Pemakan Dosa

Pemakan Dosa

Pemakan Dosa 

Oleh: Vianda Alshafaq

 

Century, 1050

Entah di zaman dulu ataupun di zaman sekarang, kehidupan ini memang sulit jika kau tidak dilahirkan sebagai konglomerat yang kaya tujuh turunan. Begitu pun denganku. Sebetulnya, sebelumnya aku memiliki kehidupan yang tidak terlalu buruk. Sebidang lahan gandum yang aku kelola bisa membantuku memenuhi kebutuhan sehari-hari. Paling tidak, dari hasil lahan gandum itu, aku bisa membelikan putri-putriku pakaian yang layak seperti orang-orang, mereka juga tak kekurangan makanan. Dan, itu sudah cukup membahagiakan.

Ketiga putriku itu sudah tumbuh cantik. Beberapa laki-laki juga sudah datang meminang mereka. Tetapi, mereka belum mau menikah—dan sejujurnya aku juga belum ingin mereka menikah. Awalnya, semuanya berjalan seperti biasa. Satu-dua pemuda yang datang ke rumah untuk meminang putri-putriku tidak memberikan pengaruh apa pun. Sampai suatu hari, ketika musim semi sedang jatuh di Century dan bunga-bunga yang mereka tanam di halaman rumah sedang bermekaran, mereka tak pulang. Satu hari. Dua hari. Mereka menghilang.

Aku panik bukan main. Bayangan-bayangan buruk terlintas di kepalaku. Bagaimana jika mereka terjatuh dan hanyut di Sungai Drane di batas desa? Atau, bagaimana jika mereka masuk terlalu jauh ke hutan ketika mencari anak bunga dan bertemu dengan binatang buas? Aku tidak sanggup membayangkan semua itu. Karena itulah, dengan tergesa-gesa, aku mendatangi Sungai Drane dan mencari tahu lewat warga sekitar apakah mereka melihat putri-putriku di sekitar sini dua hari yang lalu, tapi hasilnya nihil. Dari sepuluh orang yang kutanya, tak seorang pun dari mereka yang tahu. Lalu, aku pergi ke hutan di barat desa. Biasanya mereka mencari bunga di hutan itu. Dengan hati yang harap-harap cemas, aku menelusuri hutan lebat yang hanya disinari oleh sedikit sinar matahari yang masuk melalui celah-celah daun. Setiap kali aku melangkah, aku berdoa kepada Tuhan, semoga aku menemukan putri-putriku.

Tuhan mengabulkan doaku. Tetapi, seharusnya aku berdoa lebih baik lagi. Harusnya aku berdoa kepada Tuhan agar aku dapat menemukan putri-putriku dalam keadaan baik. Namun, kenyataannya tak begitu. Aku hanya menemukan dua orang putriku yang bersandar ke pohon besar yang rimbun. Tubuhnya dipenuhi oleh luka-luka yang sudah mengering. Bau amis dari genangan darah yang sudah membeku di tanah menusuk hidungku. Baju mereka robek, bahkan aku tak yakin masih layak disebut baju. Mata mereka tertutup rapat, dan ketika kupanggil nama mereka sekeras yang aku bisa, mereka tak bereaksi sedikit pun.

Aku berjalan mendekat. Air mataku sudah jatuh membasahi pipi, bersamaan dengan gerimis yang mulai jatuh dari langit. Kutatap putriku itu lekat-lekat, dan Tuhan benar-benar telah membawa mereka pergi. Sesak di dadaku membuatku sulit bernapas. Sejak tadi gigiku bergemeretak dan tanganku mengepal kuat, rasanya aku ingin membunuh siapa pun yang melakukan ini kepada mereka.

Aku melihat ke sekitar, mencoba mencari putriku yang lain. Di jalan setapak yang biasanya digunakan sebagai jalan pintas menuju desa, dekat semak-semak yang menghijau, aku menemukan kepala putriku yang sudah terpenggal tanpa bagian tubuh yang lain.

Aku terduduk lemas. Pandanganku mengabur sebab air mataku semakin menggenang. Rasanya aku ingin mengumpat kepada Tuhan yang telah membiarkan peristiwa ini terjadi.

***

Tiga peti mati dikeluarkan dari rumahku. Di masing-masing peti, aku menaruh sepotong roti dan secawan bir. Tak lama kemudian, seorang laki-laki berpakaian kumal dan wajah yang kusam datang. Kami—warga di Desa Century—menyebutnya Pemakan Dosa. Pemakan Dosa itu akan menjual jiwanya dan mengambil alih dosa-dosa mayat yang ia makan melalui roti yang diberikan. Kami percaya bahwa roti yang ditaruh di dada mayat akan menyerap dosa-dosa yang ia lakukan selama hidup. Sebab itulah, ketika Pemakan Dosa memakan roti itu—seperti saat ini, maka dosa-dosa mayat akan diserap juga oleh tubuhnya. Setelah Pemakan Dosa melahap roti dan meminum secawan bir dengan tenang, ia akan berdoa.

“Saya memberikan kemudahan dan istirahat yang tenang untukmu. Jangan menyusuri jalan setapak di akhirat. Dan, untuk kedamaianmu saya menggadaikan jiwa saya sendiri. Amin.”

Aku menyerahkan enam pence uang kepada Pemakan Dosa untuk masing-masing jasad putriku. Setelah menerima uang itu, ia melangkah pergi dengan menunduk dan tanpa suara. Sepertinya ia takut dipukuli oleh orang-orang yang ada di rumahku. Hal itu memang sering terjadi. Para Pemakan Dosa dianggap sebagai orang yang terkutuk sebab di tubuhnya tertumpuk dosa-dosa. Dan, kalau bisa, kami tak boleh berpapasan dengannya, apalagi sampai membuat kontak mata.

***

Semenjak kehilangan putri-putriku, aku jadi tak semangat melakukan apa pun. Aku lebih sering berjudi daripada mengelola lahan gandum seperti biasa. Setiap malam, di kedai Tuan Smith, tetanggaku, aku ikut berjudi. Awalnya hanya coba-coba. Namun, lama kelamaan aku menjadi kecanduan. Hingga hari ini, lima bulan setelah kepergian putri-putriku, aku kehilangan lahan gandum dan rumah. Semuanya diambil oleh rentenir tempatku berutang setiap kalah berjudi.

Aku tidak tahu lagi harus meneruskan hidup dengan cara yang bagaimana. Tidak ada lahan untuk diolah, tidak ada rumah untuk tinggal, tidak ada uang untuk modal berdagang. Semuanya benar-benar memburuk.

Selama berhari-hari aku tidur sembarangan, kadang di depan rumah Tuan Smith, kadang di depan sebuah toko roti—dan aku selalu kena usir, kadang di tepi jalan, atau di tepian lahan gandum orang lain. Sampai seminggu kemudian, sore hari ketika langit mulai memerah, seseorang menawariku pekerjaan. Katanya, istrinya meninggal pagi itu dan akan dimakamkan sore harinya. Ia membutuhkan seseorang untuk memakan sepotong roti dan secawan bir, lalu ia akan memberikan enam pence uang kepada orang yang mau melakukannya. Setelah menawariku pekerjaan itu, ia pulang dan aku mengekor di belakangnya. [*]

 

Padang, 2023

 

Vianda Alshafaq, mahasiswa Kimia yang menggemari sastra.

 

 

Editor: Imas Hanifah N

Gambar: Pinterest

 

 

Leave a Reply