Bagaimana mungkin seseorang mampu menelantarkan bayinya, sementara di belahan bumi lain, seorang ibu harus berjuang setengah mati untuk sekadar bisa menimang malaikat kecil yang terlahir dari rahimnya sendiri?
***
“Ayah, maafkan Bunda ….” Setetes air meluncur jatuh dari netra. Ingin kuseka, namun justru menderas. Membasahi raga sekaligus hati dengan luka yang terlampau perih.
Cepat telunjuk lelaki itu menyentuh bibirku. Mata teduhnya menatap lekat. Menyalurkan kelembutan di balik hatinya yang sesungguhnya begitu rapuh.
“Jangan menyalahkan diri sendiri, Bun. Semua sudah jadi kehendak Allah.”
Aku tergugu di atas pembaringan dengan seprai berwarna putih. Sedetik kemudian, lengan kekarnya sudah melingkari tubuhku. Terasa sekali jari jemarinya mengusap lembut jilbab segiempat yang terpasang tidak sempurna. Membiarkanku melepaskan segala resah pada dada bidangnya.
Jika seorang wanita merasa kesakitan saat melahirkan, lalu dapat terhapus begitu saja ketika mendengar suara tangis malaikat kecilnya, maka di tempat lain, ada wanita yang harus menahan pilu berkepanjangan karena tak merasakan hal yang sama.
Karena bukan tubuh mungil yang ia sambut, melainkan hanya darah yang membasahi pakaian bagian bawah, yang membuat mereka mau tidak mau harus merelakan kepergian buah hati yang tengah dinanti.
Dan di sinilah aku, tengah dibanjiri air mata. Karena untuk ketiga kalinya harus kehilangan dia yang aku cinta, bahkan sebelum dia mewujud sempurna.
***
“Sayang, apa kau melamun?”
Aku tergeragap. Suara lelaki yang kini berada di sampingku menyentakkan angan. Bahkan, nyaringnya suara ketel yang mengepulkan uap panas dari lubang kecilnya pun sempat tak tertangkap indera.
Aku baru saja hendak bangkit, ketika lelaki itu telah lebih dulu menuju kompor dan mematikannya. Dia kemudian menoleh, berjalan mendekat, menarik salah satu kursi di sebelah kiri, lalu menghempaskan pantat di sana. Kini, kami hanya berjarak beberapa senti.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya. Ia menjulurkan lengan, menyentuh kedua tanganku, lalu menariknya. Meletakkan kedua tangannya yang kini menggenggam erat di atas pangkuanku.
Ah, apakah sebegitu kentaranya perasaan yang berusaha kusembunyikan sehingga ia bertanya demikian?
“Yah, apakah kita masih bisa punya anak?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku, diiringi setitik air yang turut merembes membasahi pipi.
Dia sedikit tersentak. Sesaat mengalihkan pandangan sembari mengembuskan napas panjang. Seakan berusaha membuang risau yang sebenarnya tengah ia tekan kuat-kuat, jauh di dalam dasar hatinya.
Sedetik kemudian, ia kembali menatapku.
“Insyaallah, Bunda. Kita berdoa sama Allah, ya.”
“Tapi Bunda lelah,” suaraku mulai bergetar. Teringat bahwa tak kurang dari sembilan tahun kami menjalani hari dengan penuh perjuangan. Berpindah dari satu dokter ke dokter yang lain, dari satu klinik ke klinik yang lain. Dan entah berapa ribu obat yang sudah aku telan.
Tak menyerah sampai di situ, jamu herbal dari yang berbentuk sachet sampai racikan sendiri pun turut pula memenuhi lambung. Tapi apa? Nol besar! Semua tak kunjung membuahkan hasil.
Lelaki itu kembali mengembuskan napas panjang. Menarik tangannya yang sedari tadi menggenggamku erat. Kini, punggungnya menyandar pada kursi. Dari sana aku masih bisa merasakan tatapannya tak lepas tertuju ke arahku yang sejak tadi hanya menunduk, menahan lajunya air mata.
“Bunda … apa Bunda menyerah?” tanyanya lagi.
Aku bergeming. Hanya cairan bening yang terus mengalir yang mampu menjawabnya.
“Bunda, coba lihat Ayah!” katanya lagi. Kini, ia menarik kursinya lebih dekat, membuatku mau tidak mau bersitatap dengannya.
“Apa … Bunda menyerah?”
Ah, mata itu … tampak sekali menyiratkan harapan yang tak pernah padam. Lalu, masih sanggupkah aku menghempaskan impiannya?
Aku terisak. Dalam tangis, kugelengkan kepala.
“Bunda tak ingin menyerah, Ayah. Tapi ….”
“Kalau begitu jangan menyerah,” selanya, tak memberiku kesempatan menyelesaikan kalimat. “Kumohon jangan pernah menyerah … demi aku.”
Oh Tuhan, bagaimana mungkin aku sanggup membuatnya kecewa lagi? Sementara Kau memilihku di antara jutaan wanita lain untuk menerima anugerah ini, memberi seorang berhati malaikat untuk setia mendampingiku. Yang aku tahu, tak banyak lelaki mampu bertahan dalam pernikahan seperti ini. Tapi dia? Sepercik pun tak pernah terucap kalimat dari bibirnya untuk mendua. Bahkan setiap kali aku resah dengan pikiranku sendiri, justru dia yang selalu mendamaikan hatiku kembali. Meminta untuk bersama memercayai keajaiban dari-Mu. Yang ia yakini, kelak akan kau hadiahkan untuk kami … suatu saat nanti.
Tuhan, kumohon tolong izinkan aku memberi kebahagiaan untuknya.
Walau hanya sekali.
***
Aku menyandarkan tubuh pada sofa kecil di ruang tamu. Menatap nanar bunga plastik warna merah di atas meja kaca berbentuk oval.
“Bagaimana, Bun?” lelaki di sampingku bertanya penuh harap. Ada binar yang tampak dari manik matanya. Yang kutakutkan akan kembali redup karenaku.
“Apa akan berhasil?” tanyaku ragu.
“Semoga,” jawabnya, “bukankah ini bagian dari ikhtiar?”
Aku bergeming. Perihal harapan, tak bisa kumungkiri, aku pun punya mimpi yang sama dengannya. Tapi salahkah jika kini aku terlalu takut berharap? Takut saat terlanjur menggantung harapan, namun pada akhirnya tak pernah mampu terwujudkan?
“Kita tak pernah tahu sebelum mencobanya, Bun,” dia berkata, seakan tahu apa yang kupikirkan.
Aku menatapnya sejenak, kemudian mengalihkan pandangan ke sudut ruangan. Gamang.
Ya, beberapa saat lalu, pria itu mengutarakan maksud untuk kami mengikuti program bayi tabung.
Ah, sesulit inikah? Mengapa ada wanita yang begitu mudahnya mempunyai banyak anak, namun harus ada wanita yang menginginkannya melalui perjuangan yang teramat berat?
Belum apa-apa, aku sudah membayangkan begitu ribetnya proses ini. Mengembangkan embrio di luar rahim, akankah ini berhasil?
Tapi bukan suamiku namanya jika mudah menyerah. Dia menjelaskan semua tahapan yang ia tahu. Informasi yang ia peroleh dari internet serta hasil bertanya ke sana kemari. Bahkan, ia sudah memikirkan matang-matang dari mana semua biaya akan kami peroleh jika memang ini menjadi upaya kami selanjutnya. Karena ternyata, diam-diam ia telah mengumpulkannya dalam tabungan.
Ah, jahatkah aku? Di saat aku mulai mengabaikan dan berpikir masa bodoh, ia justru dengan penuh semangat berjuang sendirian.
Ya, sendirian.
Tanpa aku di sampingnya ….
Tanpa butuh bantuan seseorang yang sekadar menjaga agar harapan itu terus menyala.
Aku menitikkan air mata.
Beberapa waktu kemudian, kami sudah menjalani program bayi tabung. Memilih dokter spesialis terbaik di kota sebelah karena tidak ada dokter yang mampu menangani program ini di kota kami.
Ternyata, selain memakan biaya yang cukup besar, proses bayi tabung memiliki proses yang sangat rumit.
Awalnya, kami mengkonsultasikan permasalahan selama pernikahan, lalu menjalani berbagai tes laboratorium. Dilanjutkan dengan stimulasi ovum, di mana dokter memberiku beberapa jenis obat untuk menambah jumlah sel telur yang kuhasilkan.
Selepasnya, aku harus melalui tahap ovum pick up. Saat itu sel telur diambil dari rahimku, bersamaan dengan pengambilan sperma lelakiku. Keduanya lalu dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pembuahan. Barulah embrio yang terbentuk akan ditransfer kembali ke dalam rahim.
Semua tak bisa dilalui hanya dalam jentikan jari. Karena setiap tahapannya, ada jadwal yang tak boleh terlewat barang sekejap.
Waktu itu, bolak-balik rumah sakit sudah menjadi makanan sehari-hari bagi kami. Obat-obatan, baik oral maupun injeksi sudah berteman akrab dengan tubuhku.
Lelah? Sangat! Tapi aku tidak menyerah. Karena selalu ada lelaki yang siap mendampingi. Kembali membangkitkan harapan yang sesaat lalu pernah sirna.
Aku memang merasakan semuanya, namun lelakiku tak pernah membiarkanku sendirian. Selalu menguatkan … dengan harapan yang semakin hari semakin nyata.
Lantunan syukur terucap saat seluruh proses selesai kami jalani. Hingga akhirnya, saat ini, di sinilah kami. Menatap dua bidadari kecil yang tengah berlari mengitari lapangan hijau yang terhampar di depan mata. Sembari jemari kiri miliknya bertaut pada jemari kananku.
Sesekali kami tergelak melihat tingkah mereka—anak-anak kami. Tak jarang, pandangan kami bersitatap. Lalu sesungging senyum tercipta. Seolah ingin mengatakan, “Akan selalu ada pelangi setelah hujan, Sayang. Dan Allah akan selalu menjawab doa … bagi jiwa yang tak pernah berhenti melangitkan harapan.”(*)
Kota Mentaya, 15 Feb 2018
Rie Rosa, adalah nama pena dari Ria Rochmi Safitri. Wanita kelahiran Pacitan ini sekarang tinggal di Kabupaten Kotim, Kalteng. Mempunyai hobi membaca sejak kecil dan aktif menulis dalam setahun terakhir. Bagi Rie, menulis adalah sarana mencurahkan imajinasi untuk mengukir sejarah peradaban. Untuk menghubungi Rie, bisa melalui facebook: Bunga Langit.
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-3 Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan