Penadah Air Mata
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
Saya suka dia, sebagaimana saya suka menadah air mata yang turun tiap melihatnya tertawa. Ini sangat ganjil, tentu. Seingat saya, sejak menikah dengan pria bermata dingin, saya telah beralih profesi menjadi penadah air mata duka. Duka yang turun begitu saja, seperti es yang mencair ditimpa sinar matahari, tiap pria itu membentak dan bercumbu dengan wanita lain di belakang saya. Saya sendiri tidak kuasa menghentikannya, jadi saya biarkan air mata itu mengalir. Lantas, agar tidak mencipta bekas basah di tanah, kedua tangan saya pun menadahnya sampai penuh. Biar tidak membekas, biar orang-orang mengira kami bahagia.
Ini memang sulit. Pernikahan kami memang tidak direncanakan. Begitu saja terjadi, seperti cuaca yang berubah tiba-tiba—dan pria itu pun berubah sedemikian cepat: menjadi tidak peduli, lalu berkeliaran mencari wanita lain yang sudi menadah cintanya. Mungkin, karena pria itu bosan atau lantaran saya sudah tidak lagi cantik setelah melahirkan, saya tidak tahu.
Saya tidak bisa memprotes. Diam saja. Saya ingat bahwa ia punya cita-cita menikah setelah lulus S2, dan impian itu terpaksa dikubur lantaran ia diharuskan bekerja menafkahi keluarga. Tidak berkomentar banyak, memang, tetapi saya tahu ada sisi hatinya yang terluka. Jadi saya diam saja dan mulai menadah air mata, air kran, air hujan … pokoknya semua yang bisa ditampung agar kesedihan ini lebur. Tidak terdeteksi.
Namun, dia datang begitu saja. Natural. Jenaka. Menyenangkan.
“Nona, sebaiknya berteduh saja! Jangan nekat! Kalau dampaknya hanya flu atau demam, sih, tidak masalah. Tapi, beda cerita lagi kalau tersambar petir! Aduh, banyak yang repot jadinya!”
Saya mengernyitkan dahi.
Itu adalah hujan pertama di bulan September. Saya sedang berbelanja beberapa kebutuhan dapur ketika hujan turun tanpa diminta. Ini tentu hal gawat. Ada seorang anak batita yang sedang tidur di rumah. Kalau saya tidak lekas kembali, bisa kacau urusannya.
Saya tidak mendengarkan dan terus saja menerjang hujan. Tiba-tiba, ada suara langkah lain yang datang mengimbangi, lantas menaungi saya dengan payung berukuran cukup lebar.
Saya mendongak. Dia memanyunkan bibir. “‘Kan, sudah saya bilang untuk tidak nekat! Sudah, kalau begitu saya antar saja. Daripada tersambar petir di tengah jalan!”
Ia abnormal. Saya tahu itu. Akan tetapi, saya diam saja dan membiarkannya berceloteh sepanjang jalan, membiarkan hal-hal yang sama absurdnya dengan mati tersambar petir.
Tiba di rumah, hujan telah mereda. Dia mengatakan segala hal tentang cuaca yang cepat berubah bahkan dalam lingkup wilayah sempit. Saya mendengarkan sembari memperhatikan rambut jabriknya yang basah oleh air hujan. Kemudian, setelah puas berkomentar, ia pun beranjak pulang.
“Payungnya?”
“Ah, bawa saja. Saya masih punya stoknya di rumah … dan juga, saya bukan orang nekat. Lebih baik payung itu disimpan dan dipakai orang-orang nekat seperti Nona.”
Itu adalah pertemuan pertama kami yang sangat aneh. Selanjutnya, entah bagaimana, kami mulai sering bertemu: di minimarket serta jalanan dekat rumah. Dia mengaku sebagai salah seorang mahasiswa yang tinggal di indekos dekat lingkungan saya. Dia hangat, berisik, dan suka berkelakar tidak jelas. Akan tapi, entah mengapa, saya merasa nyaman berada di dekatnya.
Nyaman, sekaligus … takut.
“Saya sudah tua.”
“Ah, bohong.”
“Usia saya 23 tahun.”
“Ah, saya malah berumur 20 tahun.”
“Saya sudah menikah dan memiliki anak.”
Dia diam.
“Saya bukan tipe pria serakah atau berotak liar setengah ular seperti itu, kok.” Dia tersenyum lebar. “Asal kamu tertawa, bagi saya sudah cukup, kok … karena kata orang-orang, nih, senyum dan tawa saya bisa menular dengan cepat.”
Tanpa sadar, saya ikut tersenyum.
Dia benar. Aura positifnya menular begitu saja.
Saya seketika menyukai segala hal tentang dia.]
Saya suka alis tebalnya yang berkerut bila mendengar pembicaraan seputar pekerjaan ibu rumah tangga. suka gigi kelincinya yang mencuat tiap ia tertawa. Saya suka sentuhan lembutnya tiap saya mulai menitikkan air mata duka. Saya suka menadah air mata bahagia yang turun tiap ia membanyol—turunnya deras sekali, seperti hujan di bulan Oktober, hingga saya mesti menyediakan wadah besar agar pertemuan kami tidak diketahui pria bermata dingin itu.
Saya suka segala hal tentang dia. Apa pun. Ini hal yang salah, tetapi saya tidak kuasa menghentikannya. Ada sebuah ruang kosong yang muncul tiap pria itu lebih memilih menghabiskan waktu di luar rumah dan kehadirannya tentu memberikan warna tersendiri. Dia punya kehangatan, keramahan yang terasa amat dekat, hingga saya mampu menamatkan pandang amat lama hanya untuk membiarkannya berbicara—bahkan dia barangkali bisa jadi sosok yang menyenangkan bagi anak saya.
“Kamu sangat lucu. Kamu sangat jujur. Kamu sangat menyenangkan … seperti suami saya. Dulu.”
Pada detik ini, saya tercekat. Saya menarik tangan, menutup mulut, lalu terisak.
Tiba-tiba saja hati saya sesak oleh rindu. Saya ingat, ketika remaja, pria itu tidak berhenti memperhatikan saya: merangkul, menggoda hidung pesek saya, lalu tertawa tiap kali saya merespons dengan dengusan sebal. Tawanya sangat renyah hingga saya balik mengacak-acak rambut cokelat tuanya. Ia meraih tangan saya, lalu memandang dengan lembut. Lagi-lagi, dia tersenyum sambil berkata, “Tidak masalah apakah kamu pesek, mancung; pendek atau tinggi. Saya akan mencintai kamu. Kamu bisa percaya hal itu.”
Itu adalah masa-masa paling menyenangkan sebelum semua itu terjadi dan cuaca berubah sedemikian cepat. Saya paham betul bahwa masa remaja adalah euforia semu, tetapi tidak bisa menampik bahwa sekalipun waktu berubah sedemikian cepat dan membuat kami berjalan amat jauh, dalam hati …. saya masih menyimpan perasaan itu.
Dia menggenggam tangan saya. “Apakah kamu mencintainya?”
Saya menelan ludah.
“Saya … saya sangat mencintainya.”
Hari itu, saya kembali menitikkan air mata duka. Deras sekali, sampai berhasil menenggelamkan setengah badan kami. Dia tidak banyak bicara dan hanya memeluk saya hangat. Seperti seorang teman, kakak laki-laki, ayah … seseorang yang berharga.
“Kalau memang cinta, bilang saja. Dan, kalau memang sakit, lepaskan saja. Seperti air mata itu. Kamu, ‘kan, orang yang nekat.”
*
Pria itu kembali datang dengan wanita lain. Tidak salam, apalagi menanyakan kabar anak kami. Ia langsung saja masuk tanpa permisi. Saya berusaha tenang, melakukan hal-hal yang dapat mengalihkan pikiran. Namun, ketika dua orang itu mulai bersenda gurau dengan asyiknya, saya tidak bisa lagi menahan diri.
Saya membuka pintu ruang tamu dengan keras. Dua orang itu langsung berdiri. Pria bermata dingin itu langsung memandang saya. Beku.
Saya menghela napas, mengingat berapa banyak air mata duka yang saya tadah; seberapa sering saya mengingat masa lalu, ketika kata-kata manis serupa candu; seberapa jauh saya berusaha lari dari sosoknya dan justru kembali terseok masa lalu.
Pemuda dengan senyum lebar itu benar. Saya harus memutuskan. Saya harus menjadi orang nekat.
Saya mendekat.
“Saya mencintai kamu … sampai kapan pun.” Saya menarik napas. Mengingat pernikahan kami yang jauh dari kata sakral serta bahagia—paling hanya penghiburan atas apa yang telah terjadi. Saya harusnya tahu sejak hari itu. Saya harusnya memutuskan untuk berhenti menjadi penadah air mata. Akan tetapi, saya dikurung ketakutan amat lama hingga sadar bahwa menanam luka tidak akan menyemai tawa. “Tapi, kalau memang kamu sudah berubah dan memang saya sudah membosankan. Tidak masalah kalau akhirnya kita berpisah.”
Saya tersenyum miris.
“Toh, ini semua hanya ketidaksengajaan. Kita masih muda saat itu dan sekarang kita telah dewasa. Untuk memilih.”
Saya memandang mata bekunya lamat-lamat. Iris arang yang hanya tertuju pada saya, yang mesti saya lepaskan pada akhirnya.
Saya mengecup bibirnya sekilas, lalu pergi tidur. Ada suara tangis anak itu, tetapi saya menulikan diri. Saya mesti menyusun rencana masa depan—mencari pekerjaan, membesarkan anak itu sambil sesekali mengajak pemuda dengan senyum hangat tersebut untuk bertandang. Ini bukan masalah besar. Saya bisa melewatinya.
Akan tetapi, ketika bantal saya sudah basah oleh air mata, sepasang tangan besar merengkuh saya. Hangat. Familier.
“Maafkan saya … maafkan saya.” Ia berbisik. Bergetar. “Saya masih mencintai kamu. Kamu percaya, ‘kan?”
Saya menangis mengetahui seseorang telah kembali … dengan caranya sendiri.
*
Cuaca masih kerap berubah dengan cepat, sedangkan saya konstan menjadi penadah air mata. Bedanya, pria itu ada di samping saya, membanyol sembari menggendong anak kami, membuat saya menitikkan air mata bahagia berkali-kali.
Pemuda dengan senyum lebar itu tidak lagi datang, meninggalkan payung biru yang dahulu dia tinggalkan. Barangkali, dia pergi karena tahu tidak bisa lagi membikin saya tertawa, atau lantaran menemukan wanita lain yang lebih nekat dari saya. Saya tidak tahu. Saya cuma berharap agar dia tidak berhenti menularkan tawa di mana pun dia berada.
Pria itu membuka album foto berwarna hitam, menunjukkan pada anak kami, lantas menceritakan latar belakang foto tersebut dengan rinci. Tawanya amat hangat dan familier, tetapi saya tersentak oleh fakta yang baru saja saya jumpai.
Foto itu.
“Hei, ada apa?”
“Tidak, tidak … saya cuma berpikir kamu yang dulu sangat mirip dengan seseorang ….”
Seseorang yang membuat saya menitikkan air mata bahagia, yang membawa saya kembali pada kamu. Pemuda dengan senyum menyenangkan itu…. (*)
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata