Pasti Menyenangkan Bertukar Kehidupan dengan Dia
Oleh : Zuyaa
April, 2014
Tak ada hidup yang sempurna. Aku tahu itu. Namun tak salah, kan, jika ingin hidup seperti dia?
Dulu aku bertemu dia saat duduk di bangku madrasah aliyah di sebuah pondok pesantren. Aku memang selalu menjadi bintang kelas, tapi tetap saja tak bisa mengalihkan pandangan orang dari pesonanya. Siapa yang tidak kenal dia? Ayahnya adalah donatur terbesar di sini. Belum lagi wajahnya yang rupawan. Ya, kulit kuning langsat, hidung mancung, serta sorot mata yang teduh. Para santriwati di sini saja banyak yang mengakui kecantikan wajahnya, apalagi para lelaki.
Tak banyak hal yang kutahu tentang dia. Kami hanya teman satu kelas. Ya, hanya sebatas itu.
“Fina, asyik banget bacanya,” ucapnya suatu hari saat aku sedang sibuk dengan salah satu buku di perpustakaan.
Kulihat dari ujung mataku, dia mulai duduk di kursi yang berseberangan denganku. Hanya sebuah meja berbentuk bundar yang menjadi sekat di antara kami.
“Kan minggu depan ada ulangan harian dari Ustazah Halwa. Tentu harus belajar,” kataku seraya menutup buku.
Kutatap wajahnya lamat-lamat sambil mencoba memahami apa maksud dia mendatangiku kali ini.
Kalau kuingat-ingat, ini adalah kali pertama kami berbicara setelah tiga bulan tergabung dalam satu kelas. Baru di kelas tiga aliyah ini aku sekelas dengannya. Itulah alasan aku tak pernah tahu betul mengenai karakternya. Sejauh ini hanya berdasarkan penuturan beberapa teman sekelas dan teman asrama yang selalu mengumbar hal-hal positif darinya. Awalnya aku tak pernah menggubris, tapi lama-kelamaan aku sebal juga dengan kalimat-kalimat itu, yang menurutku terlalu dilebih-lebihkan.
Dia masih duduk di seberangku tanpa banyak berkata. Sejauh ini bisa kukatakan jarang, bahkan langka sekali melihat dia ada di perpustakaan ini.
“Pas sekali,” ucapnya.
Aku langsung mengernyitkan dahi.
“Apa maksudmu, Anis?”
“Aku kemari karena ingin belajar untuk persiapan ujian di minggu depan juga. Bisakah kamu ajari aku mengenai mawarits? Aku berkali-kali mempelajarinya, tapi masih banyak yang tidak aku pahami.”
Mendengar itu aku hanya bisa mengangguk, itu berarti memenuhi keinginannya.
Semenjak pertemuan itu, kami menjadi lebih sering bicara. Beberapa kali dia datang ke asramaku di sore hari untuk belajar lebih mendalam tentang cara menghitung pembagian harta waris. Beberapa kali aku mengajarinya, dan jujur saja aku memahami satu hal tentangnya: dia bodoh. Ya, dia tidak sebaik yang dikatakan orang. Mengenai pembagian waris secara mendasar saja dia sangat kesusahan menghitung dan menghapal cara pembagiannya.
Astaga, aku frustrasi mengajari orang ini!
***
Setiap akhir semester, para santri akan diberi jatah libur dan diizinkan pulang ke rumah masing-masing. Hari ini Mama sudah berdiri di depan gerbang untuk menjemputku. Kami menempuh perjalanan selama satu jam dengan menggunakan angkutan umum dari Kabupaten Banjar menuju Kota Banjarmasin.
Polusi, bising kendaraan, dan orang yang saling berteriak berebut penumpang mewarnai kedatanganku di sini. Tak ada yang berbeda dari terminal ini.
Rumahku berada tepat di belakang terminal. Agar bisa sampai ke sana, kami melewati sebuah gang kecil yang kanan dan kirinya terdapat got yang sangat kotor. Airnya kehitaman, menguarkan aroma busuk.
Selama dua minggu aku di Banjarmasin, bukan berarti waktu bisa santai. Aku setidaknya harus membantu Mama berjualan di terminal, dari membuatkan teh untuk pelanggan yang datang, mengumpulkan piring-piring kotor, dan mencucinya. Mama memang tak pernah meminta agar aku membantu, tapi melihatnya yang selama ini banting tulang sebagai orangtua tunggal untuk menghidupiku, aku rasa setidaknya ini yang bisa dilakukan.
Kalau malam tiba, Mama akan mengeluh sakit di bagian perut dan punggung. Sebelum tidur, aku akan mengoleskan minyak urut dan memijatnya secara perlahan.
“Mama sering sekali sakit begini. Sudah coba berobat ke dokter?”
“Sudah. Katanya, ini biasa. Faktor lelah saja, sama telat makan.”
Setelah kupastikan Mama tertidur, aku mengecek ponsel, berselancar di sosial media melihat status beberapa teman yang sedang pulang. Ada yang menghabiskan waktu dengan kumpul dengan keluarga besar, melaksanakan hajatan, dan aku merasa sedikit nyeri di dada saat melihat status Anis. Ada dua foto yang dia posting, salah satunya menampilkannya yang sedang bergaya di depan Monas.
Enak sekali menjadi kamu, ya, Nis.
***
Enam tahun aku habiskan hidup dan menimba ilmu di pondok pesantren. Kini tiba masanya aku lulus dengan predikat sangat memuaskan. Kulihat wajah senang dari Mama saat namaku dipanggil dan dia diminta untuk menemaniku berdiri di atas panggung.
Sehari sebelumnya sebenarnya Mama sangat malu untuk hadir. Saat kuminta datang, dia selalu mengatakan, bahwa tidak punya baju yang bagus. Namun, setelah kupaksa berkali-kali melalui telepon, akhirnya hatinya luluh juga.
“Mama bangga sama kamu, Sayang,” bisik Mama saat menuruni panggung.
Selama hidupku, rasanya baru kali ini aku merasakan kebahagiaan yang begitu besar. Namun, semuanya hanya berjalan selama sebulan. Setelah itu, mata hatiku harus dipanggil oleh Tuhan. Ternyata selama ini dia menderita penyakit liver yang sudah memasuki tahap kronis. Mama sudah terlalu lama menahan dan merahasiakannya dariku. Hari itu, aku resmi menjadi yatim piatu.
Dalam posisi yang begitu terpuruk, Kak Mirna–sepupuku dan juga keponakannya Abah–datang dan menawarkan bantuan dengan mengajakku tinggal bersamanya. Dari dia juga, aku berani kembali untuk membangun asa.
Setelah menjalani beberapa kali tes, aku akhirnya dinyatakan lulus pada sebuah perguruan tinggi negeri dan menjadi sesuatu yang menyenangkan saat usulanku agar bisa mendapat beasiswa bidik misi diterima pula.
Aku menjalani semuanya seperti mahasiswa lainnya: kuliah, sibuk mondar-mandir perpustakaan, dan berkutat dengan tugas yang seperti tidak ada habisnya. Namun bedanya, aku sambil bekerja di salah satu restoran pada malam harinya.
Pada suatu malam, aku tak sengaja kembali bertemu dengan Anis. Pertemuan yang sepertinya memang direncanakan Tuhan. Saat itu, dia datang bersama seluruh keluarganya untuk menghabiskan makan malam. Anis awalnya tersentak saat melihat aku yang mengantarkan makanan pesanan ayahnya. Dia menatapku lama, begitu pula aku. Namun sayang, dia dengan segera mengalihkan pandangan, lalu mulai sibuk lagi dengan ponselnya. Sejak saat itu aku tahu, kami nyatanya bukan teman. Dia hanya datang saat ada perlunya saja.
***
September 2020
Setelah menghabiskan waktu selama tiga tahun bekerja di Barabai, kini aku kembali ke Banjarmasin karena diajak teman-teman semasa pondok dulu untuk reuni di salah satu rumah makan yang sangat ternama. Acara ini selalu dilaksanakan setiap tahun, tapi baru kali ini aku bisa ikut.
Aku memandangi semua yang datang, tapi tak melihat Anis. Ke mana dia? Padahal aku selalu melihat postingan teman-teman setiap tahun, dan terlihat dia yang pasti ikut acara ini.
Aku bertanya kepada beberapa teman, tapi mereka juga tak tahu kenapa dia tak bisa hadir kali ini.
Beberapa dari mereka sampai saat ini masih saja membicarakan Anis. Kudengar bahwa dua tahun yang lalu Anis menikah dengan lelaki tampan dan pengusaha ternama.
Anis, kau berhasil membuatku iri. Kau berhasil mencapai semua yang ingin kulakukan.
Ada terbersit di benakku ini, andai saja bisa aku bertukar kehidupan dengannya, walau hanya sehari. Ah, pasti indah.
Keesokan harinya aku harus kembali pulang ke Barabai. Saat melintasi daerah Martapura, ada timbul keinginan untuk berkunjung ke salah satu warung langganan yang dulu sering aku datangi saat masih mondok.
Seperti biasa, aku akan memesan nasi samin. Saat nasi berwarna putih kekuningan itu ada di depan mata, aku tak bisa berdusta tentang betapa sedapnya aroma yang yang menusuk hidungku. Dan benar saja, pada suapan pertama seperti mengantarkan pada kenikmatan yang hakiki.
Baru saja ingin melanjutkan perjalanan lagi, mataku dibuat heran dengan keberadaan seorang wanita yang tengah duduk di salah kursi di pinggir jalan dengan tangan memegang sebuah kotak yang berisi berbagai macam jajanan dan air kemasan.
“Anis,” sapaku sembari melangkah mendekatinya.
Anis melihat wajahku dengan mata yang membulat sempurna.
Kami sekarang berjarak hanya sekitar tiga langkah. Kupandangi dirinya dari atas kepala sampai bawah kaki. Dia seperti … sebentar … dia mengenakan daster panjang yang warnanya mulai memudar. Kerudung hitam panjang yang menutupi rambutnya pun terlihat lusuh.
“Ada apa denganmu?” tanyaku spontan.
Anis mulai menghela napas panjang. “Fin, keadaanku tidak seperti yang dulu.” Air mata Anis sudah mulai bercucuran membasahi pipi. Beberapa kali diusap dengan ujung kerudung.
Aku hanya bisa bergeming, mengernyitkan dahi, dan menunggu kelanjutan kalimatnya.
“Suamiku selingkuh dengan teman sekantornya. Kami bercerai setahun yang lalu. Ayah mengalami serangan jantung saat mengetahui berita itu, lalu dua bulan kemudian Ibu juga menyusul. Sepeninggal orangtuaku, tak ada lagi yang bisa menjalankan usaha dengan baik. Kini, hanya dengan berjualan seperti ini aku bisa menyambung hidup,” ucapnya dengan terisak.
Aku langsung memangkas jarak dengannya. Kurengkuh dia ke dalam dekapanku, dan dia masih terisak dengan suara yang begitu memilukan hati.
Aku seperti dapat memahami semua penderitaannya, kini juga ikut meneteskan air mata.
Ya Allah, aku kini kalah. Anis masih menjadi orang yang hebat dalam pandanganku. Aku bukanlah siapa-siapa. (*)
Keterangan
Sasirangan : kain khas Kalimantan Selatan yang dibuat dengan teknik jelujur.
Kota Seribu Sungai, 5 Juli, 2021
Zuhliyana a.k.a Zuyaa, seorang deklamator puisi yang mencoba untuk mendalami dunia kepenulisan.
Editor : Uzwah Anna
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/memjadi penulis tetap di Loker Kata