Para Tembok yang Berbicara
Diah Estu Asih
Kurasa tembok-tembok yang masih belum dilapisi semen halus itu mengajakku bicara. Kadang sebelah kanan, kadang yang kiri, depan, lalu belakang. Banyak hal mereka tanyakan, membuatku seolah-olah punya teman ngerumpi.
Dua hari lalu, usai disuruh keluar sekolah dengan paksa, Bapak mengomeliku tiga jam lebih. Paling tidak ada lima puluh bekas pukulan kayu di sekujur tubuh. Namun, aku memilih berdiam di kamar.
Kepalaku terkulai di kasur tipis. Kelambu disekitarnya tampak mengganggu, warnanya sudah menghitam, buruk sekali. Usianya, kalau tak salah ingat sudah sejak aku kelas tiga SD. Benda sialan yang sering kali mengejekku.
“Bodoh! Tolol! Goblok! Begitu saja tidak bisa naik kelas!”
Dan tiga hari lalu, ejekannya semakin tak tahu diri. Dia menumpang di kamarku, dengan rupa yang sangat jelek, tetapi terus mengejek. Karena kesal, jadi aku melepasnya, menumpuk di sudut ruangan. Lalu aku ambil korek dan sebotol air minum dari dapur. Api dari korek membakar kelambu itu dalam hitungan menit, setelah habis kusiramkan air agar apinya tidak merambat ke seluruh kamar.
Menjelang malam, kasur yang aku jadikan alas tidur ikut mengejek.
“Aku tidak ingin ditiduri manusia bodoh sepertimu. Pembangkang! Sinting, gila!”
Beberapa kali kalimat yang sama terdengar membuat kupingku begitu berdengung. Dengan gunting dan silet di dalam tas, aku memotong kasur menjadi beberapa bagian. Tangannya, jarinya, perut dan isi perutnya, kepalanya, kakinya, semua aku tumpuk di atas abu kelambu, dan membakarnya seperti membakar kelambu.
Asap hitam dari pembakaran isi kasur berupa kapuk yang sudah memadat, kain-kain perca dan benang-benang pun membubung. Mereka, para kumpulan asap itu, kebingungan mencari jalan keluar. Sebagian menemukan celah genting yang sudah retak, sebagian lagi berputar di dalam kamar. Membuat udara kamar kian pengap.
Dari luar, suara Bapak memanggil namaku disertai gedoran pintu. Sementara aku terbatuk-batuk karena asap memasuki lubang hidung. Pintu yang hanya ditahan dengan kayu kecil pun dengan mudah terbuka. Bapak masuk, mengibaskan tangannya menyingkirkan asap. Sementara itu, asap berdesakan keluar melalui pintu, mungkin akan memasuki semua ruangan di rumah ini.
Bibirnya bergerak-gerak seperti mengatakan sesuatu. Dia sedang mengomel, aku tahu gelagatnya. Tapi entah apa yang dia bicarakan. Hanya dia sedang mengomel.
Bapak keluar lagi dengan cepat dan kembali dengan seember air yang dia siramkan ke kobaran api. Kasur yang belum habis terbakar itu teronggok mengenaskan, bergabung dengan abu dan air. Asap berhenti keluar dari sana.
Aku mulai lega setelah Bapak menutup pintu kamar sampai berdebum kencang. Abu dan sisa kasur masih teronggok, tak lagi ada suara darinya. Semakin malam semakin sepi dan aku semakin mengantuk. Semoga saja tikar sebagai satu-satunya alas tidur ini tidak mengeluarkan suara apa pun. Aku merasa lelah setelah membakar kasur dan kelambu yang menyusahkan.
Aku terbangun ketika merasakan belaian lembut di sekitar kepala. Saat membuka mata, tidak ada siapa pun. Keadaan masih sama buruknya. Tembok batu-bata, setumpuk abu, dan sisa kasur. Namun ada suara berisik lain yang memenuhi kupingku. Berdengung. Namun, bukan seperti suara kasur dan kelambu yang mengejek, ini lebih seperti suara tawa terbahak-bahak dan candaan garing.
“Bangunlah, bangunlah.”
Aku menatap ke atas. Tak ada apa pun selain tembok.
“Bangunlah, bangunlah, anak pintar.”
Terbuai dengan suara merdu dan ramah itu membuatku semakin merapatkan diri ke tembok.
Perlahan suara tawa mereda dan ganti dengan nyanyian lembut disertai usapan halus di punggungku.
“Tembok?” gumamku.
“Kami adalah keluarga terbaikmu,” katanya masih sama lembut.
“Bangunlah. Ceritakan bagaimana harimu kemarin.”
Kini aku telentang menatap atap rumah. Bagaimana tembok kasar itu bisa membelai begitu lembut, sementara kasur yang halus selalu terasa kasar? Aku tersenyum, membenturkan kepala ke tembok. Dia membalasku dengan sentuhan yang sangat lembut.
“Aku melukis.”
“Melukis apa?”
“Melukis gunung di tembok.”
“Tembok seperti kami?”
“Tidak-tidak. Temboknya halus, warna putih.” Tembok di belakangku bergumam heran.
“Tapi dia begitu marah saat aku melukis gunung itu.”
“Kenapa?”
Tidak tahu. Tembok itu memakiku seperti memaki orang paling bodoh dan paling gila. Otakku tak ada, katanya begitu keras.
“Lalu apa yang kamu lakukan?”
Aku menendangnya dengan sangat keras. Namun, tembok itu sangat kukuh sampai kakiku sendiri yang sakit. Jadi aku ambil sekop dari tumpukan pasir yang akan dipakai membangun gedung sekolah baru.
“Biar aku tebak!” Tembok di depanku berseru begitu semangat. “Kau pukul tembok dengan sekop dan pasti sekopmu bengkok. Aku benar?”
“Tidak, kau salah,” jawabku, membuatnya berdesis sedih.
Sekop itu aku gores ke seluruh bagian tembok. Dia menjerit kesakitan, berdarah-darah.
“Anak pintar.” Tembok di samping kiri menilaiku.
“Lalu kau dikeluarkan dari sekolah dan bapakmu marah?”
Suara itu berasal dari tembok tepat di sebelahku. “Bagaimana kau tahu?” tanyaku heran.
“Kami tembok. Kami mengetahui apa yang terjadi di sisi kiri dan kanan kami.”
“Oh, bagus-bagus. Lelaki itu memang pemarah. Sejak kecil aku terus saja dimarahi. Tidak ada kenangan baik dengannya. Semua soal dia selalu marah dan memukulku dengan kayu.”
“Tenanglah, kami keluarga terbaikmu.”
Aku ingin memeluk mereka, tetapi tidak bisa. Mereka begitu tinggi.
Pintu terbuka sedikit kasar dan wanita berdaster bunga-bunga memasuki ruangan ini.
“Itu ibumu, yang selalu mencubitmu, kan?” tanya tembok di belakang.
“Ya, dia ibuku.”
Seorang wanita mengantarkan makanan. Bibirnya bergerak-gerak, menatapku bengis. Mungkin dia memakiku seperti kasur dan kelambu.
“Dia jahat. Kenapa tidak kau bakar saja?”
“Oh, ide bagus. Kenapa aku tidak kepikiran?”
“Potong dulu badannya. Habis dibakar, pasti dagingnya lezat.”
Aku bangkit. Korek api masih di salah satu sudut ruangan. Pintu kututup rapat. Jagalah pintu ini agar tidak pernah terbuka, pesanku pada tembok. Mereka sepakat.
Ibuku semakin galak dan kejam. Gerakan bibirnya kian lebar. Dia ingin melawanku, tetapi badanku lebih besar dan tenagaku lebih kuat.
Tembok memberikan semangat kepadaku. Pintu tak terbuka saat ibuku berusaha membukanya. Gunting dan silet yang masih cukup tajam kugoreskan ke lengannya seperti aku menggoreskan sekop ke tembok sekolah. Ibuku terjatuh ke lantai dengan mata menangis, mulutnya terbuka semakin lebar.
“Mulutnya. Agar dia berhenti mengomel.”
Ah, iya juga. Tembok ini lebih cerdas dariku. Setelah mulutnya terobek lebar, ibuku tak mampu lagi melakukan apa-apa. Terkulai lemah di tanah dingin.
“Matanya. Lepaskan. Aku ingin lihat matanya.”
Aku mencongkel matanya dengan gunting. Benda bulat itu menggelinding ke lantai. Tembok bergumam takjub, mata yang sempurna, katanya.
“Bakar saja langsung.”
Bagaimana kalau bapakku masuk?
“Kami menjaga pintu agar tidak bisa dibuka.”
Aku tersenyum haru. Mereka membantuku dengan sangat baik. Pertama kubakar dasternya, rambutnya, dan terakhir dagingnya. Aroma nikmat begitu menusuk hidung.
“Kenapa tak kubakar bapakku juga?”
***
Biodata: Diah Estu Asih adalah gadis yang sedang mempelajari cara menulis dan membaca dengan baik. Mahasiswi jurusan Fisika FMIPA di UNS ini mulai mendalami bidang sastra sejak 2017 lalu.
Editor: Erlyna