Penantian
Oleh: Aisyah Rizkyana Ramadhani
Tak pernah ada penyesalan dalam diri pria di sudut jalan itu. Langkahnya masih selalu terhenti di stasiun yang telah lama yang tak berpenghuni. Wajahnya masih menggambarkan sesosok pria setia yang menanti kedatangan kekasih hati. Namun, usianya tak muda lagi untuk hal cinta. Tiba-tiba, air matanya menetes. Ia berusaha untuk tetap berdiri kokoh. Namun, entah mengapa tubuhnya kembali goyah bagai tertiup angin.
Brak!!!
Benar saja, pria itu akhirnya terjatuh. Tubuhnya goyah ketika kenangan di stasiun kereta itu kembali menampar ingatannya. Ia terdiam. Dan tetap terdiam.
“Abang, yakin mau menunggu Ratri hingga pulang?” kata gadis manis di hadapannya. Rambutnya terurai menambah kecantikannya.
“Iya, Neng. Abang janji ke kamu,” ujar pria tegap itu sambil menyodorkan koper berwarna hitam. Diserahkannya dengan penuh sayang.
Kedua sejoli itu saling menatap dengan begitu mesranya. Mereka tak menyadari, begitu banyak pasang mata yang menonton kisah drama sepasang kekasih itu.
Tuuut … tuuut … tuuut ….
Kereta mulai mengeluarkan bunyinya, tanda perpisahan mereka segera tiba.
“Abang, sering hubungi Ratri ya? Jangan lupa salatnya, kalau Ratri sudah selesai tugasnya, pasti Ratri akan pulang dan nemuin Bang Damar,” ujarnya sambil mengembangkan senyum indahnya.
Pria bernama Damar itu mengangguk. Ia melambaikan tangannya ketika kereta itu mulai berangkat. Air matanya jatuh. Ia mengucap janji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan selalu menjaga kesetiaan kepada gadis pujaannya, Ratri.
Hari terus berganti. Namun, cinta pria itu masih terpaku kepada Ratri. Tak ada yang menggantikan senyum manis dan tawa seindah matahari pagi milik Ratri. Bahkan, bunga pun akan iri melihat kelopak matanya yang begitu indah menarik hati. Hingga, satu hari telepon berdering. Dada pria itu berdegup kencang merasakan tanda kebahagiaan.
“Bang, Ratri minggu depan pulang. Jemput Ratri ya, Bang!” ucap seorang gadis yang suaranya sangat ia kenal.
Benar, gadis pujaannya akhirnya menelepon. Betapa gembiranya hati Damar mendengar kekasihnya kembali setelah 3 bulan pergi meninggalkannya sendiri. Ia begitu semangat. Hatinya kembali bahagia bagai bunga bermekaran di taman syahdu. Senyumnya mengembang, setelah kesedihan yang larut menyelimutinya selama ini.
Seminggu kemudian, hari yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang. Kemeja biru ia kenakan, dengan celana panjang hitam dan sebuah cincin emas yang ia simpan di sakunya dengan hati-hati.
Ia menunggu sudah 2 jam lamanya. Gadis yang ia tunggu tak datang sama sekali. Ia bahkan telah meneleponnya. Namun, hanya suara operator yang terus mendengung di telingannya. Tapi, ia tetap sabar.
Ia masih menunggu kereta pujaannya, hingga hari di mana stasiun itu ditutup oleh pemerintah karena sudah dibuat jalur baru, sehingga stasiun itu tidak lagi beroperasi. Ia bagai orang gila yang kehilangan pikiran. Ia tak ingin gadis pujaannya tersesat dan tak dapat kembali untuk menemuinya.
5 tahun telah berlalu. Pria tegap itu berubah menjadi pria lemah yang tak berdaya. Usianya tak terlalu tua, namun tubuhnya tak bertenaga lagi layaknya darah muda yang biasanya. Matanya sendu untuk menatap rel-rel yang sudah berkarat. Kakinya masih melangkah lemah berjalan menyusuri kesunyi-senyapan stasiun tak berpenghuni itu. Perutnya berbunyi laksana gendang perang. Tubuhnya sungguh … kurus kering.
“Nak, ayo pulang,” ujar wanita paruh baya yang berdiri tepat di depannya. Tangannya berusaha membangunkan pria yang terjatuh tadi.
“Tidak, Mak. Ratri menungguku, Mak,” kata pria itu yang tak lain bernama Damar.
“Ratri sudah tiada, Nak. Ratri sudah meninggalkanmu,” ujar wanita tua yang ia panggil dengan sebutan “Mak”. Matanya selalu sembap melihat rasa cinta pada diri anaknya.
Tak ada yang mengetahui, bahwa kereta yang selalu pria itu tunggu, pernah terhenti sejenak. Kereta yang membawa gadis pujaan Damar. Ratri, dengan balutan gaun pengantin yang mewah nan indah. Di sampingnya berdiri seorang pria berwajah tak kalah tampan dengan pria masa lalunya. Ratri dan pria tampan di sampingnya telah mengikat janji pernikahan. Ratri tak pernah menyadari keberadaan Damar yang masih menantinya. Stasiun dan kereta itu menjadi akhir kisah sepasang kekasih. Di mana rasa cinta terkadang akan sirna dengan adanya jarak yang memisahkan. (*)
Aisyah Rizkyana Ramadhani, seorang perempuan yang berasal dari Kabupateng Lumajang, yang kini merantau ke Kota Malang untuk pendidikan.
FB : Aisyah Rizky Ramadhani
IG : @aisyahrramadhani
WA : 081334289443
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata