Payung Hitam
Oleh : Retno Ka
Satu jam lebih Sera berada di tempat itu. Taman kota dengan pohon flamboyan yang mendominasi. Tak ada kepentingan berarti; seperti menunggu seseorang, atau membaca buku. Ia hanya bergeming di bangku besi yang mulai karatan. Memandang kosong ke depan, dan hanya bergerak ketika kesemutan. Pikirannya memang sedang kalut. Pagi tadi, ia bersitegang dengan bapaknya. Bukan tersulut dari masalah yang besar sebenarnya. Bapaknya hanya menggoda pasal seorang pemuda yang sering mengantarnya pulang ke rumah, sesuatu yang juga sering dilakukan. Biasanya Sera menanggapi dengan rona wajah yang bersemu merah, tetapi pagi tadi lain. Sera serta-merta marah. Ditinggikannya nada bicara, menuntut bapaknya untuk berhenti membahas pemuda itu. Terlihat jelas bagaimana wajah bapaknya yang kaget. Ia tak ingin pulang karena tak berani melihat wajah itu lagi.
Semua gara-gara pemuda bernama Yan. Pagi tadi, saat di kampus, Sera mendapati Yan turun dari sebuah mobil berwarna kuning. Semua tampak asing di matanya, termasuk sosok perempuan yang ikut turun dari mobil itu. Sera ingin mendekat dan bertanya kepada Yan siapa perempuan itu, tetapi ia takut jika tak bisa menahan emosinya saat mendengar jawaban Yan. Ia mungkin akan menjambak perempuan itu, atau bahkan menampar pipinya. Itu akan memalukan baginya, yang bahkan tak memiliki hubungan pasti dengan Yan. Sera memutuskan pulang, padahal kelasnya akan segera dimulai. Dan keputusan itu, rupanya mala petaka. Bapaknya yang tidak tahu apa-apa, menjadi sasaran luapan amarah Sera.
“Tumben, Yan nggak nganter kamu pulang?”
“Sera lagi pusing, Pak. Tolong jangan bahas siapa pun dulu.”
“Wah, kayaknya lagi marahan, ya? Jangan lama-lama, ya … nggak baik.”
“Udah, Pak! Jangan begini! Aku sama Yan itu nggak punya hubungan apa-apa.”
***
Sera gusar. Dilepaskannya satu ikatan napas dengan kasar. Lalu, beberapa tetes air menitik di tangan Sera. Membuatnya terkesiap, saat disadari warna langit yang sudah begitu gelap. Hujan lebat tampak akan menyerbu dalam beberapa kejap. Sementara di sudut lain taman itu, seorang perempuan paruh baya sedang membujuk gadis kecil yang tengah asyik merangkai bunga-bunga semak.
“Bentar lagi, Ma,” rengek gadis kecil.
“Nanti kita ke sini lagi. Ini sudah gerimis, Sayang. Kita pulang dulu, ya?”
“Iya, deh.” Gadis kecil menurut, meski dengan wajah sedikit merengut. Sang ibu tersenyum mafhum, mengusap poni gadis itu dan direkahkannya sebuah payung berwarna biru yang disiapkan dari rumah.
Sera melihat pemandangan itu. Senyumnya tersungging tipis, berikut dengan air mata yang jatuh tanpa disadari. Teringat ia akan masa-masa itu, ketika ia masih sepolos si gadis kecil. Hanya saja, sosok yang menyertai dirinya saat itu adalah sang bapak, bukan ibu. Sebab ibunya memang telah menutup buku kehidupan, persis ketika buku kehidupannya terbuka.
Hujan sedang turun begitu derasnya ketika bel berdentang menandai waktu pelajaran yang sudah selesai. Sera bersama teman-temannya di kelas dua dulu bersiap menghambur ke luar. Sementara di depan pintu, para orangtua telah berjejal dengan payung di tangan masing-masing. Sera berdebar melihat payung-payung itu. Lalu, ketika didapatinya sosok sang bapak, air mukanya mendadak pucat begitu saja. Ia malu dengan payung yang dibawa bapaknya. Warnanya hitam dan berukuran besar. Seperti payung yang digunakan orang-orang kampung saat mengantar jenazah. Ia tiba-tiba merasa khawatir ditertawakan oleh teman-temannya yang jail. Maka, ia pun berlagak tidak melihat bapaknya dan justru memilih berlari menembus hujan. Menghindari sang bapak yang terus berteriak memanggil. Tidak peduli badan dan buku pelajaran dalam tasnya basah kuyup. Sera berharap, setelah itu bapaknya akan berpikir untuk membeli payung baru sewarna pelangi. Namun, kenyataan yang terjadi setelahnya tidaklah sama dengan yang diharapkan Sera. Bukan saja perihal bapaknya yang tidak membelikan payung baru, sebab Sera sendiri telah menghapus keinginannya itu. Keinginan yang setelah disadari, ternyata sangat konyol, sampai-sampai membuatnya jatuh sakit hingga berhari-hari. Beruntung sang bapak tidak langsung paham akan keinginan itu.
“Kemarin itu Bapak panggil-panggil Sera, loh. Kok Sera malah makin kenceng larinya?” tanya sang bapak, sembari tangannya memijit-mijit kepala Sera.
“Sera gak denger Bapak. Maaf, Pak,” sahut Sera, berbohong.
“Ya sudah, gak apa-apa. Lain kali kalau hujan jangan langsung pulang. Tunggu sebentar, Bapak pasti datang buat jemput Sera.”
“Ya, Pak.”
“Ini Bapak mau masak sup jamur bentar. Sera tinggal tidur saja. Nanti Bapak bangunin kalau sudah siap. Masih pusing, kan?”
Sera luruh. Memorinya terus berputar mempertontonkan adegan demi adegan yang pernah dilaluinya bersama sang bapak. Beralih dari kejadian payung hitam itu ke kejadian lain, dan tidak sekali pun ia pernah melihat bapaknya menunjukkan air muka marah kepadanya. Dan pagi tadi, ia telah bersikap buruk kepada bapaknya. Sikap yang lebih kekanakan, bahkan jika dibandingkan dengan sikapnya saat ia masih anak-anak. Bapaknya tidak tahu menahu perihal masalahnya dengan Yan—pemuda yang disinggung itu. Namun, dengan semena-mena ia melampiaskan amarah kepada bapaknya.
Hujan benar-benar tumpah, deras dan disertai angin lumayan kencang. Sera pun menyilangkan tangan ke depan dada karena merasa kedinginan. Namun … dingin? Sera bingung mengapa hanya dingin yang dirasakannya, tanpa air yang turut mengguyur tubuhnya. Sera pun mendongak. Rupanya, sebuah payung telah menaunginya. Payung legendaris itu, yang berwarna hitam dan berukuran besar. Tampak ada bekas perbaikan di beberapa bagian.
“Kau?!” Sera terjungkat, saat dilihatnya siapa yang membawa payung itu. Yan.
“Halo, Sera!” ujar Yan sembari mengambil posisi duduk di sebelah Sera.
“Ngapain?” tanya Sera datar.
“Menjemputmu, apa lagi?”
“Maksudku, bagaimana bisa tahu aku di sini?”
“Tadi ke rumah, terus aku disuruh Bapak untuk jemput kamu di sini. Ya, jadilah.”
“Bagaimana Bapak bisa tahu?”
“Nggak tahu.” Yan mengedikkan bahu.
Sesaat mereka bergeming. Mengamati hujan yang deras dengan sama-sama hening.
“Ayo pulang!”
Sera menggeleng, tanpa melihat ke arah Yan.
“Kenapa? Bapak sudah masakin sup jamur, loh,” bujuk Yan.
“Sup jamur?”
“Lagian ngapain sih di sini? Hujan-hujan begini. Ada seseorang yang mau kukenalkan ke kamu, Ser. Dia menunggu di rumah dari tadi.”
“Perempuan berambut pirang itu?”
“Jadi kamu sudah lihat dia? Bagus kalau gitu.” Yan bersiap menggandeng tangan Sera, tetapi Sera segera menepisnya.
“Siapa dia? Kenapa kamu harus mengenalkannya padaku?”
“Ya harus dong, biar kenal sama calon adik iparnya.”
“Maksud kamu?”
“Ish, kamu ini lemot juga. Dia kakakku, baru pulang dari Australi.”
Seketika Sera tersentak mendengar pengakuan dari Yan.
“Kakak?”
“Ya, kakakku. Satunya-satunya keluarga yang aku punya. Pernah kuceritakan ini padamu, lho. Pasti lupa, kan?”
Sera tertawa. Mulanya hanya tawa kecil saja, tetapi kemudian sangat keras hingga mengalahkan gemuruh hujan. Ia tidak sanggup menahan kegelian yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Membuat Yan bingung dan setengah bergidik.
“Ada apa, sih?”
“Nggak. Aku hanya lapar, ingat sup jamur bikinan Bapak. Ayo pulang!”
Jepara, 15 Agustus 2021
Retno Ka, perempuan sakit yang berharap bisa sembuh dengan menulis. Ia merupakan ibu dari seorang anak lelaki sekaligus anak perempuan satu-satunya dari empat bersaudara.
Editor : Inu Yana
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan Kontributor
Mengirim/Menjadi Penulis Tetap di Loker Kata