Pemuda yang Membenci Senja
Oleh: Aisyahir
Tak sedikit manusia bumi yang tak menyukai senja. Siapa yang tak suka dengan semburat jingga yang memandikan laut? Atau sinar jingga yang seolah tenggelam di antara pegunungan? Sama seperti pada gambar khas anak dulu-dulu yang selalu menggambar dua gunung di mana ada matahari yang siap tenggelam di antaranya. Yang ditambahi dengan keberadaan burung yang saling mengepakkan sayap di bawah naungan semburat senja Pasti semua itu teramat mengagumkan, bukan? Apalagi saat menatapnya langsung. Menatap seolah laut sedang menelan habis semburat jingga yang berasal dari bentuk bulat bernama matahari itu. Selain mengagumkan, pastilah juga menentramkan jiwa, hati, dan pikiran. Seolah segala masalah ikut tenggelam seiring dengan tenggelamnya mentari dari pandangan. Namun, tak semua orang juga memiliki ketertarikan pada senja. Malah sebaliknya, ada yang membenci senja. Sama seperti pemuda dalam kisah ini, yang seolah menyalahkan senja pada setiap masalah serta keburukan yang telah menimpanya. Pemuda berewokan berkumis tipis itu bahkan tak ingin menatap senja, tepatnya bersembunyi dari kehadiran senja.
Dulu, kala itu dia tak seperti ini. Dia juga sama seperti yang lain: menyukai senja. Saking sukanya, dia tak pernah absen hanya untuk menyaksikan matahari tenggelam. Namun, ketika permasalahan demi permasalahan mulai mendatanginya, dia mulai membenci senja. Kenapa? Karena apa pun yang menimpanya, hanya akan terjadi di waktu senja. Termasuk kematian Ibu, Ayah, serta putusnya dia dengan sang pujaan hati. Sejak saat itu, dia menyalahkan senja. Menurutnya senja adalah waktu sial, kenapa harus diwaktu senja? Padahal itu adalah waktu kesukaannya? Sekarang, bergantilah sudah kegemaran itu menjadi sebuah kebencian. Senja telah merengut segala sesuatu yang paling dia sayangi.
Di suatu sore. Tampak seorang pemuda berwajah sendu tengah berjalan lesu menyusuri jalan setapak pulang ke rumah. Orang-orang yang lalu-lalang hanya menatap acuh kepadanya, seolah tak ada yang perduli. Dulu, pemuda ini dikenal dan hormati banyak orang. Keramahan serta kepintarannya bersosialisasi membuat siapa saja betah berlama-lama duduk bersama dengannya walau hanya sekadar minum kopi sembari mengobrol ria. Membicarakan tentang prekonomian dan politik adalah topik utama pembicaraan mereka. Pemuda ini memang cukup tahu akan banyak hal, bahkan bekerja di perusahan dengan posisi jabatan yang tinggi. Namun, waktu seakan merengut habis kejayaannya. Di kala dia sedang bepergian bersama orang tuanya, kecelakaan menimpa tepat di saat matahari hendak tenggalam. Orang-orang menemukannya tak sadarkan diri, pun orangtuanya juga tak sadarkan diri, namun bedanya, ayah dan ibunya tak lagi bernyawa ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit. Hatinya hancur tatkala mendengar kenyataan yang ada. Dalam dunia pekerjaan pun, dia harus dipecat karena diduga melakukan penyelewengan lalu hendak kabur bersama keluarganya, sayangnya, kecelakaan itu terjadi dan rencana buruknya gagal total. Bahkan dia sempat dipenjara beberapa tahun akibat tuduhan yang sama sekali tak dilakukannya itu.
Keterpurukan, kesendirian, dan keputusasaan mulai menguasai diri pemuda itu. Orang-orang tak lagi percaya padanya, seolah menjauh karena takut pemuda itu bakal membikin mereka tertimpa masalah. Atau barangkali ditipu sama seperti kabar yang beredar.
Namun, tak lama waktu berselang. Ada seorang gadis yang nampak dekat dengan si pemuda. Seakan memberi dukungan yang super sakti dan manjur, tokoh kita kembali bersemangat dan bergairah untuk hidup. Dia mulai bangkit, berusaha memperbaiki apa yang telah rusak. Terutama nama dan kedudukannya. Tapi, baru saja beberapa hari dia bangkit, dia telah terjatuh lagi bahkan serasa semakin jatuh ke jurang yang paling dalam. Ketika cinta dan kepercayaan mulai tumbuh, kata perpisahan itu harus kembali dia dapatkan. Kala itu, keduanya sedang menatap hamparan laut yang bermandikan semburat jingga. Senyum manis tak pernah pudar menghiasi wajah keduanya, seolah inilah saat yang paling indah untuk mengungkapkan rasa. Sekian detik tanpa terlibat obrolan hangat. Ekspresi si gadis tiba-tiba berubah sendu. Senyumnya telah luntur, matanya menatap nanar dua manik mata si pemuda yang juga tengah menatapnya dengan tatapan yang berbeda.
“Aku akan segera menikah.” Gadis itu tertunduk, sedang pemuda itu seakan habis tersengat listris ratusan volt, tubuhnya menjadi kaku. Mulut pun sulit membuka.
“Ayahku telah menemukan pasangan untukku. Walau sebanrnya aku tak setuju, tetap saja ayah ingin aku menikah dengan pemuda itu. Katanya, pemuda itu jauh lebih menarik darimu, lebih kaya, lebih dan lebih dari segalanya dibandingkan dirimu yang pengangguran dan tak punya apa-apa. Maaf, bukannya aku membandingkan ataupun menghinamu, aku hanya mengatakan apa yang dikatakan ayah. Seandainya kamu tak hidup seperti ini, mungkin ayah akan memikirkan kembali keputusannya. Dengan ini, seiring dengan tenggelamnya mentari, aku memutuskan hubunganku denganmu. Biarlah fajar menjadi saksi pertemuan kita dan senja yang menjadi saksi perpisahan kita. Kuharap setelah ini kamu bisa lebih berusaha bangkit lagi, tidak menjadi lebih terpuruk apalagi sampai membenci senja.” Gadis itu berlari pergi dengan linangan air mata sebagai bukti perpisahan, pemuda itu diam tak bergeming. Menatap semburat senja yang seakan menertawakan penderitaannya. Ia berteriak, meneriaki senja, suaranya memenuhi daerah berpasir itu, membuat siapa saja yang menetapnya merasa bingung.
“Kamu adalah penyebab semua ini! Ayah dan ibu tiada saat kamu kembali hadir! Aku dipecat lalu diseret ke kantor polisi saat kamu juga kembali hadir! Dan sekarang, aku kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidup di atas kesaksianmu! Kenapa harus seperti ini? Apakah kecintaan harus memberi balasan kesengsaraan seperti ini? Jawablah! Jangan hanya mengolokku dengan sinar indahmu itu!” Tak ada jawaban yang dia terima, pemuda itu seakan telah kehilangan akal sehatnya. Kecintaannya telah berubah menjadi kebencian. Dia membenci senja, pun laut yang hanya diam menyaksikan kejadian ini.
Hingga hari-hari kembali berlalu. Bahkan minggu telah berganti bulan. Sejak saat itu, tokoh kita mulai menyembunyikan dari sinar jingga. Ketika senja datang, dia menyembunyikan diri di balik selimut, menutup semua jendela berikut dengan pintu-pintu. Tak memberi celah agar senar jingga itu memasuki rumahnya. Hingga sikapnya yang ramah pun berganti menjadi tertutup. Mungkin satu hal lagi yang perlu kalian ketahui kenapa tokoh kita juga sangat membenci senja. Karena senja adalah nama gadis yang tak secara langsung telah mengolok dirinya, mengatakan bahwa pemuda itu tak ada apa-apanya dibandingkan pemuda yang akan menikahinya, karena kenyataan yang ada: sang ayah tak pernah berucap demikian, dan pemuda yang dia maksud itu adalah orang yang telah mengatas namakan pemuda itu sebagai dalang kebangkrutan perusahaan tempatnya dulu bekerja. Gadis itu datang bukan untuk membangkitkan, tapi ingin menjatuhkannya lebih dalam ke jurang kematian. Segala sesuatu telah direncanakan. Ketika rasa iri atas keberhasilan orang lain tak dapat tertahankan, maka rencana menghancurkan pun akan terlaksana. Sayangnya, pemuda itu tak tahu apa-apa, yang dia tahu hanyalah: senja yang menjadi penyebab dari semua ini. Bahkan dia memilih waktu senja sebagai waktu kematiannya. Tanpa menunggu kematian hingga di usia senja.
End.
Aisyahir. Gadis kelahiran 2001 yang sangat menyukai dunia literasi. Membaca adalah kegiatan yang dilakukannya ketika sedang bosan, dan menulis ketika hendak menyenangkan hati. Ig: Aisyahir_25