Pelakor Belia
Oleh : Freky Mudjiono
Kuusap peluh yang menetes dengan handuk putih yang tersampir di bahu. Sesi latihan kali ini terasa lebih berat dengan terik matahari yang masih menyengat padahal hari telah menjelang sore.
“Siap-siap!” Coach Heri menepukkan kedua tangannya kuat, membuat tim serentak mengeluh.
“Hei… Ingat! Piala Menpora!”
“Siap, Coach!!!” Kami menjawab sambil berlarian ke posisi masing-masing.
Dari ekor mata, bisa kulihat Mbak Mala duduk dengan santai di kursi pelatih. Ada naungan yang melindungi kulit wajahnya dari terpaan matahari. Aku mendengkus. Hampir setiap kali melatih, Coach Heri selalu ditemani istrinya itu.
Padahal hanya seminggu sekali, kesempatanku memperoleh perhatian Coach Heri. Dan mesti terampas dengan kehadiran Mbak Mala yang selalu mengawasi dari kejauhan.
Terus terang, sejak pertama kali masuk dalam tim, aku terpesona pada pelatih keren itu. Garis wajahnya tegas. Bibir tipis, hidung mancung, alis mata tebal dan rambut ikal menggemaskan. Komplit. Sering kubayangkan bisa mengucek sayang rambut hitamnya itu. Atau menggosokkan hidung mancungnya dengan hidungku, seperti yang sering kulihat di film-film India. Aah … membayangkannya saja sudah membuat pipiku terasa panas.
Sikap Coach yang selalu perhatian menambah pesonanya. Ia bahkan pernah mengantarku pulang dengan mobilnya yang nyaman, saat aku pingsan setelah latihan fisik yang cukup berat.
Sayangnya, Mbak Mala juga ikut saat itu. Aku jadi tak leluasa bermanja-manja, minimal bersandar ke bahu lelaki idamanku. Aku malah terjebak menahan geram di bangku belakang, menyaksikan kemesraan sepasang suami istri di hadapanku itu. Keterlaluan! Apa mereka tak sadar, kalau aku juga butuh belaian?
Hari ini kubulatkan tekad untuk mendekatinya. Paling tidak, berusaha mengirimkan sinyal-sinyal cinta. Aku harus membuat Coach Heri tahu, bahwa aku telah membuka lebar pintu hatiku. Sehingga tanpa sungkan, ia bisa leluasa masuk kedalamnya.
Meski jarak usia kami cukup jauh, tahun depan aku sudah menamatkan SMU. Sudah layak untuk bergandengan tangan dengannya.
Sepertinya, rencanaku berjalan mulus. Celana training yang biasa kukenakan dalam sesi latihan, hari ini berganti dengan celana pendek bewarna hitam, ketat, jauh di atas lutut ala Blackpink. Baju kaos longgar kuganti dengan tanktop ketat berwarna dustypink yang manis menonjolkan lekuk tubuh.
“Coach Heri… Eits… Mas Heri…” Aku bergaya di depan cermin. Tarikan senyum kuatur semenarik mungkin. Perfecto, batinku puas dengan bayanganku di kaca.
Langkahku ringan berayun seiring tatapan kepo teman-teman satu tim.
“Eh, si Nora tuh ….”
“Iishh … Kepedean.”
“Kok enggak malu, sih?”
Aku hanya tersenyum kecil. Menyibak rambutku yang tergerai. Masa bodoh dengan ucapan mereka. Hari ini, aku akan melejitkan panah cintaku, tepat di netra Coach eh, Mas Heri. Kuhampiri ia yang berdiri di dekat tumpukan barang pemain. Dengan gaya sedikit menungging, kuletakkan tas perlengkapan yang kutenteng. Coach Heri melirik sekilas. Aku memasang senyum manis.
Ah, dia memalingkan wajah.
Aku tertawa kecil dan menyapanya. “Selamat sore, Coach ….” Manja suaraku disertai desah.
“Sore ….” Coach Heri menjawab singkat sambil menunduk memandang board yang sedari tadi dipegangnya. Menggemaskan.
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak mendekat. Sedikit melongok sambil pura-pura ikut membaca dan bertanya.
“Hari ini formasi kita berubah, Coach?” Sedikit kusorongkan wajahku ke hadapannya. Ia pasti bisa mencium aroma parfum yang kusemprotkan tadi sebelum berangkat.
Coach Heri membuang mukanya, “Nanti saya jelaskan bersama tim.” Nada bicaranya sedikit gusar, lalu Ia menjauh beberapa langkah.
Aku sedikit kecewa dengan reaksinya. Tapi tak apa, aku tak ingin terlalu agresif. Lelaki idaman itu pasti hanya tengah terkejut. Atau … mungkin takut karena istrinya ada di sini?
Mataku mengerling ke arah di mana biasanya Mbak Mala duduk menunggu. Wanita itu tengah asyik dengan ponselnya, sepertinya ia tak melihat tingkahku barusan. Baguslah.
Bersenandung kecil, aku pun bergabung bersama teman-teman.
“Nora, besok kau jangan pake baju inilah.” Mery sedikit berbisik ketika beberapa hari berikutnya kami duduk berdua, di pinggir lapangan.
Kutenggak air mineral dari botol minum. Ucapannya tak bermakna bagiku. Aku hanya memandang frustasi pada pria incaranku di depan sana. Ia sedang berdiskusi serius dengan pimpinan klub. Hari ini, aku tak memiliki kesempatan mendekatinya.
“Hei…” Mery menyikut lenganku.
“Kenapa sih, dengan pakaianku? Cuaca panas, apa salahku sedikit terbuka. Gerah tau!” Sedikit sebal, aku menjawab, meskipun bukan itu alasannya sesungguhnya.
“Tapi sudah banyak orang yang memanggil mu pelakor ….” Dengan nada rendah Mery menimpali.
“Bodo amat!” aku berusaha cuek meski sedikit kaget. Jadi, mereka sudah tahu aku mengincar Coach? Bila teman-teman saja sudah menyadarinya, apakah Mbak Mala juga? Aku bertanya dalam hati.
Namun, belum ada reaksi apa pun dari wanita itu. Ia malah sering melempar senyum saat berpapasan denganku. Atau … apakah ia begitu yakin Coach tidak akan berpaling darinya. Sialan! Wanita itu meremehkanku?
Mata sayu tanpa eyeliner ataupun maskara. Bibir yang sedikit hitam tanpa polesan gincu. Seluruh tubuh tertutup pakaian yang panjangnya berlebihan. Cih! Apa istimewanya dia? Lihat saja, besok akan kukenakan pakaian yang lebih tipis.
Bagaimanapun, Coach Heri adalah seorang laki-laki, ia pasti tak akan menolak apa yang kusodorkan. Darah mudaku terasa menggelora. Aku pun beranjak mendekati pujaan hati. Tak peduli panggilan Mery yang memintaku menunggunya.
Anggota tim yang lain sudah berkumpul di tengah lapangan, menyimak intruksi dari Coach. Kusempilkan tubuh di sebelah Ningsih yang kemudian melotot kesal. Bukan urusanku, yang terpenting aku bisa berada disamping Coach Heri, menikmati sepuasnya raut wajah limited edition itu dari dekat.
Prittt! Suara peluit wasit yang nyaring, meniupkan kesadaranku kembali. Kami menyatukan tangan dan meneriakkan yel-yel pemacu semangat. Hari ini ada pertandingan persahabatan dengan klub dari kota lain. Tak ingin mengecewakan Coach, aku berusaha fokus dengan pertandingan.
Dari kejauhan bisa kulihat Kak Lisbet mengoper bola kearah Shirly seiring suara peluit. Beberapa orang dari tim lawan terlihat mendekat. Begitu juga dengan timku.
Aku berlari mengiringi gerak kaki salah satu pihak lawan dengan nomor punggung dua belas. Aku ditugaskan khusus oleh Coach Heri untuk menjaganya. Dia ancaman terbesar bagi tim kami. Bila ia berhasil merebut bola, kecil kemungkinan kami merebutnya kembali tanpa harus kecolongan angka.
Sedapat mungkin, kupepetkan tubuhku dengan tubuhnya. Bersyukur bokongku cukup besar. Sehingga bisa kugunakan untuk mempersulit geraknya. Gadis bertubuh kecil itu terlihat kesal. Aku hanya menyeringai.
Tendangan demi tendangan. Operan, sundulan dan sesekali arah bola yang meleset dari gawang membuat waktu cepat berlalu. Hingga babak pertama hampir berakhir. Napasku ngos-ngosan dan kaki mulai lemas. Terlihat Coach Heri meminta pergantian pemain. Aku pasrah saat diminta keluar dari lapangan. Si nomor dua belas yang kukawal benar-benar lincah. Mengikuti geraknya benar-benar menguras tenagaku. Saat staminaku mulai kendor, lawanku itu masih terlihat dalam kondisi fit. Pantaslah ia menjadi ujung tombak timnya.
Aku terduduk letih, mengawasi permainan teman-temanku yang mulai kepayahan. Sama sekali tak sadar menyadari kedatangan Mbak Mala, hingga sedikit kaget saat ia menepuk pelan bahu.
“Tenang saja, permainan ini masih panjang.” Ia tersenyum menenangkan. Aku hanya diam, malas menjawab. Tak sudi akrab dengannya.
“Hmm … Nora ….” Ia seolah ingin mengatakan sesuatu. Aku menatapnya dengan dada sedikit berdebar.
Inikah saatnya? Momen di mana ia berusaha menjegal langkahku merebut suaminya?
“Ah, nanti saja.” Mbak Mala mengelus pelan punggung tanganku lalu tersenyum tipis.
Apa? Aku meringis. Antara lega dan penasaran. Sedikit keder juga bila Mbak Mala mengajak ribut di saat begini. Dapat kulihat, Coach Heri masih fokus pada pertandingan. Hatiku bergetar melihat keseriusannya.
Tenanglah, Viaj ach! Apa pun yang ingin dikatakan Mbak Mala, aku tak akan mundur darimu. Senyumku kembali tersungging. Yes, semangat Nora! Aku menyemangati diri sendiri.
___________
Cermin aneka bentuk memenuhi dinding cafe. Memantulkan bayangan tubuhku melangkah yakin menuju seseorang yang telah menunggu di sudut ruangan. Ruangan yang cozy sedikit mengusir rasa tak nyaman melihat ia duduk dengan tenang.
Mbak Mala terlihat santai melambaikan tangannya ke arahku. Senyum ramah tak lepas dari bibirnya. Aku sedikit bergidik. Sebesar itukah rasa percaya dirinya?
Teringat kembali percakapan singkat kami via telepon tadi malam.
“Nora, bisa kita ketemuan besok?” tanyanya setelah berbasa basi menanyakan kabarku.
“Eh, iya. Bisa, Mbak.” aku merutuki diri sendiri yang tergagap.
“Di cafe depan stadion, ya. Sekitar … jam lima sore?”
“Oke, Mbak. Tapi… Masalah apa, ya?” Jantungku berdetak lebih kencang menunggu jawabannya.
“Hmmm … penting. Mas Heri meminta saya mendiskusikan sesuatu denganmu.”
Deg!
“Nora …?”
“Eh, iya. Besok saya datang, Mbak ….” Bagaimana pun, saat ini akan datang. Saat aku dan Mbak Mala, harus bertatap muka demi memperebutkan cinta.
Di sinilah aku sekarang. Berusaha duduk dengan nyaman di hadapannya.
“Mau pesan apa?” Lembut nada suaranya, tapi membuatku muak.
“Enggak usah, Mbak.”
“Ayolah … saya pesankan moccachino dingin, mau?”
“Terserah Mbak saja.” kupalingkan wajah ke arah jendela. Bunga mawar aneka warna tumbuh bergerombol di luar sana.
“Nora … kamu tidak apa-apa?” Penuh perhatian Mbak Mala bertanya padaku.
Ia sangat pandai memainkan peran. Tadinya, kupikir kami akan bersitegang urat. Namun, di luar perkiraan, sedari tadi sikapnya begitu lembut. Bagaimana cara melawannya?
Aku mereka-reka skenario yang akan terjadi. Haruskah aku pura-pura menangis? Mungkin Mbak Mala akan iba dan bersedia membagi cinta Coach Heri denganku.
Baiklah!
Kutundukkan wajah dalam-dalam. Kubayangkan hal-hal sedih yang pernah terjadi dalam hidup. Dari pernyataan seorang aktris di infotainment yang kutonton, begitulah cara ia menghayati peran sedihnya di sinetron.
Srott … Srott … Aku berpura-pura menyedot ingus. Untung saja aku sedikit pilek dari tadi pagi, sehingga jadi tidak terlalu sulit. Sedikit air mata yang berhasil keluar dari ujung mata, kuseka lambat dan perlahan agar terlihat dramatis.
“Nora ….” Mbak Mala sepertinya kaget melihat air mata buayaku. Digenggamnya tanganku erat. Sorot iba terpancar dari matanya.
Bagus!
“Mbak … hu … hu … hu ….” Aku mengeraskan suara tangis.
Mbak Mala beranjak mendekat dan merangkulku. “Ssttt. Sudah … sudah. Jangan menangis. Kita bicarakan pelan-pelan,” bujuknya.
Aku mengangguk dengan wajah sedih yang dibuat-buat.
“Saya mengerti perasaan Nora.” Ia menyodorkan minuman yang baru diantarkan pelayan kepadaku. “Saya juga pernah mengalami apa yang kamu alami.” Tipis senyum di bibirnya.
Aku terperangah. Benarkah? Ia juga pernah menjadi seorang … pelakor?
“Waktu seusia kamu, saya pernah memberontak pada Abah. Ingin tampil trendi, modis. Jilbab dan baju muslim, saya tanggalkan semua. Saya selalu ke mana-mana dengan celana jeans dan kaos ketat.” Ia mengusap wajahnya kasar, dapat kulihat bibirnya samar beristighfar.
“Tapi rasa puas dan bahagia itu … hanya sekejap. Berganti rasa tak nyaman. Saat saya menyadari, tubuh saya menjadi incaran tatapan tak sopan dari para pria. Sementara teman-teman wanita, akan sibuk membicarakan saya di belakang.” Ia terdiam. Begitupun aku.
“Itu, adalah masa-masa yang paling saya sesali dalam hidup selama ini.” Mbak Mala menepuk punggung tanganku pelan. “Menemukan jati diri, adalah fase menuju kedewasaan.” tatapan matanya bersungguh-sungguh.
Aku masih belum mengerti apa yang ingin disampaikan Mbak Mala.
“Jadi, apa pun yang dibicarakan orang, jangan putus asa. Bersemangatlah!” Perkataannya terakhir, jauh di luar dugaanku.
Apa itu, tadi? Benarkah? Ia membahas pakaian? Atau apa? Apa ia sungguh-sungguh menyemangatiku untuk mendekati suaminya?
Aku masih tak percaya dengan apa yang baru kudengar, otakku tak mampu mencernanya. Aku hanya bisa mengangguk saat Mbak Mala minta izin untuk pamit lebih dahulu. Bingung, kutatap sosoknya yang berjalan menjauh.
Hari-hari berikutnya, aku masih belum yakin sepenuhnya. Di mana ada seorang istri mengizinkan seorang pelakor merebut hati suaminya. Aneh, bukan?
Lelah berspekulasi, akhirnya kuputuskan berkonsultasi dengan sahabat terbaikku. Mery hanya terbelalak kaget sambil menutup mulutnya yang terbuka, saat kuceritakan betapa aku mencintai Coach Heri.
“Nora … kau ….” Ia seolah tak percaya.
“Kenapa kaget? Bukankah kalian semua sudah mengetahuinya?” Aku bangkit dari tidur dan duduk menyender di samping Mery.
“Bahkan, Mbak Mala sudah berbicara denganku. Ia menyemangatiku!” Ada sedikit rasa pongah dalam ucapanku.
“Nora. Kau salah pa ….”
“Aku tidak malu, kalian sebut pelakor. Aku memang ingin merebut cinta Coach Heri. Apalagi, Mbak Mala sudah membuka jalan!” kupotong ucapannya dengan sedikit emosi.
Mery menggelengkan kepalanya, lalu mengguncang bahuku keras. “Kau salah paham … Nora!!” ujarnya setengah berteriak.
Aku terdiam, menyimak penjelasannya kemudian.
“Aku yang meminta Mbak Mala berbicara denganmu tentang sebutan pelakor itu. Teman-teman mengejekmu dengan sebutan pelakor. Bukan bermaksud perebut laki orang!”
Masih tak mengerti, kupandangi wajah Mery.
“Kau, Nora! Kau seorang Pe … La … Kor … Pemain, boLa, Korengan!” Gemas Mery menjelaskan.
Aku masih melongo.
“Ini … Ini, ini.” Mery menunjukkan sejumlah bekas kudis yang cukup banyak di betis, lutut dan lenganku. “Kamu jadi bahan tertawaan teman, Nora! Bahkan Coach Heri juga! Aku meminta Mbak Mala untuk menasehatimu. Berpakaian terbuka begitu, bekas korengmu terlihat semua. Dasar!” Mery mendorong jidatku hingga terantuk ke dinding.
Jadi? Pemain boLa Korengan?
Bugh! Aku ingin pingsan!(*)
Freky Mudjiono. Penulis wanita yang berprinsip, ‘Buatlah kebahagiaanmu sendiri.’
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.