Partner in Crime
Oleh : Tirza
Aku mendengkus sebal menatap pintu yang baru saja menutup. Beberapa saat lalu, ajudanku melapor wacana untuk melengserkanku dari kursi pemerintahan semakin luas. Tentu saja aku sudah tahu siapa dalang di balik pergerakan konyol itu. Kepalaku juga pusing memikirkan para menteri dan anggota dewan yang ternyata bermuka dua. Aku tidak bodoh untuk melihat ke arah mana dukungan mereka saat negeri sedang panas dilanda isu kudeta. Tak ada lawan atau musuh abadi dalam politik, bukan? Aku sendirian kini. Andai benar-benar ada partner yang setia mendukungku tanpa pamrih untuk mewujudkan mimpiku pada negeri ini.
Saat melihat bintang jatuh di langit luar dari jendela yang kubiarkan terbuka, mendadak aku ingat mitos masa kecil. Kalau melihat bintang jatuh, cepat buat permintaan. Niscaya keinginanmu terkabul secepat bintang yang memelesat. Mungkin aku memang kekanakan ketika sedetik kemudian mataku memejam dengan hati riuh meneriakkan permohonanku. Ya, aku seputus asa itu.
***
Aku pasti bermimpi. Malam tadi sebelum tidur, aku memang membaca kembali komik lama favoritku. Rurouni Kenshin. Mungkin karena itu juga aku bermimpi melihat sosok persis mumi dengan pedang tajam terhunus di leherku. Pasti mimpi! Namun, jika memang mimpi, mengapa leherku terasa pedih setelah mata pedangnya mengiris sedikit kulit leherku?
“Dasar manusia lemah!” bentaknya.
Saat itu juga aku sadar ini bukan mimpi. Seringai dari bibir hitamnya yang gosong karena terbakar membuatku bergidik. Pedang itu kembali ia sarungkan. Ia menatap berkeliling seolah tengah mempelajari dunia yang mungkin baru dilihatnya. Aku berkeringat dingin ketika ia membuka komik, di mana ada adegan dirinya tewas di tangan Kenshin. Bagaimana bila ia mengamuk tidak terima di kamar ini lalu menebas leherku seperti adegan dalam film?
“Bodoh! Bagaimana kabar dunia tanpa aku? Lebih baik, hah?!” makinya sambil terbahak lalu melempar asal komik ke pojok kamar.
Aku semakin mengerut di atas tempat tidur. Hati-hati kuraih handphone di atas nakas. Menekan pesan SOS untuk ajudanku. Tak butuh lama ketika ia akhirnya muncul dari pintu dengan pistol teracung ke arah Shishio.
“Jangan bergerak atau–”
Rasanya mataku ingin melompat dari rongganya ketika dengan gerakan cepat Shishio berbalik lalu memotong ucapan ajudanku dengan ayunan pedang di lehernya. Darah menyembur meninggalkan noda bercak pada dinding kamar.
“Aku mau menawarkan kerja sama,” cegahku ketika kulihat ia melenggang santai ke luar kamar. Ia berdiri diam.
“Aku akan menjadikanmu pemimpin negeri ini. Lalu, kita berdua akan menjalankan roda pemerintahan dengan caramu. Bagaimana?”
“Oh, ya?” Ia menatapku ragu sekaligus meremehkan.
“Tetapi, habisi dulu nyawa beberapa orang yang akan kuundang kemari besok pagi.”
Aku bersorak. Inikah partner setia yang dikirimkan oleh bintang jatuh malam lalu? Aku membayangkan pemerintahan yang kekal abadi jika partnerku seperti Shishio.
***
Ruang rapat pertemuan anggota dewan seketika dipenuhi suara jeritan. Mayat bergelimpangan dengan percikan darah mengotori kursi, meja, juga karpet. Dari balik pintu, aku mengintip dengan rasa lega luar biasa sekaligus ngeri. Shishio benar-benar mesin pembunuh yang mengerikan. Dendamku terbalas sudah. Mungkin memang perlu pemimpin brutal seperti dia untuk menutup mulut orang-orang yang nyinyir di luar sana.
Di belakangku, ratusan tentara bersenjata lengkap telah siap. Aku berjalan dengan langkah ringan keluar dari istana kenegaraan. Di luar sana, mahasiswa yang tengah menunggu perwakilan mereka di ruang rapat duduk tenang. Tak lama Shishio berdiri menyusul di belakangku.
“Setelah itu, mereka?” tanyanya bersemangat.
“Jangan bunuh semua, kita perlu saksi mata untuk menceritakan pengalaman mengerikan pada mereka di luar sana.”
Shishio terkekeh lagi. Ia berjalan maju di depanku menuju mahasiswa di luar pagar. Sekarang waktunya aku mengerahkan tentara bersenjata lengkap rahasia untuk menghabisi Shishio. Aku berubah pikiran. Terlalu berbahaya bagiku jika membiarkan orang seperti Shishio hidup. Setelah ia mati, maka aku akan keluar sebagai pahlawan. Tadinya ….
“Memercayai maka kau akan dikhianati. Meletakkan senjata berarti kau akan mati. Bunuhlah mereka lebih dulu sebelum mereka membunuhmu. Yang kuat akan hidup dan yang lemah akan mati,” bisiknya saat ia tiba-tiba berbalik dan menancapkan pedang di dada kiriku. Sial. Kenapa aku lupa dialog yang pernah dikatakannya di dalam film dan komik yang kubaca? (*)
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata