Pelukis Malam
Oleh : Rachmawati Ash
Ia tersenyum, menyingkap barisan tulang putih yang berjejer tidak begitu rapi. Uap alkohol berhamburan memenuhi udara malam di sekitar mulutnya. Ia tersenyum, lalu menunduk takzim, dalam bayangannya berdiri seorang puteri cantik jelita di hadapannya.
“Aku hanya menumpang lewat, Nona. Pergilah, kembalilah ke dalam kamar hotelmu yang hangat. Aku hanya seorang pemabuk yang hina, tak pantas menatap matamu yang sebening Kristal. Apa kamu tidak takut padaku?”. Ia pun kembali tertawa. Ia menyadari bahwa di hadapannya tak ada seorang puteri pun.
Ia berhenti sebentar di trotor, bersandar pada tiang lampu jalan. Matanya menatap gedung-gedung bangunan tua, yang bermandikan sinar lampu-lampu redup dan warna-warni. Ia kembali melangkah dengan oleng. Ia menatap hotel BobokBox yang mungil, di mana dalam bayangannya banyak gadis-gadis cantik menginap dan bermain-main ceria di dalamnya. Gadis muda yang menyukai petualang baru dan tentu saja hal-hal yang baru. Mereka hanya selalu dipenuhi rasa penasaran, lalu bangga setelah mencobanya.
Ia kembali melangkah dengan oleng, seperti kapal ferri yang menunggu di dermaga, terayun-ayun oleh gelombang air laut. Kakinya terus diseret di atas paving block yang memang tidak rata. Melewati gedung demi gedung. Terseok di antara mobil di parkiran yang membeku oleh dinginnya malam kota Semarang. Serta merta ia merapatkan jaketnya.
Dilanjutkannya langkah, dimasukkan kedua tangannya ke dalam jaket. Meraba keberuntungan, namun jemarinya tak menemukan sebatang rokok pun di dalam sakunya. Sebentar lagi melewati pos penjagaan. Setidaknya ada tiga security di sana, satu di antaranya menggunakan seragam polisi. Ia harus bisa bersandiwara agar tidak menimbulkan curiga. Ia berpura-pura berjalan tegak, bergegas melewati pos jaga dan berhenti saat tubuhnya terhuyung tepat di trotoar kantor pos pasar Johar.
Sebuah lukisan besar, hampir sama ukurannya dengan lebar dinding teras kantor pos. Membuat ingatannya sedikit sadar, mengingatkan bahwa telah lama ia tidak melukis. Dulu, ia selalu bercinta dengan lukisannya, menggunakan model perempuan berambut pirang, yang memiliki payudara selicin pualam. Terkadang, ia perlu meremas untuk menyamakan volume dan kelembutannya. Agar lukisan lebih memiliki ruh dan selalu mengalirkan hasrat untuk dipandang.
Setiap bertemu kertas atau kanvas, tangannya akan membabi buta. Menorehkan angan-angan yang hidup liar dalam benaknya. Ia akan menumpahkan warna; kemalangan, kemurkaan, mengaduh, menyala atau bahkan membakar tenaga yang melampaui batas pigura.
Tiba-tiba seseorang menyenggol tubuhnya, lelaki yang berjalan terburu-buru tidak sengaja hampir membuatnya tersungkur ke trotoar. Jika saja tembok taman tidak menopang tubuhnya sempoyongan. Ia pun melanjutkan jalannya yang oleng, melewati belokan ke selatan sepanjang sungai. ia berjanji bertemu Sherli di toko buku seberang lampu merah.
Hanya Sherli yang membuatnya hidup. Gadis yang duduk di kelas delapan SMP itu bisa membuatnya tersenyum di pagi buta, atau tertawa di siang yang membosankan. Hanya Sherli yang tidak bisa membuatnya murka. Setiap kali hendak berbuat jahat kepada Sherli, selalu teringat akan Tiara. buah hatinya yang sering ditinggalkan saat mengikuti pameran ke luar negeri atau keliling nusantara.
Digeleng-gelengkan kepalanya, berusaha membuang jauh niat jahat. Tubuhnya disandarkan pada dinding bangunan kuno di tepi sungai pasar Johar. Sherli belum juga datang. Dalam benak, ia merasa bersalah, bisa jadi Sherli telah datang dan kembali pergi karena jenuh menunggu kedatangannya. Atau, gadis berambut sebahu itu mencoba meminum bir dengan teman-temannya. Bisa jadi ia tidak tahu ukuran minum bagi pemula. Jika benar itu terjadi, maka mabuklah ia.
Sherli akan menjatuhkan tubuhnya di sofa diskotik, pandangan matanya nanar, atau bahkan ia memuntahkan seluruh isi perutnya. Orang-orang tidak peduli, lampu remang-remang membuat pandangannya semakin kabur. Sherli sendirian, ia lupa di mana tempatnya berada. Sampai, seorang laki-laki menemukannya tergeletak di meja.
“Sherli” ia mendesis, terperanjat membayangkan sesuatu yang buruk terjadi pada Sherli. Ia membayangkan seorang laki-laki itu mencoba menolong Sherli. Mula-mula membawanya ke kamar, membaringkannya di kasur dan merentang kedua tangannya untuk mengalirkan udara ke dadanya. Lalu membuka kaus di atas pusar untuk menoleskan Frescare atau membuka sedikit kancing celana jinsnya agar tidak menghimpit perut. Laki-laki itu mencari cara membuat napas buatan supaya Sherli tersengal, terbatuk dan siuman.
Itu tidak boleh terjadi! Ia bergegas, berlari melewati jembatan. Kakinya mendadak seperti terbang, tangannya menyingkirkan satu dua orang yang lewat di hadapannya. Dia terjatuh, terkapar. Mulutnya terus berdesis, mengancam seseorang yang akan berbuat jahat kepada Sherli. Ia berjanji akan membuat perhitungan dengannya.
Waktu berlalu, ia terbangun oleh langkah orang-orang yang hendak pergi ke pasar. Ia terbangun oleh gemuruh angkot yang menderu di bawah penginapannya. Tetapi, sebenarnya ia terbangun oleh sengatan dingin di kulitnya. Dalam cahaya temaram, ia melihat seseorang terbaring di sampingnya.
‘Sherli!” ia terpesona dengan pemandangan di sampingnya. Sherli terbaring dengan kulit sedingin es krim. Pakaiannya basah kuyup, menggambarkan seluruh bentuk dibaliknya. Ia pun gemetar, lalu memeluknya.
“Sherli”
Gadis itu tersenyum begitu manisnya. Sherli kembali berbaring dan jari-jarinya menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.
“Sherli, apa yang kamu lakukan di sini?”
Gadis itu menurunkan selimut dari wajahnya. Seperti menggoda, “Menjadi model lukisanmu” jawabnya sambil tersenyum malu.
“Aku suka caramu melukis seperti semalam. Aku suka!”
“Semalam aku melukis?” ia bertanya sambil menyalakan lampu, membuat mata gadis itu menyipit karena silau.
Ia beranjak, memperhatikan kanvas yang tergeletak di lantai, tepat di bawah jendela yang terbuka tirainya. Dalam lukisan, ia melihat gadis yang menggigil, dengan pakai kuyup dan tubuh setengah telanjang.
“Semalam kamu menjemputku di depan toko buku, kita berjalan berpelukan, berkali-kali kamu mencium pipiku. Lalu memasuki kamar kontrakanmu. Kamu memintaku mandi tanpa melepas baju. Aku suka caramu melukisku.” *
Rachmawati Ash. Wanita bergolongan darah AB. Vegetarian yang tidak bisa menulis tanpa ditemani musik.