Bu! Akan kami ingat baik-baik nasihatnya.” Rion kembali menanggapi.
Untung para mahasiswa yang briefing tadi mulai ribut-ribut mau bayar pesanan mereka. Jadi, sesi nasihat si ibu pun harus segera diakhiri.
Setelah cukup beristirahat, Rion segera membayar pesanan kami.
Tepat pukul sepuluh lewat lima menit kami meninggalkan posko.
“Kamu tahu enggak, Eve? Sebenarnya ada beberapa peraturan lain yang belum diberitahu si ibu.” Rion berjalan tepat di depanku.
“Peraturan apa?” tanyaku penasaran.
Mendadak Rion menghentikan ayunan kakinya. Aku menatap mata hijau Rion yang tertimpa sinar rembulan.
“Pertama, jika ada yang memanggilmu dari arah belakang kamu tidak boleh menoleh. Kedua, saat beristirahat di area makam, kamu tidak boleh bicara dengan suara kuat. Ketiga, jika melihat sesuatu yang aneh, kamu harus pura-pura tak melihat apa-apa.”
Aku menelan ludah, “Itu aja?”
“Untuk sekarang cukup tiga hal itu saja yang perlu kamu ingat,” pungkasnya. Ia menyambar tanganku dalam genggamannya, kami pun melanjutkan langkah.
“Seharusnya kita naik bareng sama rombongan mahasiswa tadi.”
“Kamu bicara begitu bukan karena takut, ‘kan?”
“Enggak, kok!” elakku.
Aku mendengkus saat mendengar suara tawa Rion yang renyah.
Udara malam terasa semakin segar, setelah melewati perumahan, kami pun sampai pada lahan datar yang luas. Suara jangkrik, dan siulan tonggeret yang panjang dan nyaring terdengar aneh di telingaku, dalam suasana gelap dan sepi begini suara semak bergoyang pun terdengar mengerikan.
Suara-suara burung nokturnal makin keras berbunyi di atas kami. Aliran suara air terdengar di kejauhan. Setelah tiga puluh menit berjalan napas kami mulai memburu, keringat di kulitku mulai terasa merembes di kaus. Udara sejuk di pegunungan tak cukup menetralkan suhu kulitku yang memanas.
Tanjakan ke puncak Sanggabuana masih tergolong tanjakan dengan level sedang. Apalagi ketinggiannya yang hanya 1291 mdpl. Aku dan Rion sudah terbiasa dengan tanjakan yang lebih curam.
Setelah satu jam lebih tanpa beristirahat, kami pun bisa mengejar para mahasiswa yang tadi berjalan lebih dulu. Mereka terlihat sedang beristirahat, tanjakan berikutnya merupakan yang paling curam. Mereka mungkin sedang menyiapkan tenaga.
Rion menyapa mereka, dan ikut berhenti sejenak. Ia memberikan botol air yang dibawanya untukku.
“Kalian cuma berdua aja?” Seorang wanita berkerudung bertanya malu-malu pada Rion.
“Iya, nih. Ngomong-ngomong kalian Mapala dari Univ mana?”
“Dari Unsi. Kayaknya kalian udah biasa naek, ya?”
“Ah, enggak juga.” Rion mengambil botol minum dari tanganku dan langsung menenggak airnya dengan rakus.
“Eve, kamu mau istirahat dulu?”
“Langsung aja, yuk!”
“Yakin, gak mau istirahat?”
Aku mengangguk tegas. Aku dan Rion pun kembali melanjutkan perjalanan. Udara dingin makin keras menerpa kulit wajah kami yang berpeluh.
Di depan, yang tampak hanyalah tanjakan memanjang dengan kemiringan 60 derajat, Rion membimbingku jalan lebih dulu. Pijakan di kakiku selalu merosot. Tanahnya sangat kering dan berbatu. Kami harus menggunakan bantuan tongkat untuk berjalan.
Sayup-sayup aku mendengar suara napas seseorang yang memburu. Mungkin di atas sana ada lelaki bertopi yang membawa carrier besar di punggungnya. Suara angin makin berdesau, suara-suara napas di belakang
kami pun terdengar ramai.
Hik hik hik hik hik ….
Suara tawa perempuan di belakang terdengar nyaring.
“Apa itu anak-anak Unsi?” tanyaku penasaran.
“Eve, kamu enggak usah nengok ke belakang,” jawab Rion di sela tarikan napasnya.
“Kenapa?!”
Aku yang penasaran malah melihat jalan di belakangku, tepatnya di bawah sana aku melihat sesuatu yang sedang ikut merangkak mengikuti kami.
“Ya, ampuun, Riii!”
Rion membekap mulutku, “Ingat, Eve, peraturannya jangan bersuara keras,” bisik Rion.
Aku mengangguk, meskipun aku benar-benar tak mengerti apa yang sedang terjadi. Yang kutahu, kami harus tetap terus bergerak. Setiap naik gunung kami tentu sering melihat hal-hal ganjil. Namun kali ini, seperti ada hal yang mengerikan sedang terjadi. Bukan satu dua yang mengikuti kami di belakang, aku tak berani melihatnya lebih jelas.
Rasanya aku ingin menangis. Tubuh-tubuh kurus berbaju putih itu merangkak di belakang kami seperti laba-laba dengan kecepatan abnormal, rambut kusut panjang mereka terseret-seret. Mereka semakin dekat, mata merah dan celong itu terus menatap kami.
Rion membimbingku untuk menepi dan bersandar di antara batu besar. Dia menyembunyikan tubuhku.
Hik hik hik hik hik hik ….
Napasku seolah terhenti saat mereka berhasil menyusul kami. Pergerakan mereka yang awalnya cepat tiba-tiba melambat tepat di depan kami. Mata merah, kulit pucat, dan seringai yang begitu lebar berada tepat di hadapan kami. Tanpa sadar aku meremas baju Rion.
“Jangan tatap wajahnya, ingat peraturan nomor tiga.” Rion kembali berbisik, dan itu justru membuat makhluk itu beraksi, ia memanjangkan lehernya dan mencoba mengendus bau kami dengan hidungnya yang hanya memiliki satu lubang.
“Aaa …,” suara jeritan perempuan terdengar di bawah sana.
Serempak makhluk-makhluk itu berduyun-duyun turun kembali.
“Ri ….”
“Ssst …, ayo, jalan!”
Tubuhku tak mau bergerak. Seluruh sarafku masih dikuasai oleh takut.
“Eve …,” Rion meremas bahuku. “Ayo!”
Kami melangkah lebih cepat dengan sekuat tenaga, setengah jam kemudian kami sampai di posko lainnya.
Srak srak srak ….
“Apa itu?” bisikku.
Suara dengkusan napas berkali-kali terdengar, suaranya lebih mengerikan dari dengusan kuda yang sedang mengamuk. Tak jauh dari tempat kami, terdengar suara tangisan perempuan. Makin lama suaranya terdengar makin keras.
Tak tak tak!
Bunyi benturan batu terdengar beberapa kali. Suara tangisan itu pun berhenti.
“Ayo, Eve. Move!”
Dengan sekuat tenaga kami pun kembali menanjak, lebih dari setengah jam kami bergerak tanpa sekali pun beristirahat. Sesampainya di puncak Sanggabuana, tenagaku sudah habis terkuras. Tubuh terasa lemas, dan tiba-tiba mataku gelap. Terakhir yang kuingat adalah dekapan Rion dan suara panggilannya yang terdengar lembut.
Saat aku terbangun dalam sleeping bag perasaan takut kembali menguasai hati. Apalagi aku tak menemukan Rion di dekatku. Kejadian mengerikan semalam masih terasa begitu dekat, seolah baru sedetik yang lalu. Aku tak kuat menekan rasa takut karena tak menemukan Rion.
Pada akhirnya aku hanya bisa menangis tersedu-sedu sambil memanggil nama Rion berkali-kali. Aku baru bisa berhenti menangis setelah melihat wajah Rion.
Di bawah sana masyarakat desa sedang ramai membicarakan kejadian semalam, anak-anak Unsi yang tertinggal di belakang kami menceritakan kejadian semalam. Tak lama setelah kepergian kami, dua orang dari mereka ada yang kesurupan, lalu mereka menjerit kuat sekali. Sebagian dari mereka tak bisa melanjutkan perjalanan, sebagian yang lain tetap naik untuk meminta bantuan.
Anak-anak yang tidak ikut naik sempat melihat laki-laki bertopi itu turun dengan tergesa-gesa, tas yang awalnya terlihat penuh tampak kempis dan ringan. Tidak ada yang curiga sama sekali dengan pria itu. Sampai pagi tadi, kira-kira pukul delapan, seorang penduduk menemukan mayat perempuan tersangkut di atas pohon, awalnya mereka mengira mungkin perempuan itu terjatuh. Namun, dilihat dari kondisi tubuh mayat, sepertinya itu kasus pembunuhan.
Terlebih perut wanita kurus itu terihat gendut karena sedang hamil. Mungkin adanya kejadian keji itu membuat setan-setan keluar semua dan ingin menyaksikan kekejian yang diperbuat oleh manusia.(*)
Titik Koma, gadis kelahiran Karawang ini sangat mencintai membaca dan menonton anime.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.