Penantian Tak Berujung
Oleh : Aisyahir25
Ini tentang penantianku, penantian yang sudah lama aku rasakan namun tak memiliki akhiran. Sudah lama aku menanti dirinya, menanti kedatangannya di setiap waktu. Namun semuanya sia-sia, penantianku ini tidaklah berujung.
Malam itu aku bersama dirinya yang kusebut sebagai kekasihku, menikmati indahnya malam di bawah sinaran rembulan. Dengan penuh kasih sayang ia memelukku dengan erat, seakan-akan itu adalah pelukan terakhirnya untukku.
Ia memang hanya pergi selama tiga hari. Namun rasanya ia akan pergi begitu lama, hingga diri ini tak mampu untuk melepasnya. Entahlah, apakah ini hanya firasatku saja atau memang nyata. Rasanya aku tak ingin melepas kepergiannya.
“Aku akan segera pergi, jaga dirimu di sini. Kamu tak perlu khawatir, aku akan segera kembali. Dan aku berjanji setelah kembali nanti, aku akan menikahimu. Itu janjiku padamu, jadi jangan menangisi kepergianku. Berbahagialah,” jelasnya seraya menatapku dengan tatapan teduhnya. Aku kembali memeluknya, tak sanggup rasanya melepas pelukan ini.
“Sudahlah, Put, aku bukannya pergi dalam jangka waktu yang lama. Aku hanya pergi selama tiga hari, jadi sudahlah. Tidak usah terlalu berlebihan,” hiburnya lagi. Aku mulai melerai pelukannya, kemudian menatap matanya yang meneduhkan itu.
“Entah, aku merasa kamu akan pergi begitu jauh, hingga aku harus menunggumu begitu lama. Apakah mungkin itu akan terjadi?” tanyaku penuh dengan linangan air mata. Tangannuya yang kekar mulai menghapus jejak air mataku, ia sangat tidak ingin melihatku menangis. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak bisa menahannya.
“Itu semua tidak akan terjadi, percayalah, Put. Aku akan segera kembali,” jawabnya seraya tersenyum.
“Janji?” tanyaku manja.
“Janji,” balasnya, lalu kembali memelukku.
Malam inilah perpisahan kami, ia pergi dengan begitu banyak harapan yang dititipkan padaku. Berharap ia bisa kembali dengan segera adalah keinginan terbesarku, aku tak ingin sesuatu terjadi padanya.
Setiap malam aku selalu menunggu kedatangannya, tapi tak ada sedikit pun tanda bahwa ia akan kembali. Ini sudah malam keempat, tapi ia belum datang juga, hingga rasa cemas itu mulai menghampiri. Berbagai pertanyaan telah menyelimuti pikiran, bahkan sekarang aku sudah tak bisa berpikir dengan jernih lagi. Ke mana ia? Kenapa ia belum kembali? Apakah masih ada urusan yang belum selesai? Apakah ia akan kembali? Begitu banyak pertanyaan yang hinggap di pikiranku, hingga hati ini juga tak bisa ikut tenang.
Aku mulai mencari tahu tentangnya, menggali segala informasi yang ada. Tapi hasilnya nihil, tak ada apa pun selain rasa kecewa yang ia tanamkan di dalam hatiku.
Ia pergi dengan segenap harapan akan kembali, namun nyatanya semua itu hanyalah kebohongan belaka.
“Dia sudah tiada, Put, kereta yang ia tumpangi saat kembali dari kota itu mengalami kecelakaan. Tak ada satu pun penumpang yang selamat, jadi tak usah menunggunya. Dia sudah tiada, dia tak akan kembali.” Segala berita dan pengakuan dari orang-orang terdekatku tak ada yang membuatku percaya. Mana mungkin kekasihku tiada secepat itu? Dia sudah berjanji akan kembali. Dan itu berarti dia akan datang menemuiku. Apa pun alasannya, aku tak akan memercayai berita-berita itu.
“Nak Gino telah tiada. Terimalah kenyataan ini, Nak. Sampai kapan pun kamu menunggunya ia tak akan pernah datang? Ia sudah tiada satu pekan yang lalu, tapi sampai saat ini kamu masih menunggunya. Apa kau tidak lelah?” tanya ibuku dengan penuh kelembutan. Satu minggu? Selama itukah aku menunggunya? Kenapa ini semua tak terasa olehku?
“Mas Gino belum meninggal, Ibu, dia masih hidup dan akan segera kembali. Dan itu pasti, ia sudah berjanji padaku. Dan ia tidak suka ingkar janji, maka dari itu aku akan terus menunggunya.” Sama seperti biasanya aku akan menyanggah segala ucapan orang-orang tentang Mas Gino, termasuk ucapan ibuku sendiri.
“Tapi dia kan sudah meninggal, Nak,” lanjut ibuku.
“Jika memang ia sudah meninggal, lantas kenapa aku tak pernah melihat jasadnya, Bu? Bahkan tak ada satu pun yang pernah melihatnya. Kadang yang terdengar itu tak sesuai dengan kenyataan, Bu. Dan aku akan tetap menunggu Mas Gino, dia akan kembali!” kekehku. Aku pun pergi begitu saja, meninggalkan rumah yang sudah sangat memuakkan bagiku.
“Lihatlah gadis itu, bukankah ia sudah melebihi batas. Sudah tahu kekasihnya meninggal, masih saja ditunggu,” terdengar bisikan-bisikan dari para tetanggaku. Tapi aku tak menggubrisnya, ini bukanlah kali pertama aku mendengarnya, tapi sudah sering kali. Sebab yang jadi topik utama gosip mereka saat ini adalah aku, ya aku dan kekasihku, Mas Gino.
Aku terus berjalan, menyusuri jalanan yang sepi. Aku tak memiliki arah untuk kutuju, hingga tanpa sadar aku berjalan menuju stasiun kereta. Entah apa yang menggerakkanku, tiba-tiba saja kakiku melangkah ke sana.
Suasana stasiun begitu sepi, hanya ada dua orang yang tampaknya sedang menunggu kereta yang biasa mereka tumpangi. Aku sendiri lebih memilih duduk memojok di kursi tunggu, berharap Mas Gino bisa datang menggunakan kereta terakhir hari ini.
Lama aku menunggu, namun tak ada sedikit pun tanda akan kedatangannya. Hingga rasa jenuh mulai menghampiriku, dan rasa kecewa itu semakin tercipta.
“Mbak ngapain di sini, ini sudah larut tapi, kok, belum pulang juga? Ada yang ditunggu ya, Mbak?” tanya seseorang padaku. Sesaat aku menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati seorang pria yang tampak seumuran denganku.
“Iya, saya sedang menunggu seseorang,” jawabku sekenanya.
“Tapi, bukankah kereta terakhir sudah datang, Mbak? Dan itu berarti tak ada kereta lagi. Sebaiknya Mbak pulang saja, mungkin yang Mbak tunggu itu belum datang malam ini.”
Aku berpikir sejenak, yang dikatakannya memang benar. “Baiklah,” balasku lalu pergi dari stasiun itu.
Mulai hari itu aku selalu datang menunggu kereta terakhir, aku tak peduli segala pendapat orang-orang tentangku. Biarlah mereka berkata sesukanya, aku akan tetap melakukan kegiatan ini.
Namun semakin hari, harapanku tentang kedatangannya semakin berkurang. Dia sudah terlalu jahat padaku, kenapa ia tak kembali juga sampai sekarang? Bukankah ia sudah berjanji akan kembali? Lantas apa semua ini, haruskah aku selalu menanti kedatangannya? Akankah penatianku tak memiliki akhiran? Akahkah penantian ini tak berujung? Aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri, mungkin aku sudah terlalu bodoh saat ini. Karena terlalu mencintainya, aku sudah seperti orang gila. Mungkin mengakhiri penantian ini adalah cara terbaik untuk mengembalikan kewarasan jiwaku.
“Harusnya Mbak percaya sama omongan mereka, saya juga sudah mendengar kabar tentang kecelakaan itu. Dan memang tak ada korban yang selamat, jadi saya sarankan agar Mbak berhenti menanti kedatangannya,” jelas Dani lembut. Dia adalah pria yang sama yang beberapa hari lalu menemuiku, dan setiap aku menunggu di stasiun ini pastinya dia akan selalu menemaniku. Sejenak aku berpikir, lagi-lagi perkataannya itu benar. Tapi entah kenapa masih ada keinginan untuk menanti kedatangannya, yang belum pasti itu.
“Maaf, tapi aku tidak bisa. Biarlah penantian ini tetap ada, dan akan terus ada. Aku akan tetap menantinya, sampai ia benar-benar datang ke hadapanku.” Aku tetap kekeh terhadap pendirianku, dan akan tetap seperti itu. Biarlah penantian ini tak memiliki ujung, hingga penantianku tak pernah berujung.
Di mana pun Mas Gino berada, aku yakin bahwa saat ini dia juga menantikan pertemuan itu. Karena dia telah berjanji akan kembali, dan aku pun telah berjanji akan menanti kedatangannya. Menunggu kereta terakhir akan menjadi kebiasaanku, dan menerima cacian serta hinaan dari orang-orang akan menjadi santapanku setiap hari. (*)
Aisyahir25, lahir pada 25 September 2001. Sangat suka membaca dan menulis, dan berharap bisa menjadi seorang penulis. Tak perlu menjadi yang terbaik, asalkan tidak menjadi yang terburuk itu sudah lebih dari cukup. Akun FB: Irisma Cimma, IG: Aisyahir_25, dan WA: 085340292689.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata