Pembalasan
Oleh : Fei Ling
Yanti terbangun dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Beberapa hari ini dia memang tidak bisa tidur dengan nyenyak. Jam di atas meja menunjukkan pukul dua pagi. Masih banyak waktu untuk melanjutkan tidur. Setelah meneguk segelas air, Yanti kembali menarik selimut. Hawa dingin menerpa tengkuknya. Seketika perasaan tidak nyaman singgah di hati gadis bertubuh subur itu. Segera dia menaikkan temperatur pendingin udara.
Hari beranjak pagi. Sinar matahari menerobos melalui jendela kamar Yanti, dan langsung menerpa wajahnya. Mau tidak mau, Yanti terbangun. Dia ingat, hari ini tidak boleh terlambat datang ke kampus. Kemarin, Rudi—ketua pasukan—mengingatkan bahwa mereka akan mengadakan praktik lapangan.
Yanti, mahasiswi jurusan geologi di Universitas Generasi Bangsa. Tahun ini angkatan Yanti, dibantu dengan beberapa kakak tingkat akan mengadakan praktik lapangan di Desa Sumber Urip. Desa itu terletak cukup jauh di kaki Gunung Kidul, sehingga para mahasiswa harus berangkat sebelum matahari naik. Tidak ingin terlambat, gadis itu segera menyiapkan diri.
Ponsel Yanti berbunyi. Terlihat ada panggilan dari nomor sahabatnya.
“Halo, Dev.”
“Yan, Jangan lupa bawa senter dan jas hujan, ya!”
“Ya.”
Sifat ceria melekat dalam diri perempuan berwajah bundar itu. Yanti selalu semangat apabila bepergian ke suatu tempat yang belum pernah dia kunjungi. Namun, ada yang aneh hari ini. Yanti menjawab telepon dari Devi seperlunya saja. Dia merasa rencana kepergian kali ini tidak akan berjalan lancar.
Tepat pada waktu yang telah dijanjikan, Yanti tiba di kampus. Beberapa hari sebelumnya, dia sudah diberi tahu bahwa ada tiga orang lagi yang akan sekelompok dengannya. Segera saja dia mencari Fikri, Andini, dan Devi. Beruntung Devi ada di tim mereka. Karena Yanti tanpa Devi, bagaikan sendok tanpa garpu. Karakter Yanti yang terburu-buru bisa diimbangi dengan sifat Devi yang pendiam dan selalu ingat terhadap hal-hal kecil.
Terlihat di ujung sana Rudi mengabsen peserta yang sudah datang. Yanti pun menghampiri laki-laki itu supaya mencatat kehadirannya. Tentu saja bersama dengan keempat temannya.
***
Sesampainya di Desa Sumber Urip, warga setempat menyambut kedatangan para mahasiswa ini dengan wajah tegang. Meskipun begitu, mereka harus menerima kehadiran mahasiswa-mahasiswa itu apabila ingin desanya maju.
Beberapa kamar telah disiapkan, terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Malamnya, tetua kampung, Pak Lurah, dan beberapa warga mengadakan acara penyambutan bagi peserta praktik lapangan ini. Berbagai wejangan mereka sampaikan. Mulai dari apa yang diperbolehkan hingga hal-hal yang dilarang. Peraturan mutlak yang tidak boleh dilanggar adalah memasuki Gua Bajul. Tempat datangnya legenda turun-temurun yang dipercaya oleh penduduk. Tak ada seorang pun yang diperbolehkan mendekati gua tersebut.
Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi, para mahasiswa itu berkumpul di balai desa untuk mendengarkan arahan terakhir dari ketua pembina. Kemudian perjalanan dimulai. Setelah dua jam melalui perjalanan yang sulit, udara panas, jalan gersang dan tandus, sampailah rombongan di lokasi.
Rudi masih sibuk mengarahkan di titik-titik mana saja yang perlu diambil batunya. Yanti mengambil tempat yang tidak terlalu jauh dari posisi lelaki itu berdiri, agar dia bisa mendengar informasi secara jelas.
Rudi memerintahkan kepada semua peserta untuk berpencar sesuai kelompok kecilnya. Tepat pukul satu siang, mereka harus berkumpul kembali di titik semula. Tidak hanya itu, dia juga melarang seluruh anggota untuk mendekati Gua Bajul.
Selagi mereka berjalan menyusuri sekitar, Yanti mendengar desas-desus bahwa pelaksanaan acara ini ditentang oleh tetua setempat. Namun, entah bagaimana ceritanya hingga acara ini tetap berlanjut.
“Devi, Andini, Fikri, dan Alvin. Seandainya nanti kita menemukan gua itu, sesuai anjuran, jangan ada yang masuk, ya? Kita ambil sampling di mulut gua saja. Paham?”
Keempat mahasiswa itu mengangguk. Sebagai ketua pasukan kecil, Yanti memang harus memberi pengarahan kepada anggotanya. Setiba di Desa Sumber Urip kemarin, Yanti sempat bercengkerama singkat dengan salah satu penduduk desa. Dia menanyakan mengapa ada larangan memasuki gua yang bernama Bajul itu. Informasi yang didapat oleh Yanti cukup mencengangkan. Gua Bajul terkenal sebagai tempat para makhluk jahat bersemayam. Di sanalah mereka tersegel tanpa bisa keluar. Akan ada bahaya jika para makhluk jahat itu terlepas. Jiwa petualang Yanti tergelitik mendengar hal tersebut. Diam-diam, dia ingin menyelidiki misteri ini tanpa diketahui oleh siapa pun.
Konon, gua itu masih asli dan belum terjamah tangan manusia. Selain keberadaan mineral yang terkandung di dalam sampling berbatuan yang berada di sana, legenda turun-temurun tentang keberadaan makhluk-makhluk tak kasatmata haus darah, membuat rasa penasaran mahasiswi ini meluap. Adanya laporan tentang kejadian-kejadian aneh di sekitar gua membuat banyak penduduk yang percaya bahwa gua tersebut merupakan tempat bersemayamnya roh-roh jahat yang sengaja ditempatkan di sana, agar tidak mengganggu keselamatan penduduk desa.
Bayangan akan temuan sampling berbatuan, dan juga keberhasilan menguak tabir mitos dan legenda yang menyelimuti gua, tersebut terus saja terngiang di benak Yanti. Tanpa disadari oleh keempat anggota pasukannya, Yanti mencari keberadaan gua keramat itu. Setelah berpura-pura sibuk mengambil contoh batuan kapur, akhirnya sampailah Yanti di sebuah mulut gua besar.
Wajahnya tampak ragu, apakah harus melangkah masuk atau menjauhi gua tersebut. Saat pertama tiba di desa, rombongan itu telah dijejali cerita-cerita yang seram tentang Gua Bajul. Salah satunya tentang seorang penggembala kambing yang hilang. Dugaan sementara, gembala dan hewan ternaknya masuk ke dalam Gua Bajul tanpa bisa keluar.
Beberapa kejadian yang lain juga menyiratkan kengerian penduduk desa tatkala menceritakan keberadaan gua tersebut. Sosok tinggi besar dengan mata merah menyala, sering kali dilihat oleh warga sedang berdiri di depan mulut gua. Jerit kesakitan, tangisan, dan rintihan juga sering terdengar oleh para penduduk ketika tidak sengaja berada di sekitar Gua Bajul.
Yanti melangkah mendekati bibir gua. Dia menyalakan lampu senter yang ada di tasnya. Hari masih siang, tetapi kondisi di dalam gua sangat gelap dan seolah-olah tak berujung. Gadis itu terus saja melangkah memasuki Gua Bajul.
Sorot lampu senternya berpindah dari satu titik ke titik yang lain. Stalaktit dan stalagmit yang menempel baik di lantai maupun atap gua, terlihat indah berkilau bak permata yang indah ketika terkena cahaya dari senter itu.
Yanti terus saja berjalan dan menikmati keindahan dalam gua, sesekali tangannya memunguti batu-batu yang terserak begitu saja di sekitarnya. Tak sadar, mahasiswi itu makin masuk ke dalam gua.
Di luar, hari sudah memasuki senja. Sinar surya perlahan meredup dan berpindah ke ujung cakrawala. Bayang pepohonan tampak menyeramkan, suara serangga malam pun mulai terdengar.
Tiba-tiba gadis itu berhenti berjalan, sebuah rintihan yang bercampur dengan tangisan, serta suara seseorang yang meminta tolong terdengar dari kegelapan yang ada di depannya.
“Tolong … tolong ….”
Yanti mengarahkan senternya ke arah suara itu berasal. Namun, cahaya lampu itu tak mampu menembus gelapnya lorong gua di hadapan Yanti.
“Tolong … tolong ….” Lagi, suara itu terdengar.
Bila tadi suaranya terasa jauh, sekarang rintihan itu seolah-olah begitu dekat dengan posisinya sekarang.
Gadis itu kaget ketika merasakan sesuatu yang mencengkeram kakinya. Refleks senter yang dia pegang mengarah ke arah pergelangan kakinya. Alangkah terkejutnya, saat Yanti melihat sesosok tubuh wanita bersimpuh di lantai gua. Meskipun dua tangan itu kurus, tetapi mampu mencengkeram erat bagian kaki Yanti. Kuku-kuku tajam menusuk permukaan kulit gadis itu.
Wanita itu menengadahkan wajahnya yang hancur, rusak, dan belatung-belatung kecil berjatuhan dari sana. Kondisi kedua matanya pun berlubang dan mengeluarkan darah.
Seketika Yanti menjerit. Dia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman sosok menyeramkan itu. Namun, tubuhnya kaku, tak bisa digerakkan. Saat dia memaksa melakukan hal itu, cengkeraman tangan wanita yang di bawahnya makin terasa kuat.
Dari arah belakang gadis itu, terdengar suara langkah kaki yang diseret. Rasa ingin tahu membuat Yanti menoleh dan mengarahkan senternya. Terlihat sosok-sosok tubuh tak berkepala berjalan menuju ke arahnya.
Bau amis darah menyengat dan memenuhi ruangan gua. Terlihat jelas tubuh-tubuh tanpa kepala itu sedang menenteng sesuatu. Yanti terus saja berusaha melepaskan diri, tetapi selalu gagal. Wanita yang berada di bawahnya itu, menyeringai lebar, menampakkan gigi-gigi yang tajam dan tak beraturan.
Yanti menjerit parau, tatkala gigi tajam itu menancap pada pergelangan kakinya. Di lain sisi, sosok-sosok tanpa kepala yang tadinya jauh kian mendekat ke arahnya. Gadis itu terjatuh telentang di dasar gua. Kakinya berusaha menendang ke arah sosok wanita yang berada di hadapannya, tetapi cengkeraman wanita itu terlalu kuat. Tendangan yang dilancarkan Yanti serasa hanya memukul angin.
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu makin mendekat, berdiri mengelilingi Yanti yang hanya bisa menangis menahan rasa sakit. Dari arah dalam gua, terdengar suara riuh yang makin lama makin jelas terdengar.
“Makan! Makan!”
Suara itu menusuk dan memukul-mukul gendang telinga. Yanti tidak sanggup mendengar pekikan itu, dia menjerit dan menutup kedua telinganya rapat-rapat.
“Tidaaak! Hentikaaan!”
Begitu mendengar teriakan Yanti, mereka terdiam. Seolah-olah tersihir dengan kekuatan suara Yanti. Namun hal itu tidak berlangsung lama, mereka melanjutkan aksinya, meletakkan sesuatu di atas tubuhnya. Rupanya, makhluk-makhluk tadi membawa benda yang luput dari penglihatan gadis itu. Seketika, Yanti menjerit histeris. Potongan kepala manusia yang penuh dengan darah bercucuran, ada di atas perutnya. Matanya nyalang menatap potongan-potongan kepala yang ternyata milik teman-teman kuliahnya. Gadis itu didera rasa takut yang teramat dalam. Air mata tak berhenti keluar membasahi pipi gembilnya.
“Tolong, aku masih ingin hidup …. Aku ingin pulang.”
Namun, ucapan Yanti, tidak ditanggapi oleh mereka.
Tangannya berusaha menolak dan menyingkirkan potongan-potongan kepala itu pun lama kelamaan tak sanggup lagi bergerak. Kekuatan Yanti melemah. Daya juangnya sirna. Apalagi sosok-sosok tubuh yang berdiri mengelilinginya, memegang lengan dan anggota tubuh Yanti yang lain.
Wanita dengan wajah rusak tadi pun masih saja mencengkeram kaki gadis malang itu. Dia tertawa terkekeh. Kuku-kukunya yang tajam kian menancap dalam, membuat kaki Yanti terluka mengucurkan darah. Hantu itu beringsut mendekat, lidahnya menjulur, menjilati ceceran darah yang mengalir dari pergelangan kaki Yanti. Potongan-potongan kepala yang berada di atas tubuh gadis itu pun makin riuh tertawa melihat dia yang hanya mampu menjerit kesakitan saat tubuh-tubuh tanpa kepala itu satu demi satu mencabik dan mengoyak setiap jengkal bagian badannya.
Napas gadis itu tersengal, matanya membeliak lebar, dan lidahnya menjulur keluar. Tubuhnya yang basah oleh darah yang keluar dari setiap luka menganga, makin menambah gairah mereka untuk menyantap Yanti. Nyawa Yanti di ujung tanduk. Akibat perlakuan itu, Yanti berkelojotan dan sesekali mengejang, hingga akhirnya terdiam.
Wanita berwajah rusak penuh belatung, beringsut mendekat ke arah bagian perut gadis yang sudah tidak bernyawa itu . Dengan satu tekanan, jemari berkuku tajam itu menancap dan merobek perut Yanti, serta mengeluarkan segala isinya. Dia juga meletakkannya organ dalam Yanti di depan salah satu potongan kepala yang tersenyum menyeringai.
Potongan-potongan kepala itu pun seolah-olah berpesta, menikmati tubuh mahasiswi yang telah menemui ajalnya itu. Yanti, seorang anak manusia yang telah melanggar larangan dari tetua adat dan perangkat desa itu pun menerima hukuman akibat dari perbuatannya.
Malam kelam, suara binatang malam makin membuat suasana menyeramkan. Satu demi satu korban berjatuhan akibat kesombongan dan kebodohan yang dipertontonkan.
Gua Bajul, tempat ratusan roh jahat bersemayam, segala sumber malapetaka, dan kematian ditebarkan, kembali sunyi sepi menelan jasad dan jiwa-jiwa ke dalam kegelapan abadi.
***
“Nduk, kowe ora nduwe dosa ageng, toh? Yen kowe nduwe salah sing gedhi, ojo pisan-pisan marang panggonane sekitar Gua Bajul.” (“Nak, kamu tidak punya dosa besar, kan? Apabila kamu mempunyai kesalahan besar, jangan sekali pun pergi ke tempat sekitar Gua Bajul.”)
“Dosa menopo nggih, Bu?” (“Dosa apa, Bu?”)
“Salah sijining kuwi dosa aborsi, Nduk ….” (Salah satunya dosa aborsi, Nak ….”)
Yanti melupa kepada satu hal, dosa besar yang pernah dia lakukan beberapa tahun silam, menuntut balas.(*)
Surabaya, 30 Mei 2021.
Bagi Fei Ling, menuangkan kata menjadi sebuah tulisan adalah caranya menjaga jiwa tetap waras.
Editor : Rinanda Tesniana