Pembawa Sial

Oleh : Chan

Sejak duduk di bangku SD, Sumiati selalu bertanya-tanya: apakah kisah hidupnya merupakan takdir Tuhan atau imbas kutukan. Karena setiap hari ulang tahunnya selalu diikuti berita kematian, penduduk desa dan kerabatnya menjauhi dan mengecap anak perempuan sepuluh tahun itu sebagai pembawa sial.

Dua hari setelah menghirup napas pertamanya, ia langsung menjadi anak yatim. Sang ayah tertabrak truk saat berangkat ke sawah. Usai ia berulang tahun yang pertama, kakeknya menghadap Tuhan lantaran tenggelam di sungai. Tahun-tahun berikutnya, beruntun nenek, paman, sepupu, serta kerabat dekatnya menemui ajal antara tiga atau lima hari setelah hari ulang tahun Sumiati.

Sempat ia berpikir untuk menghentikan rangkaian nasib buruk itu dengan mendatangi Telaga Ireng, sebuah danau yang terletak di hutan di dekat desanya. Menurut cerita yang dituturkan secara turun-temurun, danau berair sehitam tinta itu dihuni sebangsa lelembut yang sanggup mengabulkan keinginan siapa pun yang datang kepadanya. Namun, Sumiati cepat-cepat mengurungkan niatnya manakala mendengar penuturan orang-orang bahwa si penghuni danau meminta imbalan yang tak akan sanggup ia persembahkan. Akhirnya Sumiati memilih berdamai dengan takdirnya dan berdoa agar lingkaran kematian itu terhenti sebelum menimpa orang terdekatnya yang masih tersisa, ibunya.

Meskipun dugaan-dugaan dan omongan-omongan miring terus beredar, ibu Sumiati tak pernah membenci putrinya itu apalagi menganggapnya pembawa sial. Wanita yang kerap berpenampilan glamor meski tinggal di desa itu selalu menghibur Sumiati dengan memberinya mainan dan baju mahal, juga mengajaknya bertamasya. Namun pada akhirnya ia sadar, seorang anak bukan hanya membutuhkan baju, mainan, dan tamasya; ia butuh perhatian dan figur ayah. Mungkin tersebab itulah ia menikah lagi ketika Sumiati berumur sembilan tahun.

Bagi Sumiati, ibunya memiliki mata yang jeli dalam memilih lelaki. Sang ayah tiri yang sewindu lebih muda dari Ibu selalu mengajak Sumiati bermain dan memberinya kasih sayang selayaknya seorang ayah kepada anak kandungnya. Ketika Sumiati menangis karena diejek kawan-kawannya atau mendengar ucapan menyakitkan para tetangga, dengan sigap lelaki itu menghapus air mata anak sambungnya dan berkata dengan lembut, “Kamu bukan pembawa sial, Nduk. Kamu adalah cahaya terang bagi orangtuamu.” Setiap mendengarnya, kesedihan yang melingkupi hati Sumiati segera sirna. Dan ia bisa kembali tersenyum.

Satu-satunya kekurangan yang Sumiati rasakan adalah lelaki itu belum mampu memberinya seorang adik. Namun, itu tak mengurangi rasa sayang Sumiati padanya. Sayangnya, pada ulang tahun Sumiati yang kesepuluh lelaki itu harus meregang nyawa lantaran penyakit aneh. Rumah besar mereka pun kembali diselimuti aura kesedihan yang menyesakkan dada.

Kepergian lelaki itu tak cuma meninggalkan luka bagi Sumiati. Sejak kembali menjanda, ibunya kerap pulang larut malam untuk mengusir kesepian. Namun, hingga nyaris setahun berlalu, tak ada lelaki yang bersedia menghapus status jandanya. Dan entah tersebab apa ia menjadi bertingkah aneh. Sering ia menatap Sumiati dengan sorot mata yang menggambarkan kegelisahan dan kebimbangan.

Sumiati pun merasakan perubahan itu. Keyakinannya terhadap kebenaran sebutan “pembawa sial” pun menebal. Setiap kali memandang wajah ibunya, rasa takut kehilangan itu terasa semakin kuat.

Dengan alasan melarikan diri dari kepenatan, menjelang hari ulang tahun Sumiati yang kesebelas, Ibu mengajak Sumiati berlibur ke pantai Ia memesan kamar di sebuah penginapan yang cukup bagus dan terkesan mewah.

Ibu sebenarnya cukup sering mengajak Sumiati ke pantai. Namun, Sumiati tidak pernah terlihat sebahagia hari itu karena baru sekarang ibunya mengizinkannya berenang dan bermain banana boat. Selama sepuluh tahun Ibu hanya membolehkan Sumiati membuat istana pasir atau mengumpulkan kerang di tepi pantai. Saking senangnya berenang, Sumiati tidak menyadari ada bayangan hitam seperti asap mendekatinya, berjalan di atas air seperti berjalan di atas tanah. Hanya satu orang yang mampu melihatnya.

Sang ibu memperhatikan Sumiati dan makhluk itu dari jauh dengan berlinang air mata, dada sesak, dan wajah memerah. Benaknya mengenang kembali rekaman kalimat terakhir si dukun yang ditemuinya beberapa hari sebelum Sumiati dilahirkan, “Ingat! Jika kamu tidak bisa menyediakan tumbal salah satu dari orang terdekatmu untuk si Penghuni Telaga Ireng, maka kamu yang akan menjadi korban.”[*]

 

Rumah, 18 April 2023

 

Chan adalah seorang pembaca yang sedang belajar menulis

Editor : Syifa Aimbine

 

Gambar : https://pin.it/3ltjv2P

Leave a Reply