Paris dan Si Tuan Tanpa Hati

Paris dan Si Tuan Tanpa Hati

Paris dan Si Tuan Tanpa Hati 
Oleh: MsLoonyanna

Namaku Peter Konnings, tetapi orang-orang tertentu selalu menyebutku “Tuan Tanpa Hati”. Entah, ketika kutanya, tak satu pun yang bersedia menjawab. Dalam beberapa tahun terakhir, aku tinggal di sebuah kota kecil indah tanpa jalan raya bernama Giethoorn di Belanda sebelum akhirnya memutuskan untuk pindah ke ibu kota, Amsterdam, karena beberapa alasan. Salah satunya … patah hati—atau setidaknya, begitulah orang-orang menyebutnya.

Aku tak ingat sudah berapa lama aku meninggalkan Giethoorn. Jelasnya, sudah lama sekali. Tinggal di Amsterdam pun sama saja. Aku tak ingat berapa lama telah bermukim di sini. Sayang, aku harus kembali melakukan perjalanan dan meninggalkan kota yang mulai kucintai ini. Lucunya, itu semua karena alasan yang sama, patah hati—atau lagi-lagi, begitulah orang menyebutnya.

Setelah memikirkan secara matang, pilihanku pun jatuh pada Paris. Tadinya, aku berpikir untuk menggunakan bus dengan jalur langsung dari Amsterdam ke Brussel, Belgia—Paris, Prancis. Namun, jarak tempuh yang kurang lebih sekitar tujuh jam berhasil memengaruhi keputusanku. Itu terlalu lama dan aku sudah sangat tak sabar.

Dari stasiun bandara Schiphol, bisa saja aku melakukan perjalanan teramat singkat dengan pesawat. Sayang, harga tiketnya pun lumayan. Jadi, aku memutuskan untuk menggunakan kereta cepat. Dibanding bus, perjalanan dari Amsterdam menuju Paris menggunakan kereta cepat setidaknya hanya akan memakan waktu sekitar tiga jam. Itu berarti aku bisa menghemat empat jam yang berharga. Cukup menggiurkan, bukan?

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Thalys—kereta berkepala seperti peluru dan bercat merah pilihanku datang tepat waktu, sesuai yang tertera pada tiket. Aku segera masuk dan meletakkan koper di tempat yang telah disediakan lalu berjalan mencari kursi bernomor 29 di gerbong 13—setiap gerbong terdiri dari 33 kursi. Walaupun telah cukup lama menetap di Amsterdam, ini baru kali ketiga aku mencoba kereta cepatnya. Sama seperti pengalaman perjalanan-perjalananku sebelumnya menggunakan Thalys, kabinnya tetap tak pernah mengecewakan. Bersih dan terkesan elite, meskipun suasananya seolah “terbakar”. Maksudku, oh, lihatlah kabin ini. Warnanya merah, persis dengan warna badan kereta yang membara.

Sepanjang perjalanan, aku tiada henti menancapkan mata ke luar jendela. Pemandangan sekitar sungguh indah. Danau, hutan, serta hamparan sawah terbentang luas bak sebuah permadani hijau besar, terlebih dengan latar bukit-bukit yang menjulang di baliknya. Lapangan sepak bola dan sejumlah pabrik pun sesekali tertangkap oleh netraku yang sayangnya harus kututup cukup rapat ketika tanpa sengaja tertusuk teriknya baskara.

Aku menyandarkan punggung, memutus kontak dengan pemandangan di luar, dan saat itulah aku menyadari bahwa kereta berkecepatan 157 km/jam ini telah melewati sejumlah kota di Belanda dan Belgia. Ya, jika kau ingin tahu, kami menempuh rute Amsterdam-Rotterdam-Antwerp-Brussel-Paris. Jadi, tak heran jika ada begitu banyak lanskap alam yang memanjakan mata dari balik jendela.

“Permisi, Tuan ….” Sebuah suara halus membuatku menoleh. Seorang prami1 rupanya. Ia meletakkan nampan berisi roti, mentega, dan sayuran khas Eropa di meja kecil di depanku. Ketika wanita itu bertanya minuman apa yang kuinginkan, aku hanya menggeleng seraya melepas senyuman tipis. Sebenarnya, aku bahkan tak lapar—setidaknya, bukan dengan makanan ini—tetapi untuk menghargai usahanya, maka aku tak mengatakan apa-apa hingga ia berlalu ke gerbong yang lain.

Sekitar satu jam kemudian, aku akhirnya tiba di stasiun Paris Gare Du Nord. Kedua manik abuku mengedar, menemukan suasana stasiun yang begitu ramai. Tampak kuno, tetapi cukup bersih. Aku mengumpat pelan ketika sengatan matahari menyambut kulit setelah berhasil keluar dari stasiun, padahal udaranya cukup dingin, sekitar 17 derajat celsius. Angin bahkan berembus lumayan kencang. Namun, tetap saja sinar matahari yang tajam membuatku risi. Ah, seharusnya aku tak perlu banyak mengeluh. Setidaknya, aku sudah ada di sini, di Paris. Kota yang—

“Ouch!” Lenguhan itu kukeluarkan secara refleks tatkala sesuatu terasa menyodok rusukku cukup keras.

“Astaga, aku benar-benar tak sengaja! Je suis vraiment désolée!” 2

Aku berbalik dan mendapati seorang gadis bermata biru dengan rambut pirang menawan. Bohong jika aku tak terpesona. Oh, tidak, apa yang kupikirkan? Pikiran konyolku barusan terdengar sangat menggelikan.

“Hey!” Sosok itu melambaikan tangan di depan wajahku. “Kau baik-baik saja? Aku minta maaf, itu pasti sakit sekali,” katanya seraya menggigit bibir, yang mau tak mau membuat pandanganku ikut mengarah ke sana.

“Kau mendengarku, ‘kan?” Kali ini wajah berbintiknya tampak sangat lucu. Kedua alisnya berkumpul tepat di tengah.

“Yeah,” balasku singkat. “Aku baik-baik saja. Lain kali, gunakan matamu dengan baik.” Dengan itu, aku pun segera menyeret koper dan meninggalkannya.

“Hey! Tunggu! Aku Eloise! Comment vous appelez-vous?!3 Teriakan itu membuatku berhenti melangkah sebelum kuputuskan untuk menoleh sekilas.

“Peter.”

C’est un plaisir de vous rencontrer, Peter!”4

  • ●●

Eloise. Gadis Prancis berwajah manis yang kutemui sekitar lima bulan lalu di stasiun. Pertemuan yang cukup dramatis kalau boleh kubilang. Mungkin kau tak akan percaya ini, tetapi seminggu setelah pertemuan tak biasa itu, aku kembali bertemu dengannya di Sungai Seine. Hubungan kami bahkan semakin dekat dari hari ke hari sehingga tiga bulan lalu aku memutuskan untuk menyatakan perasaan padanya.

Terlalu cepat, eh?

Kata orang bijak, hanya orang bodoh yang akan jatuh hati dengan cepat, tetapi … mengapa harus mendengarkan mereka? Lakukan semaumu karena ini hidupmu. Lagi pula, siapa mereka untuk melarang? Menurutku, hanya sekumpulan orang dungu dengan pemikiran konyol.

“Peter.” Suara itu berhasil menyentakku dari berbagai pikiran yang berseliweran di kepala.

“Hm?”

“Kau bilang, kau selalu melakukan perjalanan, berpindah-pindah tempat dari waktu ke waktu karena beberapa alasan. Err, bolehkah aku tahu mengapa? Atau setidaknya, satu alasan saja?” Eloise bertanya serius.

“Aku … tidak yakin.”

Je ne comprends pas.5 Bagaimana kau bisa tidak yakin?”

“Entahlah. Orang-orang menyebutnya patah hati, tetapi ….”

“Ya?”

“Tidak, tidak apa-apa. Aku tak tahu apa yang sedang kubicarakan padamu. Maaf.”

Eloise menghela napas, meraih jemariku untuk ia genggam sebelum berujar dengan lembut, “Baiklah. Aku tak akan memaksamu. Aku hanya berharap agar suatu hari nanti kau dapat lebih terbuka padaku.”

“Hm.”

“Ah, ya,” mulainya lagi beberapa saat kemudian. Ia menatapku tepat di mata, lalu … “Bisakah lain kali kita berkencan di siang hari saja? Kita tak pernah melakukannya, n’est-ce pas?6 Aku ingin mengunjungi Verdon Gorge, Le Jardin des Serres d’Auteuil, atau Parc des Buttes-Chaumont. Kita tak begitu bisa menikmatinya di malam hari.” Mendengar itu, aku kontan tertawa.

“Kau kekanakan sekali.”

“Dan kau menyebalkan!”

“Tetapi kau mencintaiku, ‘kan?” godaku. Eloise tak menjawab, tetapi aku dapat melihat dengan jelas pipinya yang merona di bawah temaram lampu jalanan.

“Jangan menggodaku!”

“Aku tidak?” Aku kembali tergelak, sedangkan ia menggembungkan pipinya lucu.

“Tais-toi. Tu es si ennuyeuse!”7

“Baiklah, baiklah. Kita akan mengunjungi tempat-tempat itu, tapi … setelahnya kau harus menemaniku ke Sungai Seine. Dua minggu dari sekarang.”

Eloise mengangkat sebelas alis. “Kita sudah cukup sering ke san—”

“Tepat jam dua belas malam.”

“Kena—”

“Kau mencintaiku, ‘kan? Maksudku, benar-benar mencintaiku? Jadi, mau atau tidak?”

“Err, aku—”

“Iya atau kita tak akan mengunjungi satu pun tempat yang kau sebut tadi, hm?” ancamku lagi.

Eloise meniup poninya dengan kesal sebelum mengangguk cepat pertanda setuju.

Maafkan aku, Eloise.

  • ●●

Aku berdiri tepat di pinggiran Sungai Seine yang terletak tak begitu jauh dari Menara Eiffel. Di sepanjang sungai terdapat pedestrian bertingkat—ada yang sejajar dengan kanan kiri jalan dan ada pula yang justru sejajar dengan kanan kiri sungai di bawah jalan, persis tempatku berada sekarang. Spot yang menurut kebanyakan orang tergolong romantis, tetapi cukup sepi di tengah malam seperti ini.

Di pagi hari hingga petang mulai menjemput, kau akan melihat cukup banyak seniman-seniman jalanan yang menjajakan lukisan Sungai Seine dan beberapa di antaranya bahkan menawarkan jasa melukis bagi para wisatawan dengan latar belakang Sungai Seine atau bahkan Katedral Notre-Dame.

Pernah di suatu sore yang mendung aku berbincang-bincang dengan mereka, para seniman jalanan. Beberapa berhasil membuatku terkejut lantaran mengaku bahwa sebenarnya mereka tak mencari uang, melainkan sekadar menganggapnya sebagai pelepas rindu dengan cara mematrikan suasana Paris dalam kanvas untuk kepuasan diri sendiri.

“Peter?” Suara itu berasal dari balik punggungku, membuatku memutar tumit secara refleks.

Aku tersenyum sebelum menjawab pelan, “Eloise. Kau akhirnya datang.” Kurentangkan kedua tangan dengan lebar yang serta-merta disambut Eloise penuh semangat. Untuk beberapa saat, ia terperangkap di dalam rengkuhan hangatku.

Beberapa saat kemudian, gadis itu mendongak, menatapku penasaran. “Jadi, ada apa?”

“Aku … ingin menanyakan sesuatu padamu.”

Eloise kembali memelukku, tetapi kali ini lebih erat. “Katakan saja, tetapi … kurasa, itu bukan sesuatu yang begitu penting, huh? Buktinya, aku bahkan tak merasakanmu berdebar!” Ia tertawa pelan, sedangkan aku hanya tersenyum miris.

“Eloise, apa kau mencintaiku?” Aku mendorong tubuhnya sedikit ke belakang, berusaha membaca perasaannya lewat kedua manik menawannya yang sebiru samudra.

“Pertanyaan macam apa itu? Kau sudah tahu jawabannya, Peter. Je t’aime de tout mon coeur.”8

Aku tersenyum, tak menjawab. Kedua tanganku bergerak menyentuh pipi Eloise dan menatapnya dalam-dalam sebelum kepalaku bergerak turun untuk menciumnya.

Mengapa kau harus mengakuinya, Eloise? Jawabanmu itu benar-benar membuatku tak nyaman. Namun, di sisi lain justru membuatku semakin yakin untuk melakukan ini, meski diam-diam aku sebenarnya merasa menyesal telah membuatmu berpikir bahwa aku sungguh menaruh hati padamu. Oh, baiklah, mungkin memang iya, tetapi … ah, entahlah. Setelah berpikir selama beberapa hari, sepertinya pemikiran sebelumnya salah. Perasaanku masih tetap sama seperti dulu ketika menjalin hubungan dekat dengan seorang gadis. Bukan perasaan cinta, melainkan ….

Aku tak dapat berpikir terlalu jernih ketika merasakan Eloise yang mulai membalas ciumanku. Namun, dengan cepat aku menarik diri dan segera menurunkan bibir tepat di leher putihnya yang jenjang. Bagaimanapun, ia tak boleh mengalihkan perhatianku.

“Aaargh! Pe-Peter!” Jeritan keras keluar begitu saja dari Eloise tatkala secara tiba-tiba kedua taringku muncul dan dalam detik selanjutnya telah menancap dalam-dalam di lehernya, mengisap darahnya sampai habis hingga ia akhirnya terkulai lemas tanpa nyawa dalam pelukanku.

Sebaiknya memang begini. Maafkan aku, Eloise.

Bagaimanapun, Paris mungkin akan menjadi kota tujuan perjalanan tersingkatku selama berabad-abad terakhir, tetapi aku cukup senang bisa bertemu dengan Eloise. Sayang, sepercik rasa senang dan nyaman itu tak mampu membuatku untuk tinggal lebih lama di sini. Secepatnya aku harus kembali melakukan perjalanan. Ke mana? Ah, London terdengar menyenangkan. Lagi pula, di mana pun itu, kupikir tak akan jadi masalah. Manusia-manusia memang terlalu bodoh untuk menganggap makhluk abadi sepertiku tak nyata, padahal ….

Aku, si Tuan Tanpa Hati, memang nyata.

Namun, aku tak pernah memakai hati …,

aku tak pernah jatuh hati …,

aku tak pernah patah hati …,

karena aku … tak punya hati.

Mks, 3 April 2019

MsLoonyanna (Anna Darling), gadis penyuka warna biru dan hijau yang kerap dipanggil Anna/Loony. Penggemar berat Harry Potter dan Peter Pan, sehingga sering kali berimajinasi aneh sebagai Penyihir Neverland.

[1] Prami adalah sebutan pramugari di kereta api.
[2] Aku benar-benar minta maaf!
[3] Siapa namamu?
[4] Senang bertemu denganmu, Peter!
[5] Aku tidak mengerti.
[6] Benar, ‘kan?
[7] Diam. Kau sangat menyebalkan!
[8] Aku mencintaimu dengan sepenuh hati.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata