Pencuri Timun
Oleh : Cokelat
Ardi, anak pemilik kebun timun, sedang menyanyi sambil menyirami tanamannya. Aku mengendap-ngendap di balik semak. Lumayan, suaranya tidak jelek, walau tak bisa dibilang merdu.
Sudah seminggu ini aku mengintai rumah keluarga Ardi. Sebuah rumah panggung dengan pekarangan yang sangat luas. Pemilik rumah yang berdiri di tepi hutan itu menanam berbagai jenis tanaman di pekarangannya, termasuk buah kesukaanku, timun.
Jika tiba musim menanam padi seperti sekarang ini, bapak dan ibu Ardi pergi ke ladang hampir setiap hari. Remaja yang kutaksir berusia sekitar tujuh belas tahun itu hanya tinggal sendiri di rumah hingga sore menjelang.
Selama seminggu mengintai Ardi, kuperhatikan dia sedang membuat sebuah perangkap. Perangkap itu adalah sebuah lubang di sudut kebun. Ditutupi dengan daun-daun kering. Aku pernah mengintip ke dalam perangkap itu saat Ardi masuk ke rumah, isinya tombak-tombak yang ujungnya mengarah ke atas. Sadis. Sangat mirip dengan beberapa perangkap di dalam hutan yang pernah aku lihat. Rupanya Ardi benar-benar benci dengan pencuri timun.
Aku masih terus mengintai Ardi dari balik semak. Menunggu saat yang tepat untuk dapat memetik satu atau dua buah timun. Buah timunnya sudah mulai matang. Pasti rasanya sangat lezat. Kenapa anak itu tak juga masuk ke dalam rumah? Apakah dia tak lelah sejak tadi membersihkan kebunnya?
Aku meluruskan kakiku. Ternyata, malah aku yang lelah menunggu Ardi yang tak kunjung lengah. Tak kusadari, semak tempatku bersembunyi bergoyang karena gerakanku. Goyangan daun-daun yang rimbun menimbulkan suara gemerisik.
“Siapa di situ?” Ardi seketika menghentikan ayunan tangannya yang sedang menyabit rumput, lalu berdiri dengan cepat. Pandangannya langsung tertuju ke arah semak tempatku bersembunyi.
Berengsek! Mudah-mudahan dia hanya berpikir suara tadi adalah suara daun yang tertiup angin. Tapi, apa iya? Tak ada angin yang bertiup sejak tadi. Udara sangat kering.
Aku menahan napas. Semoga Ardi tidak mencurigai keberadaanku. Sayang, doaku tidak terkabul. Dia berjalan pelan, langsung menuju ke semak tempatku bersembunyi. Aku benar-benar gugup. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku merasakan lututku gemetar. Tuhan …
Ardi hanya beberapa langkah di depanku. Tidak ada pilihan lain, aku harus lari. Itu lebih baik daripada mati konyol karena terkena sabitan Ardi. Aku melotot melihat sabit di tangan Ardi, berkilau tertimpa sinar matahari. Sekarang atau tidak sama sekali! Aku menghitung dalam hati. Satu … dua … tiga! Secepat kilat aku berlari keluar dari tempat persembunyianku.
“Hei! Aku akan menangkapmu! Aku akan membunuhmu! Lihat saja!” Ardi berteriak-teriak di belakangku dan mulai ikut berlari.
Astaga, dia mengejarku! Aku tak memedulikan apa pun lagi, dan terus berlari masuk ke dalam hutan. Kupikir, dia akan takut dan berhenti mengejar. Ternyata tidak. Ardi masih terus berlari di belakangku. Aku memutar otak, bagaimana supaya dia berhenti mengejarku. Ah, tentu saja! Kenapa tak terpikirkan olehku sejak tadi?
Aku mulai berlari masuk ke sisi bagian kanan hutan. Ke tempat para pemburu liar memasang beberapa perangkap. Itu dia! Tak jauh lagi. Aku berlari melompati perangkap yang ditutupi daun-daun kering. Setelah beberapa langkah, aku memperlambat kecepatanku.
Tiba-tiba terdengar suara berisik. Lalu suara teriakan yang mirip lolongan. “Arghh …. Tolong! Tolooong!” Suara Ardi yang berteriak-teriak terdengar di belakangku.
Berhasil! Rencanaku berhasil! Aku tersenyum puas. Nah, sekarang tidak ada lagi yang bisa menahanku untuk menikmati ranumnya buah timun.
Aku berbalik. Sekarang, aku akan berjalan santai kembali ke rumah Ardi. Ketika melewati perangkap tempat Ardi jatuh, suara erangannya masih terdengar. Namun, makin lama suara itu makin lemah. Maaf, Ardi. Aku tak bisa menolongmu. Siapa suruh kau akan membunuhku.
Akhirnya, aku tiba kembali di rumah Ardi. Saatnya panen timun. Aku bergegas memetik beberapa timun seperti kesetanan. Hatiku bersorak. Tak ada lagi yang menghalangiku. Namun, mengapa aku mendengar langkah-langkah kaki mendekat?
“Kenapa ibu tiba-tiba sakit perut, ya?” Itu suara ibu Ardi.
Astaga, mereka pulang. Aku buru-buru bersembunyi di balik pohon mangga. Ini tempat terdekat yang bisa aku gunakan untuk bersembunyi. Bapak dan ibu Ardi langsung masuk ke dalam rumah.
“Ardi … Ardi!” Kudengar suara teriakan dari dalam rumah. Rupanya kedua orang tua Ardi sudah menyadari ketidakhadiran anaknya. Bapak Ardi keluar dari rumah dan berlari ke arah kebun.
Syukurlah, dia tidak melihatku. Apakah aku harus tetap bersembunyi atau kembali berlari? Tapi ke mana? Aku masih sangat lelah. Otakku kupaksa bekerja. Apa rencanaku jika sampai ketahuan oleh mereka?
“Hei! Siapa yang ada di balik pohon mangga itu? Keluar! Mana anakku?”
Berengsek! Sepertinya batang pohon mangga ini tidak cukup besar untuk menyembunyikan tubuhku. Bapak Ardi menyadari keberadaanku. Tanpa berpikir dua kali, aku berlari ke arah jebakan yang dibuat Ardi. Aku harap, kedua orangtua itu tak tahu menahu dengan perangkap yang dibuat Ardi. Aku tak pernah melihat mereka memeriksanya. Semoga saja perkiraanku benar.
“Bapak … tunggu! Siapa yang Bapak kejar?” Kudengar suara Ibu Ardi menyusul suaminya.
Aku semakin kencang berlari. Tiba di pinggir perangkap, aku berhenti. Aku terlalu lelah untuk melompat. Tenagaku mulai terkuras. Aku memilih berputar, agar tak jatuh ke bawah.
Melihatku diam saja sambil berdiri, Bapak dan ibu Ardi segera bersiap menangkapku. Aku semakin was-was. Semoga rencanaku berhasil. Mereka berdua bergerak maju dengan perlahan, mungkin khawatir aku akan kabur lagi.
Sayang, keduanya menginjak rumput kering di atas perangkap. Bapak dan ibu Ardi jatuh ke bawah. Suara teriakan mereka yang sahut menyahut terdengar sangat nyaring. Untunglah, rumah mereka sangat terpencil, jauh dari para tetangga.
Setelah menunggu beberapa saat, kuberanikan diri mengintip. Mereka masih bergerak-gerak, tapi suara keduanya semakin lemah. Hanya erangan kecil dan rintihan menahan sakit. Tubuh keduanya tertancap belasan ujung tombak. Bahkan bapak Ardi, ujung tombaknya menembus bola mata kanannya. Sementara Ibu Ardi, salah satu ujung tombak itu menembus mulutnya. Aku bergidik.
Sekarang, saatnya melanjutkan panen timun. Keadaan semakin aman. Karena tidak ada lagi penghalang. Aku memetik beberapa buah timun sambil menyanyikan lagu kesukaan Ardi.
Si Kancil anak nakal
Suka mencuri timun
Ayo lekas ditangkap
Jangan diberi ampun
Sekarang lihat, siapa yang tak diberi ampun. Aku tersenyum.
Aku mulai menikmati timun-timun kesukaanku. Perutku sangat kenyang. Setelah kelelahan, kini aku kekenyangan.
Aku kemudian pulang, tak lupa membawakan Ibu satu buah timun yang ranum. Aku menggigitnya sepanjang jalan pulang. Ah, aku sangat lelah.
Sampai di rumah, Ibu menyambutku dengan tatapan khawatir. ”Astaga, apa yang terjadi, Nak? Dari mana kau dapat timun ini? Kau mencuri lagi?”
Aku hanya tersenyum.
“Dengar, Nak! Jangan ulangi lagi! Berapa kali Ibu ingatkan, manusia tidak suka kancil.” (*)
Cokelat, menerima kiriman berbagai jenis cokelat, baik padat maupun cair.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata