Patah Tumbuh Hilang Berganti

Patah Tumbuh Hilang Berganti

Patah Tumbuh Hilang Berganti
Oleh: Sukra A.W

Aku terdiam menatap mereka berdua yang tengah melempar senyum dan canda. Perih. Tidak kusadari ternyata luka itu masih menganga lebar di sini. Dalam dada ini. Kenyataan pahit itu menggores sedikit demi sedikit sesuatu berdinding kasih, yaitu hati. Cairan bening dalam mataku juga sudah mulai memberontak ingin segera dikeluarkan. Sesak rasanya.

Senyuman, tatapan, dan rengkuhan tangan itu, aku benar-benar mengenalnya. Dia pernah memberiku semua itu. Dulu. Saat segalanya terasa buram bagiku, dia datang membawa sekelumit harapan untuk hati yang telah mengabur ini. Berusaha membujukku untuk tetap berdiri tegak melawan perasaan yang timbul karena suatu tragedi.

“Jangan terlalu dipikirin, kamu bisa drop lagi nanti,” ucapnya  saat itu. Dia menggenggam tanganku dengan lembut hingga menghantarkan ketenangan yang mendamaikan. Dadaku berdesir. Kegelisahan yang selama ini menyelimutiku telah disingkapnya. “Semuanya udah berlalu, Nit. Lanjutin aja kehidupan kamu dengan baik. Jadikan ini semua sebagai pelajaran buat kamu, ya?” lanjutnya.

Aku mengangguk. Dia mengusap puncak kepalaku. Lembut. Mesra. Penuh dengan kasih sayang. Aku memejamkan mataku dan jatuh dalam pelukannya. Ini sungguh mendamaikan.

Sayangnya, itu dulu.

Sekarang sudah berbeda. Aku bukan lagi tokoh utama dalam kisah asmara ini. Peranku sudah tidak pernah lagi dimunculkan di sini. Sudah tidak ada lagi kisah antara aku dan dia, yang ada hanyalah kisah dia bersama wanita itu.

Dua tahun lebih aku mengenalnya, tapi aku dikalahkan dengan seseorang yang baru mengenalnya dua bulan. Aku yang mendambanya sekian tahun, justru wanita itu yang mendapatkannya. Sungguh ironi, bukan? Namun, memang terkadang seperti inilah permainan asmara berlangsung. Ada yang mendambanya setengah mati, tetapi dia malah memilih yang pasti—entah pasti baik rupanya, imannya, sifatnya, entah komitmennya. Aku tidak tahu.

“Nit, foto bareng, yuk,” ajak Rizky yang langsung mengeluarkan gawainya dan duduk di sebelahku.

Ide yang bagus. Setidaknya aku tidak melulu melihat tingkah mereka.

Kami saling mendekat, kemudian berpose. Satu. Dua. Tiga. Dan satu detik berikutnya, wajah kami sudah terpampang di layar gawainya. “Lagi, Nit.” Aku kembali berpose. Memasang topeng itu lagi untuk yang kesekian kalinya.

Satu. Dua. Tiga. Cekrek.

Berganti pose.

Satu. Dua. Tiga. Cekrek.

Tiga foto telah terabadikan dengan sempurna. Tidak hanya raga kami yang membeku di sana, tetapi juga perasaanku. Rasa sakitku ikut terjebak.

Jujur aku katakan, ada sedikit rasa sesal yang menghinggapiku atas ketersediaanku mengikuti acara ini. Andai tadi pagi aku tidak jadi ke sini. Andai aku tolak ajakan Rizky waktu itu. Semua ini pasti tidak akan terjadi.

Percuma. Sesal tetaplah menjadi sesal. Waktu tidak bisa diputar ulang demi menghindari perasaan yang menyakitkan ini. Aku menekur. Dan ternyata Rizky memperhatikan tingkahku. Sambil menyikut lenganku, dia berkata, “Gak usah dipikirin mulu. Siap jatuh cinta berarti juga harus siap sakit hati. Itu udah konsekuensinya. Udah sepaket, gak bisa milih-milih.”

Aku mengangguk. Dia tertawa kecil, lalu mendekapku singkat. Tanpa canggung. Tanpa ragu. Caranya dalam menenangkanku cukup sederhana, tapi aku merasakan ketulusannya.

Tawa mereka—dia dan wanita itukembali mengusikku. Aku berdecak sebal. Teringat adegan beberapa jam yang lalu, saat acara baru saja dimulai. Acara ini sebenarnya adalah ide kami—sahabat-sahabat masa kecilnya—untuk menyambut kepulangannya dari negeri orang. Hanya acara kecil-kecilan. Berkumpul dan bercakap seperti dulu, sekadar mengeratkan lagi tali persahabatan kami. Dan tentu saja hanya kami berlima yang akan datang, tanpa wanita itu. Biar saja mereka membuat acara sendiri, pikir kami saat menyiapkan semuanya. Namun kenyataan berkata lain. Baru saja kami bertemu dengan dia, wanitanya tiba-tiba datang memberi kejutan.

Melihat wanita itu, kami semua tercengang. Tawa kami juga berhenti saat mereka berdua saling melepas rindu. Dan aku hanya mampu membisu ketika dia mencium kening wanita itu dengan begitu intensnya. Mulutku terkunci rapat meski hatiku memberontak ingin sekali berteriak.

Kenapa wanita ini ada di sini? Ah, dasar pengganggu! Hatiku sudah cukup sakit saat tahu kalian pacaran, tapi kenapa sekarang aku harus melihat kemesraan kalian  juga?

Aku hanya mampu menatap mereka dengan tatapan kosong. Rasa senang yang tadinya begitu menggebu-gebu kini telah menguap. Sudah tidak berselera lagi untuk mengobrol dengannya. Bahkan aku ingin segera pergi dari sini, menghindari kejadian-kejadian menyakitkan berikutnya.

Rizky lagi-lagi menyikut lenganku, “Hei, malah melamun. Udah dibilangin gak usah dipikirin mulu. Nanti cantiknya luntur, loh,” dia berusaha menghiburku. Aku hanya tersenyum kecil.

“Ky, anterin aku pulang, yuk.” Aku berusaha untuk bersikap setenang mungkin di hadapan sahabat-sahabatku. Aku tidak ingin mereka semua tahu kalau aku cemburu. Cukup Rizky saja.

“Yakin mau pulang sekarang?”

“Iya.”

Rizky mengangguk, lantas beranjak dari tempat duduk kami. Dengan dalih sedang ditunggu seorang tamu di rumah, aku melenggang pergi bersama Rizky. Dia menggenggam tanganku. Lembut. Tanpa ragu. Dan seketika aku merasakan sesuatu. Sebuah kedamaian.

 

Sukra Wina, lahir di Banjarnegara, 02 Februari 2001. Masih menikmati masa-masa SMK—yang konon katanya begitu indah.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply