Pasrah Kalah

Pasrah Kalah

Pasrah Kalah
Oleh: Nur Khotimah

Kang Markum, entah reaksi apa yang akan dia berikan saat melihat kedatanganku nanti. Apa ia akan memeluk layaknya seorang suami yang merindukan belahan jiwanya setelah sekian lama berpisah? Atau malah akan mencaci maki dengan kata-kata paling kotor, kemudian mengusirku? Entahlah, aku tak berani membayangkannya.

Apa pun yang terjadi nanti, aku harus terima. Aku salah. Semua yang salah pasti akan menerima hukuman. Entah hari ini, besok, atau nanti. Tak ada yang tahu, termasuk aku.


Magrib belum lama berlalu ketika aku menaiki bus jurusan Bumiayu-Purwokerto. Separuh hatiku tak ingin lagi menjejakkan kaki kembali di kota kelahiran. Akan tetapi, tetap bertahan di sini juga tidak mungkin. Aku harus memilih, dan dengan berat hati, aku memutuskan pulang.

Bangku penumpang masih banyak yang kosong. Aku memilih duduk dekat jendela dan terpisah dari penumpang lain. Hanya ada tujuh penumpang, semoga tak ada tambahan lagi. Aku ingin menyendiri, menyepi.

Setelah hampir dua puluh menit menunggu, akhirnya bus berangkat juga. Penumpang bertambah lima orang. Mungkin karena Senin, orang-orang sibuk dengan pekerjaan dan enggan melaksanakan perjalanan jauh. Aku beruntung karena tak ada satu pun yang mengambil tempat duduk di sebelah.

Gerimis turun saat bus mulai masuk tol. Titik-titik air yang jatuh di kaca menghalangi jarak pandang. Tanganku beberapa kali mengusapnya agar bisa melihat pemandangan di luar. Buram. Mungkin seperti itulah hidupku kini, buram dan tak tahu arah.

Aku mengambil jaket di tas kemudian mengenakannya untuk menghalau dingin. Jalanan yang lancar ditambah udara dingin dari Air Conditioner, juga dari hujan yang mulai deras harusnya menjadi kombinasi yang sempurna untuk mendatangkan kantuk. Sayangnya, bayangan Kang Markum mengalahkan itu semua. Lelaki yang sehari-harinya sedikit bicara itu terus berkeliaran di kepalaku.

“Aku ndak ijinin kamu pergi.” Begitu jawaban Kang Markum delapan belas bulan yang lalu, saat aku meminta izin untuk berangkat ke Jakarta. Malam itu, usai aksi saling diam selama hampir dua minggu, aku memutuskan untuk meninggalkannya.

“Bagaimana dengan Mira?”

“Mira sudah besar, dia sudah bisa mengurus dirinya sendiri.” Ada yang berdenyut dalam dada saat mengucapkan kata itu. Mira, putriku, memang sudah sepuluh tahun, tapi dia belum benar-benar mandiri. Dia masih membutuhkan seorang ibu. Namun, aku lelah dengan pernikahan ini. Bosan dengan kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, jenuh setiap hari harus ikut memikirkan besok harus makan apa dan bagaimana memperolehnya.

Tiga belas tahun menikah dengan Kang Markum, selama itu pula aku merasakan susah. Kalau bukan karena dijodohkan oleh Ayah, mungkin aku tak akan menikah dengannya. Terkadang aku merasa bodoh karena dulu hanya menurut saja saat dipasangkan dengan lelaki yang hanya buruh tani tersebut.

“Dia pemuda yang baik,” kata Ayah waktu itu. Ah, Ayah tidak tahu kalau baik saja tidak bisa membuat kenyang perut anak istri.

“Aku ke Jakarta untuk kerja, gantiin Mbak Minah, dia udah ndak mau kerja di sana lagi.”

“Aku tahu. Tapi, apa ndak ada pilihan lain?”

“Ndak, Kang. Aku udah mantap. Ini buat masa depan Mira. Kamu ‘kan ndak bisa diandalkan.”

Kang Markum tak membantah lagi. Lelaki bertubuh kurus itu diam seribu bahasa. Mungkin marah mendengar ucapanku barusan, atau bisa juga karena sudah malas berdebat. Malam itu, kami tidur saling memunggungi.

Suara para pedagang asongan membuyarkan lamunanku. Ternyata kini bus sudah berada di tempat peristirahatan. Aku melirik jam tangan, pukul 00.15. Beberapa penumpang turun, entah untuk makan ataupun sekadar ke toilet. Aku enggan beranjak.

Seorang pedagang tahu menawarkan dagangannya. Aku mengambil satu bungkus, lumayan sebagai pengganjal perut yang sedari pagi belum terisi apa pun.

Saat mengambil uang di tas, mataku menangkap sesuatu. Benda yang sering kali terlupa, hingga semua terjadi. Aku sejenak melupakan benda tersebut. Fokus mengambil uang pecahan lima ribu, kemudian memberikannya pada pengasong tadi.

Tahu sudah di tangan, tetapi aku sudah tak lagi berselera. Benda tadi mengusik pikiran. Dua strip pil KB, yang satu masih utuh, yang satu sudah berkurang sedikit. Apa benda itu bisa menyelesaikan masalahku? Atau … Tuhan sedang menunjukkan jalan keluar? Sedikit gamang, aku mengeluarkannya dari tas.

Total ada lima puluh butir. Kalau aku meminumnya semua, apa yang akan terjadi? Ada dua kemungkinan, mati over dosis, atau keguguran. Dua-duanya tak masalah, sepertinya.

Aku membuka pil tersebut satu per satu. Dada semakin berdebar tiap kali butir-butir itu berpindah ke telapak tangan. Perasaanku campur aduk. Marah, benci, kecewa, menyesal, semua jadi satu.

Iya, aku marah pada Herman. Pria rupawan yang berprofesi sebagai sopir di tempatku bekerja, sekaligus ayah dari benih yang kini bersemayam di perut. Dialah yang menjerat diri ini dalam sebuah hubungan terlarang. Lelaki bajingan yang ternyata hanya menginginkan tubuhku dan menghilang setelah tahu aku berbadan dua. Dia tak mau menikahiku yang berusia lebih tua sepuluh tahun darinya.

Aku tahu aku salah. Namun, tak bisa menolak pesona lelaki muda itu. Sikapnya yang hangat dan romantis kerap kali membuatku terbang ke awan. Berbeda sekali dengan Kang Markum yang dingin dan pendiam. Bersamanya, diri ini merasakan yang tak pernah dirasakan selama bersama Kang Markum.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Majikan perempuan curiga akan kehamilanku. Dia mencecarku dengan beribu pertanyaan saat Herman tiba-tiba menghilang. Aku tak bisa menyembunyikannya lagi, karena payudara yang semakin membesar dan perut yang membuncit sudah menjelaskan segalanya. Aku diusir tanpa pesangon. Memalukan, katanya.

Lima puluh butir pil sudah di tangan. Perjalanan sekitar tiga jam lagi, aku harus memutuskan. Akhirnya, dengan bantuan satu botol air mineral, aku meminum pil-pil tersebut. Setelahnya, aku pasrah. Mati pun tak apa. (*)

Nur Khotimah, seorang ibu rumah tangga biasa yang ingin menjadi luar biasa. Nyemplung ke dunia literasi di penghujung 2018. Pecinta biru dongker, senang mencoba hal baru dan suka tantangan. Humoris dan apa adanya. Untuk lebih mengenalnya bisa add FB Nur Khotimah.

Editor: Evamuzy

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.


Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply