Patah
Oleh : Cahaya Fadillah
Aku seorang pria yang memiliki perkerjaan yang cukup baik, setiap pagi sebelum berangkat kerja tak pernah melewatkan sarapan sekali pun. Di atas meja selalu tersedia sarapan dengan menu yang selalu berbeda setiap harinya dan pasti semua yang tersaji adalah kesukaanku.
Istriku memang pandai memenuhi segala keperluanku. Pagi-pagi sekali ia bangun, membuat sarapan, lalu menyiapkan segala keperluanku tanpa pernah mengeluh. Seragam dan hal kecil termasuk kaos kaki sudah disiapkan di meja kerja tanpa terlewatkan–di kamar kami. Aku hanya tinggal mengenakannya tanpa mengambil sendiri, apalagi sampai sibuk mencari-cari.
Senyumnya selalu terlihat manis saat mengantarku ke pintu depan rumah, mencium punggung tanganku dan selalu berkata, “Hati-hati dj jalan, Mas. Aku dan Abi selalu menunggumu pulang dengan selamat.”
Hati lelaki mana yang tidak mencair jika dilayani begitu baik, diberikan perhatian lebih seperti yang dilakukan oleh istriku.
***
“Kamu mau menikah dengan Ibnu, Ratih?” Tiba-tiba ibuku menanyakan hal itu saat kami bertemu di sebuah pesta pernikahan kompleks rumah kami.
Ratih yang sedang menikmati santapan pesta refleks terbatuk-batuk. Wajar dia terkejut dengan pertanyaan Ibu yang tiba-tiba, karena aku juga merasakan hal yang sama terkejutnya.
“Eh, maksud Ibu?” tanya Ratih memastikan.
“Iya, Ibnu sudah kerja bertahun-tahun, tapi belum juga membawa calon ke rumah. Aku ingin menimang cucu, takut kalau ajalku tidak lama lagi.”
“Astagfirullah. Apaan sih, Bu? Ajal dan jodoh rahasia Allah. Kita tidak boleh mendahului dengan berkata seperti itu,” bisikku ke telinga Ibu. Namun Ibu malah memelototiku.
“Kamu ndak bisa nyari, ya udah biar Ibu yang carikan. Diam aja. Lagian Ratih anaknya baik dan patuh pada orangtua. Dari kecil Ibu sudah kenal sama Nak Ratih. Betul begitu, Ratih?”
Ratih hanya tersenyum malu-malu menatap Ibu, lalu sekilas menatap ke arahku. Mata kami bertemu, tiba-tiba hatiku bergetar dan wajahku menghangat. Malu, namun aku mencoba tidak terpengaruh dengan berpura-pura menikmati santapan pesta tanpa menandang ke arahnya lagi.
Beberapa hari setelah pesta usai, tiba-tiba aku dipaksa Ibu menyiapkan seserahan untuk diberikan kepada Ratih.
“Kamu harus gerak cepat, Ibnu.”
“Gerak cepat gimana? Ibnu cuman karyawan biasa, Bu. Bukan TNI,” jawabku sekenananya, sibuk merapikan seserahan yang akan diberikan pada Ratih sore nanti.
“Iya cepat lamar Ratih, sebelum dia diambil orang. Nanti kamu rugi,” jawab Ibu menghakimi.
Ah, buatku tidak ada untung ruginya jika hal itu masalah jodoh. Seseorang yang ditakdirkan denganku akan tetap denganku, walau jauh dan banyak halangan. Sebaliknya, seseorang di tanganku, digenggam sekuat apa pun, bisa lepas begitu saja, jika dia tidak ditakdirkan untukku. Pikiran itulah yang selama ini membuatku santai membahas masalah jodoh. Karena sejatinya, Allah pasti sudah siapkan segalanya. Tinggal kita tunggu kapan dan di mana jodoh itu bertemu.
***
“Assalamualaikum,” ucapku di depan rumah Ratih.
“Waalaikumsalam. Yang ditunggu sudah datang. Ratih, ayo keluar, Nak.”
Ratih keluar mengenakan pakaian sederhana, gamis putih dan hijab berwarna senada dengan hiasan garis-garis hitam di pakaiannya. Matanya terlihat sembap. Namun, saat ia tersenyum, duniaku seakan menjadi hangat hingga aku lupa apa yang membuatnya murung. Semua berjalan begitu cepat. Hingga kami akhirnya sah di bulan yang sama. Ratih, adalah istri dan ibu yang baik. Kasih sayangnya untuk keluarga kecilku sangat terasa. Buatku Ratih adalah sosok istri sholehah yang diidamkan lelaki mana pun. Karena itu cintaku padanya semakin hari semakin bertambah saja.
Sampai suatu hari, aku mendengar sendiri dari mulutnya saat kami bertandang ke rumahnya untuk menginap. Katanya rindu pada Ibu, jadi kusempatkan untuk berkunjung dan menginap semalam agar rindu istriku pada ibunya bisa terbayarkan.
“Aku sudah berusaha jadi istri yang baik untuk Mas Ibnu, Bu. Aku juga sudah memberinya anak. Apa lagi kurangnya aku, Bu?”
“Kurangmu tidak ada, Ratih. Tapi salahmu semakin menjadi-jadi, bagaimana mungkin kau masih mencintai Ikhsan padahal sudah berkeluarga dan keluarga kecilmu itu sudah sempurna setelah Abi hadir di antara kalian ‘kan?”
Ratih memandang ibunya nanar. Tangisnya pecah, matanya membesar menatap ibunya kali ini.
“Bukankah pernikahan ini kemauan Ibu? Hatiku masih milik Mas Ikhsan, Bu. Sampai kapan pun cintaku pada Mas Ikhsan tidak akan berubah!” Ratih berlari sambil menghapus air matanya.
Harusnya aku tidak mendengar semua, tapi telanjur basah saat Ratih berhenti di depanku dengan tatapan yang sangat berbeda. Kakiku seakan tidak menapak di tempat yang seharusnya. Bagai dipasung, kedua kakiku seakan terpahat ke bumi, sama sekali tidak bisa digerakkan.
Duniaku seakan berhenti berputar, hatiku hancur berkeping, kupikir punya istri cantik, sholehah, dan penurut serta patuh pada semua aturan-aturan di dalam rumah tangga adalah kebahagiaanku yang abadi. Siapa sangka bertahun-tahun menikah denganku, tidak sedikit pun ada cinta untukku. Semua yang ia lakukan murni hanya karena menyandang status seorang istri. Tanggung jawab.
Hatiku tercabik saat menatap mata yang basah itu. Ratih tidak bicara, aku pun tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Kami hanya diam mematung dalam keheningan dan riuh dalam hati masing-masing saja.
“Ayah, Ibu, Abi lapar, mau makan.” Lelaki kecil itu datang dan berdiri di antara kami sambil menggosok-gosok matanya.
Ratih bergeming, aku pun melakukan hal yang sama. Hingga detik selanjutnya, Ratih terlihat menghapus air mata dan berlari pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan kami semua. (*)
Cahaya Fadillah, Ibu satu anak yang menulis dan membaca sejak kecil.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata