Patahnya Sang Cornflower (Terbaik ke-15 TL15)

Patahnya Sang Cornflower (Terbaik ke-15 TL15)

Patahnya Sang Cornflower

Oleh: MsLoonyanna

Terbaik ke-15 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)

 

Aku selalu percaya bahwa nama adalah cetusan sakral sebagai manifestasi afeksi teruntuk orang-orang berharga yang berhak memilikinya. Bagiku, semua orang tentu berharga—setidaknya, dalam radar orang-orang tertentu di lingkaran hidup mereka. Apa yang tak kutahu, rupanya tak setiap manusia dinilai sesuai dengan apa yang mereka percaya ….

***

Aku tak ingat hari apa tepatnya kemalangan itu bermula. Mungkin, beberapa waktu di musim semi tahun 1945. Setelah dingin yang menggigilkan tulang belulang datang dan sebelum panas menyengat yang membakar punggung menyambut.

Kendati demikian, aku mengingat dengan jelas bagaimana kami kelimpungan mencari perlindungan dari serangan udara dan kejaran artileri Soviet. Berlari mengejar bayangan dalam rasa panik serta cemas luar biasa. Setidaknya, berusaha lebih baik daripada tak melakukan apa pun sama sekali, bukan? Meskipun kami tahu benar ganjaran apa yang akan kami terima jikalau sampai tertangkap.

Ah, usiaku sungguhlah belia kala itu. Enam belas, kurasa? Dengan sekujur tubuh meretek takut, aku dan puluhan warga sipil lainnya berlutut dalam kubangan air super dingin di sebuah tambang tak terurus di Halle-Bruckdorf, Jerman Timur. Ya, kami tertangkap. Sungguh bukan kisah yang manis untuk dikenang.

Sesaat setelah gempuran bunyi penembakan berhenti yang diiringi desah kepasrahan dan keputusasaan dari mulut kering kami, kami lantas digiring paksa menuju sebuah kamp besar. Benakku semakin kusut ketika menyadari bahwa mereka, para Tentara Merah Soviet, memisahkan tahanan. Aku dan beberapa gadis muda lainnya tak dibawa ke kamp utama, melainkan diseret ke sebuah bangunan khusus sebelum dikunci di dalam gudang bawah tanah.

“Ruth, geht es uns gut?“[1] Aku bertanya dalam suara mencicit. Sulit untuk menghentikan gigil ketakutan yang membelit sekujur tubuh. Lagi pula, hanya Ruth, sepupuku, yang kukenal di tempat itu. Usianya sekitar enam atau tujuh tahun lebih tua dariku dan ia sedang berkunjung ke rumah ketika kekacauan mengerikan tersebut terjadi. Aku bahkan tak tahu di mana Mama serta Papa berada selepas bersikukuh menyuruh kami untuk pergi tanpa mereka dengan alasan bahwa keduanya akan segera menyusul.

Ah, kenyataannya … itu justru adalah kali terakhir aku melihat mereka.

Mach dir keine Sorgen, Greta. Wir werden in Ordnung sein. Alles wird gut werden.“[2] Meskipun bibir Ruth terlengkung membentuk senyum, aku tahu betul bahwa ia pasti sama cemas dan gelisahnya denganku. Masih lekang dalam memori, bagaimana tangannya yang tersampir di pundakku jelas bergetar. Itu sudah lebih dari cukup sebagai bukti. Percayalah, aku sangat ingin memercayai ucapan Ruth, tetapi rasanya sulit. Amatlah sulit.

“Tidurlah, Greta, selagi mereka tak di sini. Kau pasti lelah, ‘kan?”

Aku menatap Ruth cukup lama sebelum mengangguk, mencoba mencari posisi nyaman, meskipun sangat mustahil. Dalam hening, sebuah suara tiba-tiba berbisik di kepalaku: sebenarnya, apa yang kami lakukan di tempat kotor ini? Dikarantinakah? Ah, menyebalkan sekali. Rasanya seperti hewan ternak saja.

***

Entah berapa lama terhanyut dalam gelap tanpa buaian mimpi, aku tiba-tiba saja terbangun lantaran guncangan keras yang menyentak tubuh. Sedetik, kelopak mataku terbuka, rasa lengar luar biasa kontan menyerang. Refleks aku mengerang kecil, merasakan denyut menyiksa yang seakan merobek kepala.

Aku mengerjap dan begitu tercengang tatkala menyadari isak tangis yang memenuhi ruangan sempit tempat kami ditahan. Apa yang terjadi? Mengapa gadis-gadis lainnya menangis? Dan yang terpenting, di mana Ruth?!

“Bangun, bangun, bangun! Buka matamu lebar-lebar, Bärchen[3].”

Aku bergidik mendengar salah satu Tentara Merah memanggilku dengan sebutan itu. Rupanya ia yang telah membangunkanku secara kasar. Hah! Ini sama saja penculikan, benar-benar di luar keinginan kami! Lantas, mengapa berani sekali memanggil dengan panggilan manis begitu, huh? Sungguh menjijikkan!

“Tolong berhenti memanggilku seperti itu! Namaku Greta!”

Sosok tersebut menyeringai. “Greta, huh? Nama yang menarik. Artinya mutiara, ‘kan? Yakin namamu cocok denganmu? Percaya bahwa kau seberharga itu? Karena jawabannya … sepertinya tidak. Setidaknya, tidak lagi dalam beberapa waktu ke depan.”

Aku kontan mendelik mendengarnya. “Ap-apa maksudmu?”

“Nanti kau juga tahu sendiri. Sekarang, ikut aku,” ujarnya sembari memaksaku berdiri. Aku berusaha memberontak, tetapi sia-sia saja. Ia sangat kuat. Tenaganya terlampau besar dibanding diriku yang bertubuh mungil.

“Ma-mau dibawa ke mana? Lepaskan!”

“Hey! Jangan membuat ini menjadi lebih sulit dari yang seharusnya! Cukup ikuti dan kau akan baik-baik saja.”

Baik-baik saja katanya? Apa dia gila? Menurut seperti hewan ternak tanpa ada petunjuk apa pun akan diapakan setelahnya jelas membuatku sangat gelisah! Mataku mulai memanas dan dadaku berubah sesak dalam hitungan sekon.

“Berhenti menangis. Kami yakin kau akan menyukainya. Lagi pula, kami hanya melakukan apa yang memang seharusnya dilakukan.”

Keningku berkerut mendengar penuturan tersebut.

“Orang-orangmu telah merenggut banyak korban di negara kami, menginjak harga diri kami. Oh, kutebak, kau bahkan tak mau membayangkan apa yang mereka lakukan terhadap perempuan-perempuan tak berdaya sepertimu.” Sosok itu tertawa, sementara aku menelan ludah. Jangan bilang kalau ….

“Perlakuan biadab yang sebentar lagi juga akan kami lakukan padamu.”

“Tu-tunggu! Kalian tak punya hak untuk melakukannya! Balas dendam tak akan mengubah apa-apa!”

“Kalau begitu, anggap saja kami hanya bersenang-senang.” Ia mengedipkan sebelah mata. Oh, seandainya saja ia tak berjiwa iblis dan kami dipertemukan dalam situasi normal, maka mungkin aku akan dengan mudah jatuh hati padanya. Jujur, ia sangat tampan. Sepasang bola mata sewarna lautan setelah badai, bentuk tubuh proporsional, serta rahang kokohnya tampak seolah mampu mengiris pesona hingga berkali-kali lipat. Namun, sayang, ia harus menjadi iblis yang terbungkus kulit manusia!

“A-aku tak sudi! Lepas! Lepaskan! Kubilang, lepaskan!” Kenyatannya, ia justru semakin keras menarik lenganku. “Kalian bedebah kotor! Cuih!”

Aku tak akan sadar telah membuang liur ke wajah sosok tersebut jika bukan karena jalaran rasa panas nan pedih yang tercetak meresap hingga ke dalam tulang pipi sedetik setelahnya, membuatnya seketika berdenyut sakit.

“KURANG AJAR! DASAR GADIS JALANG! Aku tak akan sudi berlaku lembut padamu lagi! Kau telah melakukan kesalahan besar!”

Bersamaan dengan itu, kakiku segera meninggalkan tanah dengan posisi kepala yang tiba-tiba sejajar dengan punggung besar Tentara Merah tersebut sebelum akhirnya dibanting cukup keras di atas matras kecil di sebuah ruangan yang baru kutahu ada dalam bangunan. Namun, bukan itu yang membuatku memekik, melainkan ….

“Ruth?!”

Ruth menoleh ke arahku. Wajah kusutnya tampak kaget sebelum bala air mata merembes membasahi pipi kucamnya. Ia terlihat kacau. Sangat kacau. Bibirnya membengkak tak wajar, samar-samar bahkan terlihat membiru.

“Kau boleh pergi. Sekarang gilirannya.” Sang Tentara Merah mengedikkan kepala ke arahku. “Eits! Tapi sebelum itu, kurasa pertunjukan kecil untuk Nona Pembangkang ini akan menarik.” Ia menggesturkan jempol padaku dan tawa keras empat tentara lainnya kontan memenuhi ruangan. Oh, aku bahkan baru menyadari kehadiran mereka di sana.

Tanpa kata, Ruth tiba-tiba membuka blusnya di hadapanku—yang mana membuatku kaget setengah mati—dan memperlihatkan dadanya yang terluka di sana-sini dengan banyak bekas gigitan tak sedap dipandang. Aku sungguh tak sanggup setiap kali harus mengulang memori menyedihkan tersebut, terlebih mengingat apa yang akan terjadi kepadaku setelahnya. Semua kenangan menjijikkan itu selalu membuatku ingin mengosongkan isi perut hingga ke bagian terdalam.

Sejak hari itu … aku, Greta Schröder, benar-benar ….

Patah.

***

Sejak hari itu, prinsipku menukik secara tajam, mendadak berubah haluan. Aku tak lagi percaya bahwa nama adalah cetusan sakral sebagai manifestasi afeksi teruntuk orang-orang berharga yang berhak memilikinya. Mungkin dulu memang begitu. Namun, setelah bertahun-tahun peristiwa kelam yang kualami, setelah bertahun-tahun mendekam di institut mental dengan dinding-dinding dingin yang seolah menertawakanku, rasanya nama hanyalah nama. Hakikatnya, Mama dan Papa berharap aku tumbuh menjadi mutiara berharga, sesuai nama yang mereka berikan. Sayang, kenyataannya, aku justru tumbuh menjadi lumpur kotor yang sampai kapan pun akan tetap menjijikkan.

Sering, aku terbangun di malam hari lalu menangis dan menjerit pada udara kosong. Entah harus menyalahkan siapa. Entah harus bersikap bagaimana. Memang, sebelum pemerkosaan massal masa perang di Jerman, pasukan Jerman juga telah melakukan banyak kejahatan serupa, terutama di Eropa Timur—diiringi banyaknya kekerasan seksual di kamp-kamp konsentrasi. Namun, adilkah untukku?

Bagi Soviet, aku menyimpulkan bahwa merenggut kehormatan para perempuan Jerman sepertiku dan Ruth merupakan hukuman balasan atas kejahatan bangsa kami sebagai akibat penderitaan yang telah negara kami timbulkan terhadap negara mereka. Namun, sekali lagi, apakah ini benar-benar adil? Mengapa harus aku dan perempuan-perempuan lainnya yang menanggung kesumat biadab mereka?

Ya, akulah Greta Schröder, salah satu mutiara Jerman yang kesuciannya direnggut para Tentara Merah tak lama setelah Berlin jatuh ke tangan Uni Soviet pada awal Mei 1945.

Ya, akulah Greta Schröder, perempuan yang hingga saat ini masih terkungkung dalam kerangkeng pikiranku sendiri. Terjebak bersama sejuta kenangan buruk, terkarantina bersama rasa sakit luar biasa yang bahkan tak dapat disembuhkan oleh apa pun, termasuk waktu.

Ya, akulah Greta Schröder, salah satu dari sekian banyaknya Cornflowers yang patah.(*)

 

Mks, 25 April 2020

 

Catatan Kaki:

Cornflower atau bunga jagung merupakan bunga nasional Jerman (salah satu simbol nasional Jerman).

[1] Ruth, apa kita akan baik-baik saja?

[2] Jangan khawatir, Greta. Kita akan baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja.

[3] Panggilan sayang yang biasanya ditujukan untuk pasangan, setara dengan darling, sweetheart, dan sebagainya. Dalam bahas Inggris, bisa diartikan little bear.

 

Anna Darling (MsLoonyanna), seorang gadis Akuarius berdarah AB. Potterhead akut penyuka warna hijau dan biru serta penggemar hampir semua genre tulisan. Kisah terfavorit adalah Harry Potter dan Peter Pan sehingga sering kali mengakui diri sebagai Penyihir Neverland. Telah menerbitkan beberapa antologi cerpen dan puisi.

Wattpad, Storial, IG:

@MsLoonyanna

 

Komentar Juri:

Satu kata yang patut diungkapkan untuk naskah ini adalah “kejujuran”. Sebagaimana hakikat karya sastra sebagai bentuk refleksi alur pikiran penulis, naskah kali ini pun menyiratkan pemikiran murni penulisnya akan “karantina seumur hidup” yang dialami para wanita Jerman.

Narasinya yang jujur, mengalir, mampu membawa pembaca untuk menyelami kisah Greta dan, lebih lanjut, bersimpati pada apa yang ia serta para wanita Jerman lainnya alami. Ia memberikan kilasan gambaran “kehancuran” wanita Jerman pasca-Perang Dunia II untuk sesuatu yang tidak mereka lakukan, pun beban serta luka yang mereka tanggung, sampai akhirnya pada akhir cerita, ia pun mengajukan pertanyaan, yang barangkali tidak mampu kita temukan jawabannya: Namun, sekali lagi, apakah ini benar-benar adil?

-Devin Elysia Dhywinanda

 

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup KCLK.

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply