Pena Hijau

Pena Hijau

Penulis: Sabila El-ghazzah

Buk! Tumpukan buku yang sejak tadi kubawa kujatuhkan di atas kasur. Aku meraih kotak pensil, mencari pena berwarna hijau yang biasa kupakai untuk menulis. Aneh, pena itu tidak ada.

Aku yakin sekali sudah meletakkan pena hijau itu di kotak pensil, kenapa tidak ada ya? Rasanya aku masih terlalu muda untuk menjadi pelupa. Ah, menyebalkan, benar kata teman-temanku, karakter darah o sudah mulai bekerja kepadaku.

Sebelumnya, sekitar tiga puluh menit kuhabiskan untuk mencari beberapa novel yang bahasanya agak “nyastra”. Aku memang berhasil mendapatkan enam novel, itu pun harus memohon-mohon kepada kakak kelas dan dalam kondisi frustrasi karena takut ide di dalam kepalaku terlanjur hilang.

Sekarang aku harus menghabiskan puluhan menit untuk mencari sebuah pena. Ah, pena hijau itu harus segera ditemukan sebelum ide itu benar-benar lenyap.

Aku membungkuk meraba-raba lantai kolong ranjang. Sebuah benda berbentuk seperti pensil menyentuh jemariku. Sepertinya ini, pikirku. Aku tersenyum bahagia karena merasa telah menemukan pena hijau itu. Saat kulihat, ternyata itu sebuah spidol  milik seorang teman yang kemarin terlempar ke sana. Aku belum mau berhenti mencari pena itu, ide-ide ini harus segera kutuliskan. Aku tak mau mereka mati konyol hanya karena pena hijau itu.

Tanganku kembali meraba lantai kolong ranjang, sebuah benda menghalangi tanganku. Ternyata ada beberapa kotak besar di sana. Aku mengeluarkan seluruh barang yang ada di sana yang ternyata cukup banyak.  Ada kardus mie instan yang penuh oleh buku-buku pelajaranku, kardus kopi yang berisi novel-novel dan beberapa kamus bahasa arab-indonesia-inggris, kardus tissue yang disesaki perlengkapan pribadiku dan tas hitam yang entah milik siapa.

Aku menepuk-nepuk tas hitam yang warnanya kian memudar itu. Uhuk uhuk.

“Banyak sekali debu di kolong kasur ini,” gumamku sambil terus menepuk-nepuk tas hitam itu. Kudorong tiga kardus tadi ke arah pintu dan meletakkan tas hitam di atas salah satunya.

Karena pencarianku nihil lagi, aku mulai lelah dan naik ke ranjang. Saat mulai rebahan aku merasa ada sesuatu yang mengganjal punggungku, ternyata ada sebuah novel yang tertindih. Dengan malas aku mengambilnya dan meletakkannya di atas meja di sebelah ranjang. Setelah mendorong tiga kardus besar yang terisi penuh itu, aku merasa susunan tulang punggungku seperti mau runtuh.

Aku memejamkan mata dan membayangkan diriku menjadi seorang penulis hebat yang sedang menghadiri peluncuran bukunya yang kesepuluh.

Pluk.

Tiba-tiba segumpal remasan kertas mendarat di wajahku. Aku menoleh untuk mencari siapa pelemparnya. Ada belasan orang yang ada di kamar ini (aku tinggal di asrama), lantas siapa yang melempar ini? Karena malas menduga-duga, aku pun kembali melanjutkan lamunanku yang sempat terganggu.

Membayangkan penulis, membayangkan buku, aku teringat pada ide-ide yang perlu kutuliskan. Astaga! Kok aku bisa sampai lupa. Tidak ada waktu untuk bersantai, aku harus segera menemukan pena hijauku!

Aku beranjak mencari pena hijau itu di bawah bantal. Tidak ada. Aku melongo lagi ke bawah ranjang, barangkali aku kurang teliti saat mencarinya tadi. Dan ternyata … tidak ada juga.

Aku tak mau menyerah. Aku harus menemukan pena hijauku.

Sebenarnya pena hijau itu tidak ada istimewanya, hanya pena biasa dan nampaknya juga tidak mahal–aku bahkan tidak tahu berapa harga pena hijau itu. Aku mendapatkannya dari seorang teman. Namun, yang membuatnya begitu berarti sampai-sampai aku harus menemukannya adalah karena cuma pena itu satu-satunya yang kupunya. Jadi, seandainya pena hijau itu benar-benar hilang, tamatlah riwayat kepenulisanku. Ya, separah itu!

Mungkin ada seseorang yang telah meminjamnya? Aku duduk memojok, memeluk lutut erat-erat yang terbalut rok jeans. Memejamkan mata dan berusaha mengingat kembali tentang pena itu. Kapan terakhir kali aku melihatnya?

Pagi-pagi aku mengerjakan PR bahasa inggis, lalu seorang teman mengabarkan bahwa ia baru saja mendapat email dari salah satu komunitas penulis bahwa deadline pengumpulan cerpen yang nantinya akan diterbitkan dimajukan menjadi malam nanti.

Aku tidak langsung merespon kabar dari temanku itu. Sejenak kemudian aku segera membereskan buku bahasa inggrisku lalu memasukkan pena hijau itu ke kotak pensil dengan terburu-buru. Minimal lima halaman yang harus ditulis dan aku belum menulis satu huruf pun! Aku pun terbirit-birit menuju perpustakaan untuk mencari referensi.

Aku membuka mataku pelan-pelan, hampir putus asa. Aku benar-benar meletakkannya di kotak pensil kok, tapi kenapa tidak ada?! Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

Mereka yang bukunya berhasil diterbitkan adalah mereka yang teguh bertahan hingga akhir.

Aku lupa siapa penulisnya. Yang jelas, aku mengutipnya ini dari sebuah buku yang kupinjam dari guruku.

Ya, mengesalkan sekali kalau harus menyerah hanya karena kehilangan pena. Aku membetulkan posisi dudukku, lebih baik aku meminjam pena dari Gandis—gadis gendut yang kotak pensilnya penuh dengan alat tulis berwarna pink—daripada menyesali pena hijau itu. Baru saja beranjak dari kasur, tiba-tiba sesuatu menghantam kepalaku. Lemparannya cukup kencang dan tepat di ubun-ubun. Sambil mengelus kepalaku yang sakit, aku mencari benda itu.

“Eh, sori Sal, pulpennya kena kepala ya? Aduh, sori banget, soalnya aku baru masuk tim kasti nih, jadi harus sering-sering latihan.” Seorang gadis bertubuh besar menghampiriku sembari nyengir lebar. Gandis?

“Iya, parah banget. Sakit tahu,” ucapku sambil masih mengusap-usap kepala.

Gandis terkekeh.

Eh, tunggu, tadi Gandis bilang apa? Pulpen? Jangan-jangan….

“Dis, mana pulpen yang tadi kamu lempar?”

“Tuh!” Gandis menunjuk ke arah kolong ranjang.

Aku mengikuti arah telunjuk Gandis. Setelah meraihnya, aku memperhatikan sejenak bentuk pena itu.

“Loh, Dis, ini kan pulpenku?”

Gandis menoleh, “Iya memang punya kamu. Tadi kan aku lempar sambil teriak, ‘Sal, ini pulpen kamu, makasih, ya’,” jawab Gandis enteng.

Benarkah? Aku tak mendengarnya.

“Kau meminjamnya dariku, Dis?”

“Iya. Pagi tadi saat kamu berlari entah mau ke mana, aku berteriak ingin meminjam pulpenmu tapi kamu tidak menyahut. Tapi karena aku sedang butuh, jadi aku mengambilnya sendiri di kotak pensilmu. Hehe,” Gandis nyengir  kuda.

Aku menepuk jidat.

Tak lama kemudian aku mengambil buku tulis, mempersiapkan pena hijauku dan pergi menuju meja tulis di sudut ruangan. Tanpa terasa aku langsung tenggelam dalam pikiranku sendir. Menyusun ide-ide yang berkeliaran dan mengubahnya menjadi kalimat demi kalimat. Aku menoleh sebentar dan melihat Gandis, si pencuri.

Ia terlelap di kasurku.(*)

Sabila El-ghazzahBaru saja menyelesaikan kisah putih abu-abu di kota Bandung. Berambisi menjadi shaliha, wanita pecinta senja dan aksara. ig : sabila_elgaza, email: sabilaelgaza@gmail.com

Penulis dan Kontributor

Cara mengirim tulisan ke Loker Kita