Pemuda yang Jatuh Cinta pada Perempuan Pincang

Pemuda yang Jatuh Cinta pada Perempuan Pincang

Judul : Pemuda yang Jatuh Cinta pada Perempuan Pincang
Oleh : Siti Nuraliah

Sudah satu minggu ini aku menggantikan posisi Ibu di pasar. Lantaran sakit encoknya kambuh, Ibu tidak bisa berlama-lama melayani banyak pelanggan. Dan sudah satu minggu juga aku memperhatikan perempuan pemilik senyum seindah mawar di seberang toko. Ia memeluk anak perempuan yang aku taksir berumur dua setengah tahun. Wajah mereka mirip sekali. Itulah kenapa aku berpendapat kalau anak perempuan itu adalah anaknya.
Di pasar ini, hanya dia pedagang sayuran yang masih muda. Dagangannya tidak begitu banyak, dia akan pulang pada pukul 12 siang, atau ketika semua dagangannya telah laku. Tapi aku pernah melihatnya mengemas barang-barang dengan tergesa-gesa seperti siang ini. Sebenarnya aku ingin bertanya mengapa dia buru-buru pulang padahal dagangannya belum semua laku terjual. Namun, keberanianku hanya sebatas memandang senyum manisnya dari jarak sekian meter.
Pagi-pagi sekali tepatnya setelah subuh, kegiatan pasar tradisional sudah mulai ramai. Beberapa lapak dan toko telah dibuka oleh pemiliknya, dan aku selaku anak pemilik toko pakaian serbamurah hanya memperhatikan dua pelayanku saja. Alih-alih membantu mereka menata barang-barang yang disimpan di gudang untuk dipasangkan pada patung-patung plastik, aku malah sibuk mencari perempuan itu.
“Ros, kamu tahu, perempuan penjual sayur yang masih muda di depan sana?” tanyaku pada Rossi, pelayan yang paling lama membantu Ibu.
“Noory?” Ia bertanya balik.
Aku mengangkat bahu, mana kutahu namanya.
“Iya, namanya Noory, Bang. Dia perempuan pincang alias janda,” Rossi sedikit menurunkan intonasi suaranya pada kata terakhir.
Setelah itu aku tidak melanjutkan sesi tanya-jawab dengan Rossi. Berbondong-bondong kata memenuhi isi kepala. Setidaknya aku lega, tidak menaruh rasa penasaran pada istri orang.
Jam sudah bergeser ke angka tujuh. Beberapa kali aku menengok ke depan, meja tempat biasa menaruh sayuran itu masih kosong. Hari ini ke mana Noory? Apa hari ini dia libur jualan?
Aku memang belum pernah pacaran, Ibu melarangku dekat-dekat dengan perempuan. Itulah sebabnya kenapa sampai lulus kuliah, bekerja kemudian memutuskan untuk resign, aku masih lekat dengan gelar jomlo kelas atas.
Baru kali ini aku merasa gelisah. Pantas saja zaman kuliah dulu, saat aku menegur seorang teman yang melamun berhari-hari karena gebetannya dibonceng orang, dia bilang,
“Karena kamu belum pernah jatuh cinta. Makanya mudah berbicara seenaknya.”
Padahal saat itu aku hanya mengatakan apa yang pernah Ibu nasihati kepadaku. Ternyata hari ini, aku terkena karma. Aku sedang merasakan apa yang pernah teman kuliahku rasakan. Ini sialan, ini bahaya.
Perasaan gelisah sedikit teralihkan lantaran toko mulai ramai didatangi pembeli. Sebagai penunggu kasir—menggantikan Ibu—aku sibuk menghitung jumlah harga yang dibeli. Aku baru paham sekarang, mengapa dulu Ibu bersikeras memintaku masuk ke jurusan Ekonomi Syariah. Waktu itu Ibu hanya bilang, kalau keluarga kita ini hidup dari usaha berdagang. Sebagai anak lelaki satu-satunya, dan juga bungsu dalam keluarga, ditambah lagi jurusan itu wasiat mendiang Ayah, sungguh aku tidak bisa menolak.
“Ros, kok dia enggak jualan, ya, hari ini?”
Rossi yang sedang melipat kaus-kaus yang tadi “diacak-acak” pembeli mendongak, muka polosnya penuh telisik menatapku. Muka menyebalkan khas mengolok-olok.
“Bang Fazri kayanya suka, deh, sama Noory. Penasaran banget, ya, sama dia?” ucapnya disertai tawa.
Aku sebal pada diri sendiri. Kenapa pertanyaan konyol itu keluar tanpa kompromi. Rossi masih melanjutkan pekerjaannya. Pelayan toko yang satu lagi, melirik ke arahku dan tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Abang baru pertama kali kasmaran, ya? Aku tahu lumayan banyak tentang Noory, kalau mau aku kasih informasi ke Abang. Bilang dulu sama Ibu naikkan gaji kami, ya!” Rossi melirik temannya sambil tertawa.
Rossi memang seperti itu, orangnya terkesan ceplas-ceplos tetapi baik. Bercandanya seperti serius dan kalau dia berbicara serius, seperti bercanda. Aku tertarik mendengarkan penuturannya tentang Noory. Meskipun setelahnya dia minta dibelikan nasi Padang karena lapar. Padahal tanpa melakukan transfer informasi kepadaku pun, jatah makan siang pelayan toko tidak pernah absen.
Dari Rossi aku tahu, Noory umurnya masih muda, sebaya dengan Rossi, katanya. Hanya saja Rossi masih bertahan dengan status enggak jelas sama pacarnya, kadang ditarik kadang diulur. Beberapa hal yang kutahu dari Rossi, perempuan bernama Noory itu semakin membuatku terenyuh, semakin membuatku ingin memiliki, ingin menjaga, dan melindunginya. Nanti, aku ingin menyampaikan pada Ibu tentang niat baik ini.
Saat sudah sampai di rumah, aku ingin membuka pembicaraan dengan Ibu. Aku yakin Ibu juga banyak tahu tentang Noory. Perempuan beranak satu yang telah berhasil mencuri hatiku. Aku menghampiri Ibu yang sedang merendam kakinya dengan air es di baskom. Katanya itu bisa sedikit mengobati rasa pegal-pegal.
“Ibu sudah tahu apa yang mau kamu bicarakan,” ucap Ibu dengan wajah semringah. Kemudian menepuk tempat duduk di sampingnya. “Duduk sini!”
Aku menunduk, menyembunyikan warna merah di wajah. Aku yakin, saat ini wajahku pasti benar-benar merah.
“Noory itu perempuan malang. Dia tidak diceraikan suaminya, juga tidak diberi nafkah. Perempuan baik terkadang tidak selalu berjodoh dengan laki-laki baik. Ya … begitulah rahasia Tuhan. Kita tidak tahu apa-apa yang Dia tahu.” Ibu membuka obrolan.
Aku ingin menyangkal, Rossi bilang Noory itu janda. Namun Ibu keburu melanjutkan ucapannya. “Orang-orang memang tahunya Noory itu janda, tapi Noory pernah beberapa kali cerita sama Ibu yang sebenarnya. Beban beratnya tersembunyi di balik senyumnya. Sejak anaknya lahir, suaminya menikah lagi dan tak pernah kembali.”
Aku ingin menimpali ucapan Ibu. Tapi aku bingung, kata-kata apa yang pantas terucap. Aku tidak bisa merangkai kata. Kenapa di depan Ibu saja aku gugup membahas tentang Noory? Akhirnya aku hanya diam mendengarkan Ibu sambil sesekali memijat kakinya.
“Sekarang Noory sedang mengajukan permohonan ke pengadilan agama agar dikabulkan talaknya. Suaminya memang kurang ajar. Kamu tahu, kan, urusan begitu harus keluar uang?”
Aku mengangguk. Tiba-tiba keberanian seperti telah berpihak kepadaku. Aku sudah siap mengatakan kepada Ibu.
“Bu, bagaimana kalau kita bantu Noory? Fazri sudah siap menikah, kok!” kalimat itu terucap bagai belut yang keluar dari lubangnya. Cepat dan licin.
Ibu spontan menatapku. “Kamu sudah yakin?”
Aku tersenyum malu-malu. Bahkan sangat malu.
***
Banjarsari, 28 Januari 2021
Siti Nuraliah. Perempuan sederhana kadang suka menulis kadang suka membaca.
Editor : Rinanda Tesniana

Leave a Reply