Parade Kembang Api

Parade Kembang Api

Parade Kembang Api

Oleh: Sinta Dewi Soebagio

Malam itu, sebuah pesta kembang api akan digelar di alun-alun kota. Aku menunggu lama saat-saat itu datang. Randy telah berjanji padaku akan mengajakku pergi melihat pesta kembang api itu. Aku mengenalnya saat kami tidak sengaja bertemu ketika menghadiri parade kembang api di alun-alun. Setiap tahun menjelang pergantian tahun, aku selalu menyempatkan diri untuk hadir. Meskipun hanya untuk melihat semburan bunga api yang indah. Namun, aku sangat menyukainya. Menikmati setiap detik demi mengabadikan momen di akhir tahun sebelum tahun baru tiba dan aku membuka lembaran baru di dalamnya.

Jam telah menunjukkan pukul 20.00 malam. Aku bersiap-siap, mengenakan t-sirt berwarna biru muda dipadukan celana jeans berwarna dongker. Rambut panjangku kugerai, kuselipkan jepit kecil di antara sela-sela rambutku. Pemerah bibir juga tidak lupa kupoleskan tipis di bibirku yang mungil. Berharap penampilanku terlihat sempurna malam ini.

“Rein, Randy sudah datang!” teriak Mama dari lantai satu. Aku pun bergegas menemui Randy di ruang tamu.

Pemuda itu terlihat tampan, mengenakan kaus ketat berwarna putih. Lekuk tubuhnya terpampang jelas, aku sempat tercengang melihatnya. Sekejap terpesona, seolah tersihir oleh penampilannya yang trendy.

“Sudah siap?” tanyanya seraya tersenyum.

Aku mengangguk mantap mengiyakan pertanyaan Randy.

“Tante, kami pamit dulu. Izin mau membawa Reina bersama saya,” tukas pemuda tampan nan mempesona itu.

“Iya, hati-hati di jalan. Jaga Reina baik-baik, ya,” pesan Mama kepada Randy.

“Siap, Tante. Insyaallah Reina akan baik-baik saja bersama saya,” sahut Randy lagi.

Pemuda itu mengerlingkan matanya, menggodaku. Aku tersipu sebelum Randy meraih tanganku, lalu aku digandengnya. Kami berjalan beriringan sebelum naik ke dalam mobil sedan mini  silver miliknya.

Selama perjalanan menuju alun-alun kami berbincang-bincang tentang pengalaman masing-masing semasa kecil. Aku tidak menyangka, pertemuan yang tidak sengaja satu tahun yang lalu, menjadikan hubunganku dengan Randy menjadi semakin dekat.
Kami menjalin persahabatan semenjak dia tidak sengaja menabrak dan menumpahkan es krim di gaunku.

“Maaf,” ucapnya saat itu. Aku masih teringat jelas, bagaimana dia meminta maaf dan berusaha membersihkan bekas es krim yang jatuh di bajuku.

“Tidak apa-apa,” sahutku.

Randy adalah pemuda yang baik di mataku. Dia selalu ada setiap kali aku membutuhkannya. Apa pun yang dia lakukan, selalu tampak indah di mataku. Aku menyukai pemuda itu. Namun, aku tidak tahu, apakah dia juga mempunyai perasaan yang sama padaku? Entahlah. Aku juga tidak pernah menanyakan hal itu. Mengingat dia juga tak pernah sama sekali memberikan sinyal-sinyal cinta padaku.

Sebagai seorang perempuan, aku tidak berani mengungkapkan perasaan cintaku kepadanya. Aku terlalu takut akan penolakan. Aku terlalu lemah menerima kenyataan yang nantinya berujung pahit. Akhirnya aku menyimpan semua perasaanku sendiri. Tentang kekagumanku padanya, tentang getaran-getaran yang datang silih berganti ketika berada di dekatnya.

Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di alun-alun. Suasana di sana sangat ramai. Penuh dengan orang-orang yang ingin melihat parade pesta kembang api. Suara musik dari sound system besar menggema ke seluruh penjuru alun-alun kota. Di sana juga ada sekelompok orang yang tengah bersiap meluncurkan kembang api raksasa. Aku terkagum-kagum melihat ukuran kembang api yang sangat besar itu.

“Ran, kembang api itu besar sekali,” ucapku padanya. Namun, ternyata Randy tidak berada di sampingku. Aku kebingungan. Aku mendongakkan kepala, mengedarkan pandanganku ke berbagai arah, berharap bisa menemukan pemuda itu.

Aku melangkah sedikit lebih jauh dari tempatku semula. Bertanya kepada beberapa orang yang aku temui tentang ciri-ciri orang yang aku cari, Randy.

“Maaf, apa Anda melihat seorang pemuda yang mengenakan kaos putih? Dia setinggi ini,” ucapku mencontohkan tinggi badan Randy yang sedikit lebih tinggi dariku menggunakan gerakan tangan.

“Tidak,” jawab seorang bapak yang duduk di kursi santai di pinggiran alun-alun.

Aku pun kembali berkeliling mencari keberadaan Randy. Sampai tiba-tiba aku mendengar letusan berulang dari sebuah kembang api yang telah dinyalakan. Sejenak aku terkesiap. Memandang takjub pada lukisan malam yang membentang indah di langit tempatku berdiri. Letusan keras dan saling bersahutan itu menjadi satu-satunya suara yang terdengar di telingaku.

Sampai akhirnya, aku benar-benar dibuat takjub, mataku tak berhenti memandang. Manakala sebuah kembang api meletus dan menyemburkan sinar-sinar api, yang lalu berubah menjadi sebuah tulisan: I LOVE YOU REINA.

Benarkah itu namaku? Atau hanya mataku saja yang salah melihat. Mereka yang berada di sekitarku, saling memandang. Mencari sosok yang namanya tersemat dalam serbuan sinar kembang api itu.

“Siapa?” tanya orang-orang di sekelilingku, yang bingung mencari sosok Reina yang dimaksud.
Beberapa kali aku mendengar seseorang bertanya siapa Reina? Siapa Reina? Namun, tidak ada yang mengetahui bahwa akulah Reina itu.

Tapi, apa benar itu namaku? pikirku dalam hati.

Aku masih bergeming di tempatku berada, tanpa mau bergerak seinci pun dari sana.

“Reina …!” teriak seseorang yang suaranya tidak asing terdengar di telingaku. Aku mencari-cari sosok yang memanggilku di balik kerumunan orang-orang yang penuh memenuhi alun-alun kota.
Suara kembang api terus saja bersahut-sahutan, membuat telingaku sedikit susah untuk mendengar suara seseorang yang memanggilku.

Lalu … sosok itu muncul dari balik kerumunan orang-orang yang masih terpana dengan keindahan kembang api. Dia tersenyum manis sampai aku terpaku dibuatnya.

“Randy …,” ucapku pelan.

Pemuda itu berjalan pelan menuju tempatku berdiri. Sebelah tangannya dia sembunyikan di balik punggungnya yang datar.

Aku merasa tubuhku bergetar hebat. Melihat pesona Randy yang semakin menjadi, di bawah sinar kembang api yang dahsyat. Wajahku terasa panas, raut malu bahkan kupastikan sudah terpapar jelas di wajahku. Aku gugup melihat Randy semakin mendekat padaku.

“Rein,” ucapnya pelan namun serius.

“Ya …,” jawabku singkat.

“Apa kamu mau menjadi kekasihku?” tanya Randy kemudian.

Seketika aku terkejut. Tidak percaya bahwa Randy akan benar-benar mengungkapkan cintanya padaku seperti apa yang aku harapkan. Aku masih diam mematung, tidak memberikan respons tentang pertanyaan Randy. Pemuda itu menatapku dalam, sorot matanya menunjukkan ketulusan. Aku bahagia mendengar penuturannya. Tapi aku tidak memiliki keberanian untuk menjawab.

“Bagaimana, Rein? Apa jawabanmu?” tanya Randy lagi.

Aku menggigit bibirku keras. Meminta kekuatan untuk menjawab. “Iya, aku mau.”

Randy tersenyum mendengar jawabanku. Dia pun mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah. Dibukanya kotak itu. Dan betapa terkejutnya aku, saat melihat cincin berlian bertengger indah di tempatnya. Randy pun memasangnya di jari manisku. Dia mencium keningku hangat. Aku tersipu mendapat perlakuan istimewa darinya malam ini.

“Selamat tahun baru, Sayang,” bisik Randy padaku.

Aku tersenyum seraya mengangguk pelan. Memeluknya erat di dalam dekapanku. Selamanya. (*)

Sinta Dewi Soebagio. Perempuan yang lahir dan besar di kota kecil bernama Probolinggo, pada 14 April 1992. Penyuka warna pink dan ungu. Bercita-cita menjadi seorang penulis yang mampu melahirkan buku-buku hasil imajinasinya sendiri. Penasaran dengan profil lengkapnya, silakan temukan dalam akun Facebook Sinta Dewi Soebagio. 

Sumber Gambar: pinterest.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply