Pelajaran untuk Si Kancil yang Jail
Oleh: Nuke Soeprijono
Di suatu tempat yang jauh, terdapat hutan yang sangat hijau dan subur. Di sana banyak ditumbuhi pohon yang tinggi dan besar-besar. Tak ketinggalan pula ada air terjun di ujung lembah dan sungai yang mengalir jernih di bawahnya. Beberapa binatang di sana juga hidup rukun berdampingan.
Alkisah, di hutan itu hiduplah seekor burung kepodang cantik nan bijaksana. Ia bersahabat dengan Gajah yang baik hati dan Kancil yang terkenal cerdik. Namun sayang, kadang akal cerdik si Kancil sering digunakan untuk berbuat jail pada binatang lain.
Siang itu, si Gajah yang baik hati sedang berjalan-jalan. Biasanya Gajah itu akan mengumpulkan daun, buah-buahan, ranting, atau kulit batang pohon yang mengelupas sebagai bahan makanannya. Saat asyik mengunyah ranting yang berserak di bawah pohon randu, ia melihat si cantik Kepodang sedang terbang rendah di antara deretan semak-semak perdu dan pohon pepaya.
“Hai, Kepodang. Kamu sedang apa di situ?” sapanya ramah. Kepodang yang sedang bertengger pada batang pohon pepaya akhirnya mendongak dan membalas sapa si Gajah.
“Eh, kamu rupanya, Gajah. Aku lagi pengin makan pepaya ini,” jawab si Kepodang sambil mengarahkan paruh pada buah pepaya di sebelahnya.
Kulit pepaya itu terlihat kuning kemerahan. Pasti rasanya manis sekali. Melihat hal itu si Gajah yang baik hati ingin memetik dan memberikan pada Kepodang yang cantik. Namun, ditolak secara halus oleh si Kepodang.
“Tidak usah, sahabatku. Aku biasa memakan pepaya sambil bertengger seperti ini. Kamu tidak perlu repot memetiknya untukku. Hmm … tapi kalau kamu mau, kamu boleh, kok, memetik pepaya ini. Ayo kita makan bersama.” Burung kepodang itu menawarkan pada gajah untuk makan buah pepaya bersama-sama.
“Oh, tidak perlu, Kepodang. Aku sudah cukup kenyang setelah tadi makan di dekat pohon randu. Baiklah, kalau begitu aku mau lanjut jalan-jalan lagi, ya,” ujar si Gajah ramah.
Kepodang mengangguk dan mempersilakan gajah untuk melanjutkan perjalanannya. Tak seberapa lama, sampailah si Gajah di tepian sungai yang sangat jernih dan tidak terlalu dalam. Mengingat cuaca hari itu sangat panas, timbul niatnya untuk berendam bermain air. Si Gajah dengan gembira segera turun ke sungai dan berjalan mengapung menuju tengah.
“Ah, segarnya siang-siang begini mandi air sungai,” gumam si Gajah sambil menyemprotkan air dengan belalai ke sekujur tubuhnya.
Tidak jauh dari tempat si Gajah mandi, tiba-tiba si Kancil muncul. Ia bermaksud minum di pinggir sungai. Belalai Gajah yang panjang membuat air menyemprot dan membasahi badan si Kancil. Merasa terganggu, si Kancil lalu menegur si Gajah.
“Hei, Gajah, bisa tidak kamu mandinya biasa aja? Badanku jadi basah semua, nih, kena semprotan belalaimu!” teriak si Kancil tak suka.
Si Gajah terkejut, ia tidak menyangka ada binatang lain di dekatnya. Sepertinya tadi tidak ada siapa-siapa saat ia tiba di sungai ini.
“Oh, maafkan aku, Kancil. Aku nggak tau kalo ada kamu di situ. Maaf, ya,” sesal si Gajah berulang kali meminta maaf karena memang tidak tahu bahwa ada kancil di dekatnya.
Akan tetapi, si Kancil yang jail itu tidak mau memaafkan Gajah begitu saja. Dengan akal cerdiknya ia malah berniat untuk mengerjai.
“Enak saja kamu cuma minta maaf seperti itu. Badan aku sudah basah semua seperti ini!” sungut si Kancil masih dengan nada tinggi.
Gajah yang baik hati itu langsung merasa bersalah. Ia ingin menebus kesalahannya pada si Kancil. Dengan tulus dan mengiba ia bertanya pada Kancil, “Ya sudah, aku harus berbuat apa, agar kamu mau memaafkan aku?”
Aha! Seketika otak cerdik Kancil berputar.
“Oh, jadi kamu mau tau harus bagaimana? Baiklah, sebagai ganti dari ulahmu ini, kamu harus menggendongku jalan-jalan keliling hutan!” tukas si Kancil menjawab pertanyaan Gajah sebagai persyaratan. “Gimana, kamu mau, ‘kan?” lanjut si Kancil lagi.
Sejenak si Gajah terdiam, sebelum akhirnya menyetujui persyaratan si Kancil. “Baiklah, kalau itu bisa membuat kamu memaafkan aku. Ayo, naik ke punggungku,” pungkas si Gajah.
Mendengar perkataan si Gajah, Kancil tersenyum puas. Akhirnya si Kancil yang cerdik ini berhasil memanfaatkan kebaikan hati si Gajah.
Dari kejauhan rupanya si Kepodang memperhatikan kejadian itu. Segera ia terbang mendekati para sahabatnya.
“Hei, tunggu!” teriak si Kepodang lantang membuat langkah Gajah yang sedang menggendong Kancil terhenti.
“Apa yang kamu lakukan, Kancil? Kenapa kamu tega menyuruh Gajah seperti ini?” tanya Kepodang pada Kancil yang sudah duduk manis di punggung si Gajah.
Kancil tidak suka ditanya seperti itu. Dengan ketus ia menjawab, “Memangnya kenapa, hah? Kamu iri, ya, sama aku? Kamu pengin digendong Gajah juga?” Kancil balas bertanya pada si Kepodang.
“Bukan begitu, Cil. Tapi aku lihat semua tadi kejadiannya. Gajah kan nggak sengaja bikin badanmu basah. Kamu sengaja, ‘kan, ngerjain dia. Mentang-mentang si Gajah baik hati,” omel si Kepodang.
Si Kancil tertawa meringis. Ia merasa malu ada yang mengetahui kelakuan jailnya. Akan tetapi, ia tak mau menyerah begitu saja. Si Kancil masih berusaha membantah tuduhan Kepodang.
“Eh, kamu kok jadi nuduh aku? Coba tanya aja sendiri sama Gajah, gimana ceritanya tadi,” bantah si Kancil dengan penuh emosi.
Si Gajah kemudian menceritakan kejadian sebenarnya pada Kepodang.
“Trus, kamu mau, gendong si Kancil keliling hutan cuma gara-gara masalah sepele seperti itu?” tanya Kepodang gemas.
Gajah diam saja. Kancil yang akhirnya merasa tak enak hati, lalu merosot dari punggung si Gajah.
“Sudahlah, lebih baik aku turun saja. Toh, aku juga masih kuat berjalan berkeliling hutan,” kata si Kancil kemudian.
Mendengar hal itu si Kepodang lega. Ia batal melihat kezaliman terjadi di antara dua sahabatnya itu.
“Nah, gitu, dong! Kan enak kalo di antara kita tidak ada yang diperdaya. Nggak baik, tau, ngerjain sahabat sendiri, meskipun dia nggak marah. Sebab, kalau keseringan, lama-lama juga dia merasa nggak nyaman. Ujung-ujungnya bisa merusak persahabatan.”
Panjang lebar si Kepodang yang bijak ini menjelaskan. Akhirnya, si Gajah dan Kancil jalan-jalan keliling hutan beriringan dan si Kepodang ikut terbang rendah di samping mereka.
Nuke, Si Alter Ego yang sedang belajar menulis.
Editor: Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.